Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'Petrus Dadi Ratu'

16 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada awal tahun tiga puluhan, Bung Karno diseret ke depan pengadilan kolonial Belanda dengan berbagai tuduhan yang bermakna "subversi". Ia tahu betul bahwa semuanya sudah "disetel" penguasa dan dia tinggal menerima hukuman yang berat. Karena itu, daripada hanya membela diri dengan sia-sia, ia mengambil keputusan untuk menyerang dengan menelanjangi sistem kolonial-rasis dalam segala aspeknya. Dengan judul Indonesia Menggugat, pleidoinya akhirnya menjadi dokumen historis untuk masa depan bangsa Indonesia, yang begitu dicintainya.

Kira-kira 45 tahun kemudian, Kolonel Abdul Latief dihadapkan ke pengadilan militer "khusus"—setelah ditahan 13 tahun di sel isolasi—juga dengan berbagai tuduhan yang bermakna "subversi". Karena ia juga mengetahui bahwa kasusnya sudah "disetel" penguasa, ia mengikuti jejak Bung Karno dengan membuat pleidoinya menjadi suatu gugatan yang tajam terhadap Orde Baru, dan khususnya terhadap kebuasan, kelicikan, dan kesewenang-wenangan penciptanya. Sayang sekali, dokumen historis ini baru 22 tahun kemudian boleh dibaca oleh bangsa Indonesia, yang begitu dicintai pengarangnya.

Siapa sih Abdul Latief, yang pada masa kecilnya dipanggil Gus Dul ini? Pada usia muda-belia (baru 15 tahun), dia diwajibkan Belanda untuk mengikuti latihan militer sederhana menghadapi kemungkinan serangan massal dari Dai Nippon. Namun, kemudian penguasa kolonial cepat-cepat bertekuk lutut dan Gus Dul sendiri masuk tahanan Jepang untuk sementara.

Setelah beberapa lama, ia mengikuti Seinendan dan Peta di Jawa Timur. Setelah Revolusi meletus, Latief terus-menerus berada di garis depan. Semula di sekitar Surabaya dan belakangan di Jawa Tengah. Pada akhirnya ia memainkan peranan kunci pada saat Serangan Umum 1 Maret 1949: langsung di bawah Overste Soeharto. Setelah penyerahan kedaulatan, Latief memimpin kesatuan-kesatuan tempur melawan Andi Azis dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, RMS di Maluku, Batalyon 426 di Jawa Tengah, Darul Islam di Jawa Barat, dan akhirnya PRRI di Sumatra Barat. Ia masuk Seskoad pada lichting kedua (Soeharto masuk lichting pertama). Dan akhirnya, ketika konfrontasi dengan Malaysia, ia mendapat posisi yang penting sebagai Komandan Brigade I di Jakarta, langsung di bawah Pangdam Umar Wirahadikusumah. Dalam posisi ini, dia mengambil peranan penting, walaupun bukan peranan kunci, dalam Gerakan 30 September. Yang jelas, Gus Dul adalah tipe serdadu lapangan tulen, dengan formasi-jiwa khas pejoang nasionalis pada masa revolusi kemerdekaan, dengan kesetiaan mutlak terhadap Pemimpin Besar-nya.

Kebudayaannya? Pleidoinya, yang banyak mengutip baik Alquran maupun Kitab Baru, menunjukkan sinkretismenya orang Jawa abangan. Kata-kata khas Marxis boleh dikata tak ada sama sekali.

Bagaimana dengan gugatan-gugatannya? Yang pertama adalah bahwa Soeharto, yang ketika itu menjabat Pangkostrad, diberi tahu sebelumnya oleh Latief, baik tentang suatu Dewan Jenderal yang bermaksud menggulingkan Sukarno maupun tentang rencana G30S untuk menggagalkannya. Umar pun diberi tahu melalui jalur garnisun dan pomdam. Kedua-duanya tidak melarang, apalagi mencegahnya. Ini berarti bahwa Soeharto dengan sengaja membiarkan operasi G30S mulai berjalan dan tidak melaporkannya kepada atasannya, yaitu Jenderal Nasution dan Jenderal A.Yani. Pada saat yang sama, Soeharto tentu saja siap untuk mengambil "tindakan" terhadap G30S setelah saingan-saingannya di pucuk pimpinan Angkatan Darat "dibereskan". Machiavelli bisa bertepuk tangan.

Kita tahu bahwa Soeharto pernah menyatakan kepada masyarakat umum mengenai dua versi yang berbeda tentang pertemuannya dengan Latief di RSPAD pada malam menjelang l Oktober 1965. Kedua-duanya sulit diterima akal sehat dan saling bertentangan. Kepada wartawan Amerika, Arnold Brackman, Soeharto bercerita bahwa Latief datang ke RSPAD (si Tommy dirawat di sana akibat tersiram sup panas) untuk "mengecek" Soeharto. Tapi mengecek apa? Dia tak menyebutkannya. Kepada majalah Jerman Der Spiegel, Soeharto mengemukakan bahwa Latief datang untuk membunuhnya, tapi akhirnya takut karena di sana banyak orang. (Seakan-akan Gus Dul baru menyadari bahwa rumah-sakit selalu penuh orang!)

Tingkat kejujuran Soeharto bisa dinilai dari fakta yang berikut: pada 4 Oktober, tim dokter forensik sudah memberi visum et repertum atas jenazah-jenazah jenderal korban G30S, langsung kepada Soeharto. Visum itu menjelaskan bahwa para jenderal itu semua mati diberondong senapan militer. Tetapi, dua hari setelah itu, kampanye yang dikuasai Kostrad di media massa dimulai, seolah-olah mata para korban dicungkil dan kemaluannya dipotong oleh para anggota Gerwani. Kebohongan dingin itu direncanakan untuk menimbulkan histeria anti-PKI di setiap lapisan masyarakat Indonesia.

Fakta-fakta lain mengukuhkan gugatan Latief ini. Hampir semua pelaku militer yang penting di G30S adalah anak buah atau bekas anak buah Soeharto, yaitu Soepardjo, Untung, dan Latief di Jakarta, dan Suherman, Usman, dan kawan-kawannya di Markas Divisi Diponegoro di Semarang. Bahkan, ketika Untung kawin, Soeharto ikut merayakan upacaranya di suatu tempat kecil di Jawa Tengah. Ketika Sigit bin Soeharto disupit, keluarga Latief diundang, dan sebaliknya pada khitanan anak lelaki Latief, keluarga Soeharto menjadi tamu terhormat. Jadi, sangatlah jelas bahwa semua perwira ini, yang bukannya anak ingusan, percaya penuh bahwa Soeharto ada di pihak mereka dalam usaha menyelamatkan Sukarno dari bahaya kup Dewan Jenderal. Kepercayaan macam ini mustahil kecuali kalau Soeharto, secara langsung atau tidak langsung, mensinyalir tanda "OK" kepada rencana mereka.

Ketika saya mengajukan pertanyaan kepada Pak Latief, bagaimana perasaan Pak Latief pada sore hari tanggal 1 Oktober, tidak mengherankan jika jawabannya adalah "saya merasa dikhianati". Lagi pula, keterangan Latief telah memperjelas secara gamblang salah satu di antara sekian misteri berkaitan dengan G30S, misalnya: mengapa kedua jenderal yang langsung memegang peran pimpinan atas semua pasukan di Jakarta, kecuali Resimen Tjakrabirawa (yaitu Pangkostrad Soeharto dan Pangdam Jaya Umar), tidak "diamankan" oleh G30S—seandainya G30S benar-benar bermaksud menyelenggarakan sebuah kup dan menggulingkan pemerintah seperti yang dituduhkan di pengadilan militer khusus? "Kan, mereka dianggap kawan!"

Dari sisi lain, sudah diketahui bahwa cukup lama sebelum peristiwa l Oktober, Ali Moertopo (yang saat itu menjabat sebagai Asisten Intel Kostrad) sudah melaksanakan politik luar negeri yang dirahasiakan baik dari Sukarno maupun dari Yani. Dengan memakai orang bekas PRRI-Permesta, hubungan gelap sudah diatur dengan pimpinan negara-negara musuh (ketika itu) Malaysia dan Singapura, selain Amerika Serikat. (Benny Moerdani menyamar sebagai pegawai Garuda di Bangkok dalam hubungan itu.) Jadi, tampaknya Latief benar ketika dia menyatakan bahwa Soeharto bermuka dua, atau lebih tepat bertangan dua: di satu tangan Soeharto memegang Latief-Untung-Parjo, dan di tangan lain memegang Moertopo-Yoga Sugama-Benny Moerdani.

Gugatan Latief yang kedua adalah membalikkan tuduhan oditur militer bahwa G30S bermaksud menggulingkan Presiden Sukarno, dan penegasannya bahwa "Dewan Jenderal itu tidak ada".

Kesimpulannya adalah justru Soehartolah yang merencanakan dan melaksanakan penggulingan terhadap Sukarno; dan Dewan Jenderal ternyata ada, dan bukannya Nasution-Yani cs, melainkan Soeharto dan jenderal-jenderal lain kepercayaannya, yang akhirnya mendirikan kediktatoran berlandasan Angkatan Darat yang kemudian berlangsung selama puluhan tahun. Sekali lagi fakta-fakta cenderung membenarkan kesimpulan ini. Jenderal Pranoto Reksosamudro, yang diangkat oleh Presiden/Pangti Sukarno sebagai pengganti sementara almarhum Jenderal Yani, ditolak oleh Soeharto dan kemudian "diamankan". Aidit, Lukman, dan Nyoto, semuanya berstatus menteri Bung Karno, dibunuh begitu saja. Walaupun Sukarno berusaha keras untuk mencegahnya, Soeharto dan kawan-kawannya merencanakan dan melaksanakan pembunuhan massal pada bulan-bulan Oktober, November, dan Desember 1965.

Pada Maret 1966, seperti yang digarisbawahi Latief, terjadi kup semu dengan kepungan bersenjata terhadap rapat kabinet di Jakarta, disusul dengan penodongan terhadap Presiden di Bogor, yang berakhir dengan Supersemar yang "super-samar" itu. Selanjutnya, kabinet praktis "di-demisioner-kan", sedangkan 15 menteri ditahan.

Kesimpulan Latief cukup jelas dan sederhana: bukanlah G30S yang melakukan insubordinasi berat dan terencana terhadap Presiden yang berakhir dengan penggulingannya, melainkan seorang manusia yang kemudian oleh anak-anak nakal sering dijuluki sang GPK (Gali Pelarian Kemusu) yang melakukan itu semua.

Gugatan Latief yang ketiga lebih luas dan tidak kalah pentingnya: tentang kebuasan penguasa yang luar biasa dan sama sekali di luar hukum. Bahwa si Penggugat masih hidup, masih memiliki akal sehat dan masih bersemangat hatinya, itu menunjukkan suatu nyali yang bersifat mukjizat.

Saat ditangkap pada 11 Oktober 1965, kaki-tangan Latief ditusuk dengan bayonet yang memotong beberapa urat saraf pokok, sedangkan lutut kirinya dihancurkan dengan peluru. (Padahal, dia tidak melawan.) Di RSPAD, sekujur badannya ditutup ketat oleh gips semen sehingga hanya kepala yang bisa bergerak. Dalam keadaan seperti itu, ia masih diperiksa interogator, dijebloskan ke dalam sel isolasi (selanjutnya untuk sepuluh tahun) yang sempit, lembap, dan kotor. Luka-lukanya kena gangrene sehingga meruap bau bangkai. Ketika gips akan dibuka, keluarlah ratusan ulat berkruget-kruget sehingga petugas keamanan tak tahan dan berlari keluar untuk memuntahkan isi perut. Dua setengah tahun—bayangkan!—Latief berbaring diliputi gips dan baru dioperasi. Ia dipaksa menerima suntikan penisilin, meski sudah menyatakan tubuhnya sangat alergi (terhadap penisilin), sehingga ia semaput dan hampir mati. Selanjutnya, ia menderita ambeien, hernia, kejang ginjal, verkalking pada tulung punggung, dan banyak lagi. Perlakuan yang diterima tahanan-tahanan lain, khususnya militer yang memang banyak, hampir setaraf, ditambah dengan makanan yang sangat sedikit dan sering busuk. Tidaklah mengherankan bahwa ratusan orang di Salemba mati, banyak yang menjadi lumpuh akibat siksaan, dan lebih banyak lagi yang menjadi gila. Berhadapan dengan kesadisan macam ini, mungkin Kempeitai pun akan ngeri. Dan ini keadaan di penjara Salemba saja, belum terhitung puluhan penjara lain di Jakarta dan di daerah, tempat ratusan ribu orang merangkak bertahun-tahun tanpa diadili. Siapakah yang bertanggung jawab atas berdirinya "Gulag tropis" ini?

Buku-buku pelajaran sejarah sekolah dasar Indonesia berkisah tentang seekor monster kolonial bernama Kapten "Turk" Westerling. Biasanya, jumlah korbannya (pada tahun 1946) di Sulawesi Selatan disebut mencapai 40 ribu nyawa. Pasti lebih banyak lagi jumlah korban yang luka, yang rumahnya dibakar dan hartanya dirampas dengan pemerkosaan sana-sini. Pleidoi Gus Dul mengajak pembaca untuk merenungkan tentang seekor monster pribumi yang dingin dan buas, jauh melangkahi kesadisan sang kapten jahanam itu. Pada 1965-1966 saja, telah jatuh paling sedikit 600 ribu nyawa. (Dan jika benar pengakuan almarhum Sarwo Edhie kepada Mas Permadi, mungkin korbannya mencapai dua juta orang.) Di Timor Timur, pada 1977-1979, paling sedikit 200 ribu orang dibunuh secara langsung, atau dimatikan dengan kelaparan terencana dan penyakit-penyakit yang timbul akibat HO itu.

Dalam peristiwa Petrus pada 1983, Amnesty International menafsirkan 7.000 manusia dieksekusi di luar hukum. Ditambah lagi korban-korban Aceh, Irianjaya, Tanjungpriok, Lampung, dan lainnya. Jika kita mengadakan perhitungan secara konservatif, paling sedikit ada 800 ribu manusia, yaitu 20 kali lipat "score" yang dicapai Westerling. Dan semua korban ini, ketika menjadi korban, termasuk "bangsa dhewe" sang monster.

Latief juga menunjukkan bagian-bagian "tragedi nasional" lain yang juga memerlukan renungan. Misalnya, ada ratusan ribu manusia yang dipenjara bertahun-tahun tanpa tuduhan yang jelas, tanpa proses hukum yang masuk akal, dan adanya penyiksaan sadistis yang terjadi secara rutin. Belum lagi perampasan harta yang tak terhitung jumlahnya, pemerkosaan yang dianggap iseng-iseng, dan pengucilan sosial selama puluhan tahun, bukan hanya terhadap para bekas tapol, tetapi juga para istri, para janda dan anak-anak, dan keluarga dalam arti luas.

Gugatan Latief ini ditulis 22 tahun yang lalu, dan sejak itu banyak sekali peristiwa yang telah terjadi di tanah airnya. Tetapi justru sekarang gugatannya bisa menjadi mahapenting jika dijadikan penggugah hati nurani rakyat Indonesia, khususnya angkatan muda.

Keributan mempersoalkan perkara korupsi Soeharto dan keluarga (seolah-olah kriminalitas Soeharto hanya sejenis kriminalitas Eddy Tansil) sama gilanya dengan keributan tentang banyaknya gundik Idi Amin, tentang pencolengannya Slobodan Milosevic, atau selera artistik Adolf Hitler yang norak. Bahwa kelas menengah Jakarta dan sebagian besar lapisan intelektual masih sibuk dengan isu duit yang dicolong "Pak Harto" (Duit kite, lo. Mungkin begitu impiannya), itu menunjukkan dengan jelas bahwa mereka belum mampu menghadapi realitas dan sejarah modern bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sikap burung unta, yang ngotot "mencemplungkan kepalanya" ke dalam lautan pasir, berbahaya sekali. Seorang intelek wicaksana pernah bersabda: mereka yang tak mau tahu masa lalu dihukum untuk mengulanginya. Mengerikan, bukan?

INI DIA, sepenting-pentingnya pleidoinya Latief, tak mungkin tulisan darurat ini mampu membuka tabir kegelapan yang masih menutupi banyak aspek dari masalah Gerakan Tiga Puluh September dan epilognya—termasuk pertanyaan-pertanyaan mengapa Latief sendiri tidak segera dieksekusi seperti yang terjadi pada Untung, Soepardjo, Mayor (AU) Suyono. Mengapa Jenderal Yani dan kawan-kawannya sampai dibunuh, mengingat rencana semula adalah untuk menghadapkan mereka kepada Bung Karno sebagai grup? Mengapa Lettu Dul Arief, yang langsung memimpin serbuan terhadap rumah-rumah jenderal, ternyata hilang tanpa bekas? Mengapa selama satu setengah hari hampir seluruh Jawa Tengah jatuh ke tangan penyokong-penyokong G30S yang namanya Suherman, Usman, dan lain-lainnya? Mengapa mereka pun akhirnya hilang tanpa bekas? Siapa sebenarnya Syam alias Kamaruzzaman, bekas pegawai Recomba Pasundan, bekas anggota PSI, bekas intel Komando Militer Jakarta Raya pada masa penyelundupan besar-besaran di Tanjungpriok yang didalangi Ibnu Sutowo dan Nasution, dan juga bekas teman karib D.N. Aidit itu? Apakah dia mata-mata tentara di kalangan komunis atau mata-mata komunis di kalangan tentara? Atau mata-mata pihak ketiga? Atau sekaligus semuanya? Apakah benar dia sudah dieksekusi, atau hidup tenang di luar negeri dengan nama baru dan dompet yang padat?

Latief juga tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok tentang tindakan-tindakan tertentu pada saat peristiwa Gerakan 30 September terjadi, khususnya "kekonyolan" politiknya. Pengumuman Overste Untung bahwa mulai l Oktober pangkat overste yang disandangnya akan menjadi pangkat tertinggi di Angkatan Darat otomatis membuat semua jenderal dan kolonel di seluruh Indonesia, yang sebagian pentingnya justru memegang komando atas kesatuan tempur, menjadi musuhnya. Gila, bukan? Mengapa daftar nama-nama anggota Dewan Revolusi begitu kacau dan tidak meyakinkan? Dan mengapa Gerakan 30 September tidak mengumumkan bahwa mereka diperintahkan (biarpun bo'ong) oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi sendiri, daripada mendemisionerkan Kabinet Presiden tersebut? Mengapa mereka tidak mengajak khalayak ramai turun ke jalan untuk ikut menyelamatkan Bung Karno? Tidak masuk akal bahwa politisi kawakan yang terkenal kepandaiannya macam Aidit, Njoto, dan Sudisman akan menciptakan sekian banyak blunder politik. Tentunya, timbul kecurigaan bahwa serangkaian blunder konyol ini dengan sengaja disetel justru untuk menjamin bahwa G30S akan gagal. Pengumuman-pengumuman yang begituan akan membingungkan publik, melumpuhkan massa, dan memberi alasan mudah untuk penumpasan G30S sendiri. Jika demikian, siapakah yang sebenarnya menciptakan blunder ini dan mengatur penyiarannya melalui RRI?

Sebagian besar pelaku dan saksi utama dalam krisis tahun 1965 sudah dibunuh atau meninggal. Toh, yang masih hidup selama ini tutup mulut dengan motivasi berbeda-beda, seperti Umar Wirahadikusumah, Omar Dhani, Sudharmono, Rewang, M. Panggabean, L.B. Moerdani, Ny. Hartini, Mursjid, A. Jusuf, Kemal Idris, dan Yoga Sugama. Tak terkecuali sang GPK sendiri. Tiga puluh lima tahun setelah 1965, apakah tidak baik—demi masa depan bangsa Indonesia, lo—jika sekarang mereka diminta keterangan serinci mungkin, sebelum mereka dipanggil oleh-Nya?

Kata orang zaman dulu, penggilingan Tuhan memang bekerja dengan lamban tetapi pasti dan tak bisa dihentikan oleh manusia mana pun. Maksudnya, pada akhirnya "beras" kebenaran pasti akan dibersihkan dari "gabah" kebohongan dan kekeliruan. Pada suatu hari, di mana pun juga, arsip-arsip yang selama ini dirahasiakan, naskah-naskah memoar yang selama ini disembunyikan di laci terkunci, catatan-catatan harian yang selama ini ditutupi debu di loteng rumah cucu-cucu para almarhum, akan dibawa ke penggilingan-Nya dan diketahui generasi-generasi yang akan datang.

Dengan buku ini, yang "ditutupi" selama 22 tahun oleh penderitaan yang luar biasa, Abdul Latief, yang bernyali besar, telah memberi contoh yang mengagumkan dari pepatah kuno tadi. Siapa tahu, kelak kemudian hari, gugatannya bisa memberi sumbangan yang berharga kepada pakem lakon wayang sejarah bangsa yang berjudul, yah…, apa lagi? "Petrus Dadi Ratu".

Benedict Anderson

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus