Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Very Idam Henyansah terus menangis. Novel Andreas, teman sekamarnya sejak Februari lalu, tak mau lagi bertemu dengannya. Pria 30 tahun itu berkali-kali mengatakan ingin memeluk Novel. "Aku sayang sekali sama dia," kata Very, yang dipanggil teman-temannya dengan nama Ryan.
Dituduh membunuh Heri Santoso, Ryan ditangkap polisi, Selasa dua pekan lalu. Kepada polisi, ia mengaku membunuh empat pria lain: Guruh alias Guntur, Grendy, Vincentius Yudi Priyono, dan Ariel Somba Sitanggang. Semua jasad korban dikubur di belakang rumah Ryan, di Dusun Maijo, Jatiwates, Jombang, Jawa Timur. Polisi lalu mengajak tersangka ke lokasi dan membongkar kuburan itu.
Menurut polisi, Ryan membunuh untuk merampas harta para korbannya. Karena itu, Novel juga ditangkap dengan tuduhan menjadi penadah hasil rampasan. Keduanya kini menghuni sel di Blok D-9, lantai 2, Rumah Tahanan Narkotika Kepolisian Daerah Metro Jaya. Polisi memisahkan sel mereka. Ryan berbagi ruang tahanan dengan Ali Masykur Matsuni, Panglima Laskar Pembela Islam yang ditahan dalam kasus penyerangan di Monas.
Sehari setelah diterbangkan kembali ke Jakarta, Kamis pekan lalu, Ryan menerima Sahala Lumbanraja dari Tempo. Pertemuan diadakan di ruang khusus yang dibatasi kaca, dan komunikasi dilakukan melalui interkom. Novel juga bersedia menemui Tempo di ruang terpisah, tapi ia menolak bertemu dengan Ryan. "Semua yang dia kenal, katanya, enggak akan hidup lama lagi. Aku jadi takut," kata pria 28 tahun itu.
Sepanjang wawancara, jawaban Ryan sering tak konsisten. Ia awalnya mengaku membunuh, tapi beberapa saat kemudian mengatakan tak pernah melakukannya. Lalu ia mengaku lagi membunuh tapi tak melakukannya sendiri. Ia juga terus mengatakan hendak bunuh diri. Mengenakan kaus abu-abu, ia terlihat lelah.
Di akhir wawancara, Ryan minta dibawakan buku dan pulpen buat menulis diary. Tapi buru-buru Matsuni mengingatkan agar permintaan itu tak dipenuhi, terutama pulpen. "Jaga-jaga saja," ujarnya. Mungkin ia takut alat tulis itu dijadikan senjata.
Kenapa kamu membunuh?
(Ryan terus menangis.) Aku enggak tahu. Aku bingung, aku pusing sekarang.
Apa arti tangisan kamu ini?
Aku sedih sekali.
Sudah ada yang menjenguk kamu di tahanan?
Enggak ada. (Ia terus menangis.)
Sekali lagi, mengapa kamu membunuh?
Aku enggak tahu mau bilang apa. Aku melakukannya untuk melindungi orang-orang yang aku sayangi dan aku kasihi. Sekarang aku jadi korbannya.
Apa maksudnya kamu jadi korban?
Aku tidak bisa cerita sekarang. Aku cuma mau bilang aku tidak melakukannya sendiri.
Siapa lagi yang ikut membunuh? Novel?
Novel tidak ikutan. Aku sayang banget sama dia.
Jadi, siapa?
Maaf, aku enggak bisa cerita sekarang. (Ia menangis lebih keras. Dua tangannya menutup mulut dan muka.) Aku mau mati saja. Aku sudah enggak tahan lagi. Aku sungguh menyesal dan minta maaf.
Minta maaf sama siapa?
Semuanya: keluarga, teman-teman di apartemen (Margonda Residence, tempatnya tinggal bersama Novel sepanjang Mei-Juli), dan polisi. Terutama aku minta maaf sama Novel. Aku sangat sayang sama dia.
Kenapa minta maaf sama Novel?
Aku mau cerita sama dia bahwa bukan aku yang melakukan itu semua. Aku mau cerita semuanya. Bagaimana kejadiannya, apa yang terjadi, dan siapa yang membantu membunuh. Tapi Novel enggak mau ketemu sama aku. Aku sedih sekali. Aku lebih baik mati. Novel saja enggak mau nemui aku.
Kenapa Novel menolak ketemu kamu?
Enggak tahu. Tolong panggil dia agar bisa ketemu di sini. Aku butuh orang yang bisa memeluk. Aku ingin bisa nangis sekeras-kerasnya. Sebelum mati, aku ingin dia tahu aku tidak melakukannya.
Benarkah kamu membunuh Nyonya Nanik, yang hilang bersama putranya?
(Ia berhenti menangis. Ekspresinya marah. Matanya menatap tajam.) Aku enggak bunuh mereka. Cuma empat itu saja (yang ia bunuh). Aku enggak kenal sama orang itu (Nanik).
Empat yang kamu bunuh itu Guruh, Vincent, Ariel, dan Grendy?
Iya.
Kenapa kamu membunuh mereka?
(Menangis lagi.) Aku belum bisa cerita.
Untuk merampas harta mereka?
Aku aku. (Sembari menangis.)
Sejak kapan kamu membunuh? Ada yang lain sebelumnya?
Tidak ada, enggak ada yang aku bunuh.
Bagaimana kamu mengenal para korban?
(Diam.) Aku enggak bisa cerita sekarang.
Bagaimana kamu membunuh mereka?
Aku belum bisa cerita sekarang.
Apakah kamu sakit hati dengan mereka?
Enggak, mereka enggak pernah nyakiti aku. Aku juga enggak pernah membenci mereka. Aku enggak pernah dendam sama orang. Aku enggak tahu kenapa aku melakukan ini. Aku melakukannya untuk melindungi mereka yang aku sayang. (Menangis.)
Polisi curiga masih ada korban yang kamu kubur di septic tank.
Enggak ada, enggak ada lagi yang lain di situ.
Mengapa kamu memutilasi korban terakhir? Apa yang kamu rasakan?
Aku enggak ngerasa apa-apa. Aku enggak tahu juga kenapa aku membunuh mereka.
Kamu mungkin akan dihukum mati?
Aku tahu nanti akan dihukum mati. Aku hanya belum siap karena Novel belum mau ketemu aku. Aku enggak mau mati sebelum ketemu dengan dia. Aku pingin minta maaf banget sama dia.
(Tempo kembali menemui Ryan, Jumat siang pekan lalu. Ia menangis lebih keras daripada sehari sebelumnya. Beberapa kali ia memukul jeruji sel. Matsuni, yang ada di belakangnya, berusaha menenangkan pria kelahiran Jombang itu.
Ia bilang Novel sudah dipindahkan dari kamar semula. Itu membuatnya merasa tambah sedih.)
Bagaimana ceritanya kamu mulai mengenal para korban?
Aku tahu Guntur, Vincent, dan Grendy sejak dua tahun lalu. Aku pertama kali bertemu dengan Grendy di bus, dari Jombang menuju Kediri. Pikiranku kacau sekarang. Aku tidak ingat yang lainnya.
Kemarin kamu bilang tak sendiri membunuh. Siapa yang membantu kamu?
Sebenarnya yang membunuh bukan aku. Keluargaku yang membunuh mereka. Mereka tidak suka dengan kehidupanku. Mereka membunuh setiap pria yang dekat denganku.
Keluarga? Siapa maksudnya?
Aku tidak bisa cerita sekarang. Aku hanya ingin melindungi mereka.
Dari mana kamu tahu teman-teman kamu dibunuh?
Aku dikasih tahu kalau mereka sudah dibunuh. Karena itu, aku enggak tahu bagaimana persisnya mereka dibunuh.
(Mulyo Wasis, 44 tahun, kakak kandung Ryan, menganggap pernyataan adiknya itu tak masuk akal. "Mungkin dia sudah depresi berat, jadi nama keluarga dibawa-bawa," ujarnya. "Ia memang sudah punya nafsu membunuh sejak pergi ke Jakarta.")
Kamu akan minta maaf kepada korban?
Bagaimana aku minta maaf dengan mereka? Aku nanti minta maaf lewat media (massa) saja.
Bisa disebutkan secara khusus, kepada keluarga siapa kamu minta maaf?
(Menangis kencang. Kepalanya menunduk dan tangannya memukul-mukul meja.) Aku tidak bisa. Bukan aku pelakunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo