Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kris Antoni berdiri, menyampaikan pidato kepada ratusan orang di Seattle, Amerika Serikat. Ia baru dua tahun lulus kuliah, tapi begitu yakin berbicara di hadapan ratusan pengembang game yang dimainkan di komputer atau telepon seluler dalam acara Casual Connect 2010. Sesekali ia melempar humor, yang disambut senyum peserta pertemuan.
Kris bisa percaya diri memberi humor dalam pidatonya karena ia menjalani tahun terakhir kuliah bidang komputer di Murdoch University, Australia. Tiga tahun sebelumnya, ia menekuni ilmu di Universitas Bina Nusantara.
Pengalaman kuliah double degree di Australia itu membuat Kris bisa mempersiapkan diri dengan baik saat diundang menyampaikan pidato, termasuk memberi bumbu humor. Undangan datang setelah game yang ia buat bersama rekannya, sukses dimainkan puluhan juta orang dan mendatangkan uang ratusan juta rupiah. ”Selera humor mereka kan beda,” katanya.
Ia menyebutkan masukan budaya, seperti humor, tidak bakal bisa didapat jika kuliah sepenuhnya di dalam negeri. Tapi, jika ingin kuliah langsung di luar negeri, ada beberapa masalah. ”Tidak yakin kalau langsung ke luar negeri (mendapat kampus yang bagus),” ujarnya. Selain itu, katanya, ”Lebih ke masalah biaya.”
Biaya memang alasan ”klasik”. Mohammad Gazza Azhari, mahasiswa kelas internasional Jurusan Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang belum berangkat ke Australia, mengatakan, ”(Langsung kuliah di luar negeri sejak semester awal) jauh lebih mahal.”
Rizki Kusuma, yang diwisuda di University of Queensland pada Juli lalu dan di Universitas Indonesia sebulan kemudian, berpendapat serupa. Ia menghitung penghematan yang dilakukan melalui double degree jurusan ilmu komputer. ”Perhitungan kasarnya hemat minimal Aus$ 50 ribu (Rp 452 juta),” katanya. Itu belum dihitung biaya hidupnya, Aus$ 1.200-1.400 (Rp 10-12 juta) per bulan.
Ada alasan lain. Rizki merasa bahasa Inggrisnya sejak awal kurang canggih. Dia takut, jika langsung berangkat, ”Malah kuliahnya enggak bener.” Perasaan ini mendorong Rizki ikut kursus tiga bulan sebelum menjalani tes IELTS—nilai kemampuan bahasa Inggris semacam TOEFL tapi dipakai di Australia—yang menyaring apakah ia bisa berangkat ke Queensland atau tidak.
Kris dan yang lain tahu program double degree dari berbagai macam sumber. Rizki, misalnya, sebelumnya tak tahu ada program double degree. ”Pertama dikasih tahu orang tua,” ujarnya. Karena sejak awal memang berminat ke bidang komputer, selulus SMA Negeri 3 Jakarta, ia mendaftar dan belajar di Depok.
Adapun Gazza mengatakan sejak awal memang ingin kuliah di luar negeri. Minatnya di bidang komputer turun dari ayahnya, dosen bidang komputer di dua kampus terkenal Jakarta. Sejak awal ia sudah mempersiapkan diri ikut pendidikan di luar negeri sehingga sejak duduk di sekolah menengah pertama sudah ikut kursus bahasa Inggris sampai tingkat terakhir—dulu disebut advance—di LIA.
Ia juga tidak cemas dengan masa depannya. Dengan dua ijazah sekaligus, sarjana komputer dari UI dan University of Queensland, ia yakin bakal gampang mendapat pekerjaan. ”Lulusan fasilkom (fakultas ilmu komputer) banyak yang di PwC,” katanya menyebut nama salah satu konsultan bisnis top.
Lingkungan di UI juga membuatnya tidak cemas bakal menghadapi masalah saat meneruskan kuliah di Australia. Alumni double degree yang sudah pulang dari Australia terkadang masih suka bermain futsal di kampus. ”Hubungan dengan alumni akrab,” katanya. Dari senior-senior ini ia yakin tidak mendapat masalah. ”(Para senior bilang) di sini lebih susah kuliahnya, di sana lebih susah bertahan hidupnya,” ujarnya sambil tersenyum.
Rizki, yang merasa tak pede dengan bahasa Inggrisnya sehingga ikut kursus sebelum berangkat, pun bisa menjalani pendidikan tanpa hambatan berarti. Ia hanya merasa berat saat awal karena masalah bahasa. Apalagi, katanya, ”Banyak logatnya saat kuliah, tidak hanya logat Australia.”
Tapi kadang perbedaan pendekatan akademis juga menjadi sedikit masalah. Ini seperti yang dialami Bayu Dhanubroto, mahasiswa Binus yang saat ini sedang kuliah di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT). Saat ia kuliah web programming di Binus, bahasa komputer yang dipakai adalah Java, sedangkan RMIT menggunakan PHP. ”Tiap kali dosen membahas masalah teknisnya, dia bicaranya pakai konteks PHP,” ujarnya. ”Jadi mesti belajar sendiri, coba-coba sendiri dulu, baru bisa nyambung sama yang dijelasin dosennya.”
Meski begitu, banyak hal yang didapat di luar negeri. Humor itu salah satunya. Kris menyebut lagi pemahaman kultur dan budaya asing. Misalnya saat membuat tugas. Di Indonesia, mahasiswa lazim melirik hasil kerja teman kuliah yang sudah selesai. Tapi mahasiswa Australia, kata Kris, tidak akan bersedia menunjukkan hasil kerjanya. ”Paling membantu menjelaskan. Kita harus mikir sendiri.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo