Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=1 color=brown><B>Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Goeltom: </B></font><BR>Inflasi Tetap Rendah

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS subprime mortgage pada Juli lalu telah menggoyang ekonomi dunia. Satu per satu bank investasi raksasa tumbang akibat kredit macet properti itu. Ditambah lagi, harga minyak internasional melesat mendekati US$ 100 per barel. Kekacauan pun sempat melanda sejumlah pasar uang utama dunia.

Untunglah, Indonesia tak terkena imbasnya. Pengalaman tertimpa krisis dahsyat 10 tahun silam membuat negeri ini jauh lebih tahan banting. Bukan saja tak goyah, ekonomi Indonesia malah melaju kencang mengejar target pertumbuhan ekonomi 6,3 persen tahun ini. ”Tahun depan, ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi lagi,” ujar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom pada Kamis pekan lalu.

Di ruang Begawan lantai 3 gedung BI, Jakarta, orang nomor dua di bank sentral ini menjelaskan proyeksi ekonomi 2008, ancaman dan tantangannya. Di tengah kesibukan menjelang pengukuhan gelar profesor di Universitas Indonesia pada Sabtu lalu, ia masih sempat meluangkan waktu untuk wawancara dengan tim Tempo.

Bagaimana evaluasi BI atas pencapaian target indikator makroekonomi 2007?

Kami memperkirakan ekonomi 2007 akan tumbuh 6,33-6,34 persen. Pertumbuhan itu ditopang oleh konsumsi swasta, ekspor, dan investasi. Meningkatnya konsumsi ini mendorong pertumbuhan dari sisi penawaran. Semua sektor penawaran tumbuh, meski didominasi perdagangan, transportasi, dan telekomunikasi. Jadi, meski ada krisis subprime mortgage atau kredit macet perumahan di Amerika Serikat lalu, kami tidak terlalu khawatir soal pertumbuhan ekonomi. Sebab, hampir semua sektor ekonomi tidak terkena imbas sub-prime mortgage tadi. Yang sempat terkena hanya kurs rupiah, itu pun cuma sebentar.

Mengapa kita lebih tahan terhadap subprime mortgage?

Begini, perbankan di Indonesia kan masih konsolidasi, memperbaiki manajemen risiko sehingga jauh lebih hati-hati, tidak mau membuat produk sembarangan. Dari sisi otoritas pengawas bank, kami juga lebih prudent dan konservatif soal regulasi perbankan ketimbang 10 tahun lalu. Bank-bank di sini dilarang membeli produk yang mereka tidak tahu. Ini berbeda dengan bank di Singapura, yang mengikuti perkembangan produk keuangan yang begitu canggih tetapi risikonya besar. Subprime mortgage ini kan ibarat produk yang dibungkus sehingga di luar tampak bagus, tetapi setelah dibuka ternyata isinya gado-gado. Ada tauge busuk, kacang panjang asem, dan lainnya.

Bagaimana dengan inflasi?

Tahun ini, target inflasi memang 6±1 persen. Dalam perjalanan menuju akhir tahun, banyak tekanan yang timbul dari hal eksternal dan tidak terduga. Misalnya, harga minyak tiba-tiba mendekati US$ 100 per barel, harga minyak sawit mentah (CPO), emas, dan komoditas lainnya juga naik tinggi. Di tengah banyaknya tekanan itu, kami memperhitungkan inflasi masih di kisaran target, meski condong ke atas. Perkiraan kami 6,3-6,5 persen.

Apakah tren ke depan, tekanan inflasi masih cukup besar?

Saya harus menjawab hati-hati. Sebab, BI melihat inflasi bukan hanya satu tahun, tetapi melihat satu atau dua tahun ke depan. Jika kita melihat inflasi Oktober 0,79 persen, November 0,18 persen, berarti ada tren menurun. Desember karena ada faktor musiman, tidak bisa jadi contoh. Artinya, jika inflasi tahun ini 6,3-6,5 persen, BI berhasil mengurangi tekanan inflasi yang sudah terjadi di seluruh dunia. Kita tahu inflasi di dunia meningkat. Di Cina saja, inflasinya 6,5 persen. Jarang-jarang inflasi di sana setinggi itu.

Anda cukup puas dengan inflasi 6,3-6,5 persen?

Jika dibandingkan dengan target di awal tahun, tentu kami kurang puas. Tetapi, jika memasukkan faktor inflasi dunia yang tinggi, tentu kami sangat puas. Sebab, jika kami tak melakukan sesuatu, inflasi bisa jauh lebih tinggi. Misalnya saja, jika kami tak menahan suku bunga atau BI rate selama empat bulan berturut-turut, inflasi bisa lebih tinggi.

Tetapi Wakil Presiden Jusuf Kalla seperti kurang suka jika BI menahan suku bunga?

Menurut saya, beliau juga mengerti. Karena Wakil Presiden juga melihat, toh Indonesia termasuk paling kecil dampaknya terhadap inflasi dibandingkan negara lain. Yang penting, meski suku bunga tidak diturunkan, perbankan terus maju. Akan berbeda hasilnya kalau suku bunga tidak turun tetapi perbankan terpuruk. Nah, ini kan tidak. Meski BI rate ditahan, suku bunga kredit turun sehingga bank mampu menjual produk berbunga lebih murah. Apalagi modal bank tetap baik, rasio kredit seret (NPL) lebih rendah, serta penyaluran kredit meningkat 23-24 persen. NPL kotor turun dari 6,8 persen pada Juli menjadi 5,6 persen saat ini. Jika melihat secara keseluruhan industri perbankan, kondisinya jauh lebih baik.

Bagaimana proyeksi ekonomi 2008?

Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi 2008 masih cukup bagus. Bahkan bisa tumbuh lebih baik dari 2007 dengan sejumlah asumsi. Asumsinya, proyek infrastruktur jalan, inflasi terjaga, sehingga daya beli tetap baik, suku bunga kredit menurun, investasi naik, serta pemerintah pusat dan daerah mampu membelanjakan anggaran. Ini penting karena hampir semua negara di dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi mereka akan melemah.

Anda yakin, pusat dan daerah bisa membelanjakan anggaran lebih banyak?

Kami berpikir positif saja. Setiap tahun harus berpikir positif agar hidup tidak susah.

Sayangnya, implementasinya tidak jalan....

Bayangkan, kalau implementasinya jalan, dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi akan lebih dahsyat. Sayang ya.... Sebab, itu memang menunjukkan bahwa sebenarnya kita punya potensi untuk tumbuh lebih tinggi.

Sayangnya lagi, pertumbuhan ekonomi cuma dinikmati yang kaya....

Begini ya. Kalau yang kaya makin kaya, itu sudah pasti. Sebab, dengan membungakan uang saja, mereka sudah dapat untung. Tetapi yang miskin belum tentu makin miskin. Coba lihat di daerah. Apakah mereka makin tidak bisa makan? Kan tidak. Nah, hal seperti ini terjadi di negara mana pun. Di India atau Cina juga begitu. Yang kaya-kaya di Shanghai itu, sekaya-kaya langit. Tetapi, yang bawah tambah enak hidupnya, meski tetap miskin. Kenyataannya kan begitu.

Bagaimana dengan harga minyak tahun depan?

Kami memang melihat harga minyak mungkin masih tetap tinggi, yakni US$ 80-85 per barel. Artinya, tekanan inflasi akibat harga minyak dunia yang tinggi masih mengancam Indonesia. Tetapi, yang terpenting, hasil perhitungan kami, inflasi tahun depan akan lebih rendah.

Meskipun harga minyak di level US$ 80-85 per barel?

Ya, inflasi akan lebih rendah dari tahun ini. Bahkan kami sudah melakukan simulasi dengan asumsi US$ 100 per barel, inflasi tetap lebih rendah.

Kenapa bisa begitu?

Ya, kami buat konservatif saja. Karena ada beberapa hal, secara teoretis, suatu negara akan bereaksi atas suatu perubahan. Pemerintah kan sudah punya rencana selama setahun ke depan, mulai dari mengurangi konsumsi, konversi energi, dan sebagian lagi dialihkan ke kenaikan harga. Jika itu dilakukan, meski harga minyak US$ 100, dampaknya terhadap inflasi akan netral.

Bukankah di sisi lain jumlah mobil bertambah sehingga konsumsi tetap naik?

Betul itu. Tetapi, jangan salah, itu bergantung pada sejumlah asumsi. Pertama, ada pengurangan konsumsi, konversi energi, dan dialihkan ke kenaikan harga domestik. Kedua, perhitungan kami, tahun depan tak akan terlalu dibayangi kenaikan harga komoditas. Sebab, dengan harga yang sudah tinggi, tren kenaikannya tidak akan drastis lagi, tetapi melandai. Misalnya harga minyak. Jika harganya diawali dari US$ 60 ke US$ 100 per barel, tentu naiknya tinggi. Tetapi, kalau diawali dari US$ 100 ke US$ 110 per barel, kenaikannya melandai. Jadi dampaknya ke laju inflasi berbeda.

Tetapi, ceritanya akan lain jika pemerintah menaikkan harga BBM seperti 2005?

Jelas. Jika seluruh kenaikan harga minyak dunia ditransfer ke harga domestik, jelas lain dampaknya. Tapi saya menduga pemerintah tidak akan mengalihkan harga secara keseluruhan.

Bagaimana dengan dampak kenaikan biaya industri akibat kenaikan harga BBM nonsubsidi. Bukankah mereka juga bisa menaikkan harga?

Oh ya, oh ya, bisa! Tetapi jangan lupa ada kompetisi di sana. Jika sektor industri itu monopoli atau oligopoli, setiap ada kenaikan harga, dia akan meneruskan ke konsumen. Tetapi, jika ada kompetisi, mereka akan berusaha efisien sehingga tak harus menaikkan harga. Di sini, hampir semua produk berkompetisi, seperti elektronik dan sepeda motor. Mereka juga harus memperhitungkan daya beli konsumen. Akan percuma juga menaikkan harga jika tak ada pembeli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus