Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dianne Sunu tak ingin orang tuanya membaca surat yang dikirim sejumlah perguruan tinggi di Ibu Kota kepada dirinya. Dia tak mau ketahuan telah diterima di kampus itu. “Aku sengaja tidak bilang karena tidak mau kuliah di Jakarta,” kata Dianne Sunu lewat surat elektroniknya yang ia kirim dari Koln, Jerman, Senin pekan lalu, kepada Tempo.
Dianne memang mengidam-idamkan bisa kuliah di luar negeri. Menyembunyikan surat lulus seleksi itu wujud protesnya lantaran tak boleh langsung kuliah di negeri orang selepas SMA.
Aksinya itu berlanjut hingga, suatu ketika, seorang teman sekolahnya menceritakan ihwal program dual degree di Universitas Bina Nusantara. Pucuk dicita, ulam pun tiba. Dianne pun bak mendapat jalan tengah. Ia bisa memenuhi permintaan orang tuanya tanpa harus mesti membenamkan mimpinya kuliah di negeri orang. Dianne mendaftar ke program bisnis dan manajemen kelas internasional Bina Nusantara. Saat ini ia sedang menjalani hari-hari kuliahnya di Cologne Business School di Jerman.
Bina Nusantara, yang memulai kelas internasionalnya sejak 2001, kini memiliki tiga program pendidikan di bidang ekonomi, yakni akuntansi, pemasaran, dan, yang termuda, bisnis internasional. Selain menggandeng Cologne Business School, Bina Nusantara bermitra dengan Curtin University dan Macquarie University di Australia.
Perkuliahan yang memakai pengantar bahasa Inggris itu dibatasi hanya 24 mahasiswa per kelas. Pada tahun ketiga, peserta program double degree akan melanjutkan menuntut ilmu di universitas mitra.
Berbeda dengan kelas internasional di universitas lain, beberapa program Bina Nusantara mengharuskan mahasiswanya kembali ke Indonesia. Mahasiswa program applied accounting serta accounting & finance, misalnya, menjalani semester keenam dan ketujuh di kampus mitra. Lalu, pada semester kedelapan, mereka pulang buat mengerjakan tugas akhir.
Bina Nusantara bukan satu-satunya kampus yang membuka kelas internasional di bidang ekonomi. Bahkan hampir semua kampus membuka program kelas internasional di fakultas ekonominya. Asal universitas mitra pun beragam, mulai Australia, negara-negara di Eropa, hingga Amerika Serikat.
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, misalnya, bermitra dengan universitas di Prancis, ESCEM School of Business and Management Tours-Poitiers.
Perguruan tinggi yang bekerja sama dengan sekolah bisnis dan akuntansi di Australia terhitung paling banyak diminati. Ini bisa jadi karena letak Australia yang lebih dekat ketimbang Eropa atau Amerika.
Universitas Trisakti, misalnya, menyelenggarakan double degree dengan Edith Cowan University sejak 1997. Menurut Ketua Jurusan Akuntansi Etty Murwaningsari, program gelar ganda merupakan salah satu program unggulan jurusannya.
Menurut alumnus program ini, Imran Poltak Herianto Ambarita, awalnya program dual degree ini hanya berbentuk semester pendek selama dua bulan untuk belajar bahasa Inggris dan metode riset bisnis. Adapun lama kuliah di luar negeri sama dengan universitas lainnya.
Bisa dibilang yang paling banyak menggandeng mitra dari luar negeri adalah Universitas Indonesia. Ada lima universitas di Belanda dan tiga perguruan tinggi kini jadi mitra UI. Kini Fakultas ekonomi universitas tersebut juga tengah menjajaki bekerja sama dengan perguruan tinggi di Inggris. “Kami inginnya mahasiswa seperti masuk ke restoran yang punya banyak menu untuk dipilih,” kata Direktur Program Kelas Khusus Internasional Fakultas Ekonomi UI, Isfandiary Djafaar.
Tawaran kerja sama dari berbagai kampus di luar negeri memang mengalir. Namun, menurut Isfandiary, UI selektif, hanya ingin menjalin kerja sama dengan kampus yang sudah terakreditasi dan berada di peringkat teratas di negara asalnya. “Kami mencari mitra yang setara, baik kualitas akademis maupun reputasinya,” ujarnya.
Didirikan pada 2001, kelas internasional tersebut peminatnya terus menanjak. Ketika dibuka, hanya 37 mahasiswa yang mendaftar. Tapi pada 2010 jumlahnya naik jadi 120 orang.
Uang pangkal kelas internasional Rp 30 juta dan per semester Rp 28 juta. Sedangkan biaya kuliah di Belanda sekitar Rp 111 juta per tahun. Adapun biaya kuliah di Australia lebih tinggi. Kampus di Negeri Kanguru mengenakan biaya di atas Rp 200 juta per tahun.
Hanya, di University of Queensland, Australia, ada jatah bebas uang kuliah tahun pertama bagi mahasiswa berprestasi. Sementara di University of Groningen, pada tahun pertama mahasiswa tak perlu membayar uang kuliah.
Menurut Isfandiary, salah satu daya tarik program ini adalah adanya penjurusan ekonomi finansial dan manajemen bisnis internasional. Spesialisasi ”perkawinan” berbagai disiplin ilmu di bidang ekonomi tersebut tak ada di kelas reguler.
Ada dua pintu masuk ke kelas internasional ini, yakni lewat seleksi masuk Universitas Indonesia dan sistem undangan ke sekolah menengah atas. Yang jelas, lewat kedua pintu itu ada persyaratan skor TOEFL minimal 500, karena perkuliahan memakai bahasa Inggris.
Menurut Isfandiary, hanya dosen yang fasih berbahasa Inggris yang boleh mengajar di program double degree. Pengajar juga diusahakan pernah kuliah di luar negeri. “Preferensinya memang dosen lulusan luar negeri, karena mereka tahu seperti apa sistem pengajaran di luar negeri,” kata Isfandiary.
Demi mendongkrak kemampuan bahasa Inggris mahasiswa, Fakultas ekonomi ini juga menambah kelas bahasa Inggris akademis. “Diharapkan nanti mahasiswa tak kesulitan menulis paper di kampus di luar negeri.”
Para peserta program gelar ganda akan kuliah dua tahun di Indonesia dan dua tahun di kampus pilihan mereka. Meski di beberapa kampus di luar negeri lama perkuliahan hanya tiga tahun, UI tetap mewajibkan lulus dengan jumlah kredit 144 SKS atau setara dengan empat tahun. Karena itu mahasiswa akan dimasukkan pada tahun kedua, sehingga jumlah kredit tetap sesuai dengan persyaratan tersebut.
Setiap mahasiswa boleh mengajukan dua pilihan kampus tujuan. Universitas mitra yang nantinya menyeleksi mahasiswa berdasarkan indeks prestasi. Yang paling tinggi mematok IP adalah University of Melbourne, yakni IP kumulatif mesti 3,20.
Adapun Belanda, ujar Isfandiary, biasanya meminta motivational letter dan melakukan wawancara lewat telepon. Persaingan meneruskan kuliah ke Belanda tersebut lebih ketat karena jumlah kursinya terbatas, berbeda dengan Australia yang membuka pintu selebar-lebarnya.
Isfandiary mengakui tak semua mahasiswa sanggup meneruskan sampai ke universitas mitra. Mereka yang nilainya pas-pasan akan diarahkan ke kelas internasional single degree.
Demi menjaga kualitas program, Isfandiary tak segan-segan memberhentikan mahasiswa yang nilainya di bawah target atau kerap mangkir kuliah. Ada juga mahasiswa yang mengundurkan diri karena kesulitan mengimbangi sistem kuliah. “Angka drop-out kami mencapai 15 persen per tahun,” ujarnya.
Menurut Isfandiary, menjaga mutu sangat penting karena persaingan kelas internasional jurusan ekonomi lumayan ketat. “Setiap kampus punya fakultas ekonomi karena banyak peminatnya,” ujarnya. “Sekarang hampir setiap fakultas ekonomi membuka program dual degree.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo