Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU panggilan ke kantor kepresidenan rupanya belum membereskan soal. Maka untuk kedua kalinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Nirwan Dermawan Bakrie menghadap, Rabu pekan lalu. Penanggung jawab kelompok usaha Bakrie itu diminta menjelaskan sengkarut ganti rugi korban lumpur PT Lapindo Brantas.
Setelah pembayaran ganti rugi 20 persen senilai Rp 718,3 miliar yang tidak semuanya mulus, bulan lalu Grup Bakrie malah mengaku tak sanggup membayar kekurangannya yang 80 persen. Pernyataan ini akhirnya dicabut dan PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang mengurus ganti rugi, mengaku mampu membayar dengan mencicil, Rp 20 juta per bulan. Para korban pun menolak. Ribuan orang membanjiri jalanan di Jakarta, juga di Sidoarjo. Sebagian besar minta dibayar tunai.
Didampingi Imam Agustino dan Gesang dari Minarak, Nirwan berjanji segera menyelesaikan tanggung jawabnya. Melalui sambungan telepon, Nirwan menjawab pertanyaan Wahyu Muryadi dari Tempo mengenai masalah ini, Jumat pagi pekan lalu.
Akhirnya tercapai juga kesepakatan sisa pembayaran 80 persen dengan warga korban lumpur yang berdemo di Istana....
Iya. Ini hasil negosiasi dengan warga, baik yang telah dilakukan oleh tim Minarak Lapindo Jaya di Sidoarjo maupun oleh tim di Jakarta, termasuk atas bantuan Menteri Sosial dan Menteri Pekerjaan Umum. Mereka minta Minarak melaksanakan Peraturan Presiden (Nomor 14 Tahun 2007), sehingga kesepakatan para pihak jangan dilanggar. Warga bahagia, Minarak bahagia. Win-win-lah. Kami mengerti kesusahan warga, tapi kami mohon mereka juga memahami kesulitan kami.
Mengapa sampai dua kali dipanggil Presiden?
Presiden memang concern. Beliau bertanya kenapa penyelesaian berlarut-larut. Cuma, kesepakatan ini memang memakan waktu. Kami bahagia kalau beliau concern. Syukurlah sudah terselesaikan . Para pihak mengerti dan mencari penyelesaian sebaik-baiknya.
Tapi ada warga yang belum puas dengan kesepakatan ini....
Mereka akan kami ajak bicara satu per satu. Kami maklum, ini masalah kehidupan yang layak. Kami akan terus berbicara dengan mereka, tapi tentu saja dalam batas kemampuan, mudah-mudahan kelar.
Semula kesepakatannya mencicil Rp 20 juta, kenapa kini dinaikkan menjadi Rp 30 juta? Banyak duit, dong?
Ha-ha-ha..., bukan begitu. Semula, hasil negosiasi dengan warga, sisanya dicicil Rp 15 juta sebulan, tapi nego lagi di Jakarta, disepakati Rp 30 juta. Ini adalah angka maksimum yang bisa kami tanggung dan angka minimum bagi warga untuk bisa berjalan. Insya Allah, bisa kami penuhi.
Selama ini, sudah berapa banyak pihak Anda keluar uang?
Angka persisnya saya lupa. Tapi sekitar Rp 3-4 triliun. Ini untuk biaya penanganan lumpur, penyaluran lumpur, dan biaya sosial untuk mengatasi masalah warga keseluruhan. Total berkas korban yang terkumpul 12.886 berkas.
Warga menuntut ganti rugi, tapi Anda selalu bilang jual-beli. Apa bedanya?
Dalam Peraturan Presiden memang disebutkan bahwa penyelesaian dilakukan dengan cara transaksi jual-beli antara pihak warga dan Minarak, hal yang selama ini diartikan sebagai ganti rugi. Padahal maknanya jelas berbeda. Kalau ganti rugi, itu diberikan untuk kesalahan yang disengaja. Ini kan tidak disengaja, sehingga tak masuk wilayah hukum. Tapi, karena berkaitan dengan lapangan kehidupan masyarakat Sidoarjo, masalah sosial ini harus diutamakan.
Syaratnya pasti berat. Mereka belum tentu punya sertifikat atau surat tanah yang sah....
Ada syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Transaksi Jual-Beli. Obyek hukumnya harus sah, ada surat-surat yang sah. Memang saat pembagian uang muka 20 persen timbul masalah. Sebagian warga tak punya surat-surat untuk bisa jual-beli. Maka atas kesepakatan bersama, dan dibantu TP2LS (Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) di Dewan Perwakilan Rakyat yang memfasilitasi keinginan warga yang tak bisa melakukan transaksi jual-beli, mereka harus ditunjang di permukiman baru. Minarak lalu membangun kawasan Kahuripan Nirwana di atas tanah seluas 400 hektare, yang untuk tahap pertama akan menampung 4.500 keluarga. Ada tersisa 1.200 warga. Mereka tak bisa jual-beli, tapi bersedia pindah secepat mungkin ke Kahuripan Nirwana. Ada perjanjian ikatan jual-beli.
Mengapa tak diselesaikan ketika bisnis Bakrie lagi untung gede?
Sejak Juli kemarin kan Minarak punya kemampuan membayar uang muka 20 persen dan sudah berjalan, dan teratasi, termasuk pembangunan Kahuripan Nirwana. Masalahnya, untuk sisanya yang 80 persen, jatuh temponya Desember ini. Nah, mulai Desember, Januari, dan Februari kelak, kan butuh dana banyak, sehingga kami kesulitan dan tak bisa memenuhi seperti perjanjian utama. Apalagi ada krisis keuangan dunia. Ini memberikan dampak berat bagi Minarak, yang non-public listed company. Tapi, alhamdulillah, warga mengerti kesulitan kami. Setelah negosiasi, mayoritas mereka setuju.
Dari mana duit buat membayar cicilan itu?
Dari Tempo-lah, ha-ha-ha.... Ya dari usaha yang dijalankan (anak perusahaan) PT Bakrie di luar yang listed company. Semula memang dipegang PT Energi Mega Persada yang listed, sehingga membebani PT Bakrie. Berat. Tapi, kalau memang untuk kebaikan, apalagi kita bicara hari Jumat, insya Allah tercapai, pasti datang itu barang, ha-ha-ha....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo