Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seabad Chairil Anwar, Rekonstruksi Hidup Sang Penyair

Galeri Salihara memamerkan arsip Chairil Anwar. Seabad penyair "binatang jalang".

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA masih hidup, ia akan berusia 100 tahun. Tapi Chairil Anwar mati muda, pada usia 27 tahun, dengan sakitnya. Dalam kehidupannya yang pendek, ia mampu menciptakan karya-karya yang bernas dan mewarnai dunia kesusastraan Tanah Air. Ia ditabalkan sebagai pelopor angkatan ’45 yang bergerak dan bangkit melawan dengan semangat yang menggelora. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka sebagai sebuah perlawanan. Namun karyanya yang berenergi, bergelora, tak lepas dari kontroversi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Chairil mengenal Hans Bague Jassin, sastrawan dan editor di Balai Pustaka, ketika mulai hidup di Batavia. Kelak ia tak hanya menjadi editor sajak-sajak Chairil, tapi juga dengan ulet mencatat dan sangat teliti menyimpan, mendokumentasikan, serta mempromosikan karya-karya sang penyair.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nik—panggilan Chairil pada masa kecil—tumbuh dalam lingkaran pergaulan yang luas di republik yang baru lahir. Berkelindan dengan para aktivis pergerakan, para seniman-budayawan yang juga ikut berjuang, para jurnalis. Harapan dan kehidupan cintanya tak mulus, patah, dalam bait-bait sajaknya kepada Sri Ajati, Dien Tamaela, Sumirat, atau Hapsah Wiriaredja yang ia ceraikan dan sesali perceraiannya hingga maut menjemput.

Laksmi Pamuntjak dan Cecil Mariani mengkurasi “Pameran 100 Tahun Chairil Anwar: Aku berkisar Antara Mereka” yang berlangsung di Galeri Salihara, Jakarta, 28 Oktober-4 Desember 2022. Sebuah pameran arsip yang merekonstruksi kehidupan singkat sang “binatang jalang” dalam lingkar pergaulannya.

Foto ikonik Chairil Anwar dengan dua jarinya memegang rokok dengan kening sedikit berkerut terpampang cukup besar di bidang dinding Galeri Salihara. Foto yang dicetak pada kain itu melambai ringan. Di balik foto itu tercantum sebuah sajaknya. Siapa pun akan langsung mengenali penyair bohemian ini. Dalam pameran seabad Chairil, pengunjung akan diajak merekonstruksi kehidupan dan karyanya.

Pameran 100 Tahun Chairil Anwar: Aku berkisar Antara Mereka di Galeri Salihara, Jakarta, 1 November 2022. TEMPO/Subekti

Selama empat bulan Laksmi dan Cecil mengumpulkan dan memilah arsip yang sebagian besar dimiliki Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang belum banyak dibaca atau diketahui masyarakat. Mereka memperkayanya dengan data dari Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional Republik Indonesia serta menapaktilasi berbagai tongkrongan dan tempat Chairil pernah tinggal.

Pengunjung diajak mengenal lebih dalam Chairil melalui delapan bagian pameran. Chairil lahir di Medan, Sumatera Utara, dari pasangan Toeloes Manan dan Saleha pada 26 Juli 1922. Ayahnya seorang controleur di perkebunan Tjong A Fie yang terkemuka di Medan. Dalam lini masa di bagian pertama, ditunjukkan riwayat masa kecil Chairil. Selembar foto perempuan sepuh berkebaya dan berkacamata terpampang. Itulah Saleha sang ibunda. Di sampingnya ditempelkan kopi foto-foto lawas situasi Kota Medan pada 1920-an yang ramai dan berkembang karena perkebunan tembakau.

Lini masa ini memberikan pengantar rekonstruksi kehidupan Chairil. Ketika belajar di Hollands-inlandsche school dan meer uitgebreid lager onderwijs (MULO), yang hanya bertahan dua tahun, ia sempat bergabung dengan kelompok majalah dinding sekolahnya. H.B. Jassin memperkirakan puisi-puisi awal Chairil ditulis di sana. Kenangan dua teman sekolahnya, Amir dan Asasiah Harahap, menggambarkan Chairil remaja. “(Yang Asasiah ingat) Chairil seorang bodoh. Dia tinggal kelas di Kelas Satu. Semua biji rapornya jelek, kecuali bahasa Belanda dapat 6,” demikian tertulis dalam keterangan kopi tulisan tangan Asasiah. Sedangkan Amir ingat Chairil pernah membuat naskah drama dan naskah itu dipentaskan, tentang sebuah perceraian.

Selain foto-foto pada masa MULO, ada sebuah video wawancara Yurida Emni, sepupu Chairil, yang mengenang saudaranya itu. Dia menjelaskan rumah gadang tua yang merupakan rumah ayah Chairil yang terbengkalai. Chairil sempat tinggal sekitar enam bulan di rumah itu.

Kisah Chairil dalam lini masa beranjak ke Batavia. Ia masuk ke lingkaran penyair Pujangga Baru yang didirikan Sutan Takdir Alisjahbana dan bergaul dengan H.B. Jassin di Balai Pustaka. Arsip suasana kerja di Balai Pustaka dan gedung bioskop Rex ditampilkan untuk melengkapi arsip periode awal kehidupannya di Batavia pada 1941. Dalam Edisi Khusus Chairil Anwar majalah Tempo pada 2016, dikisahkan Chairil sangat doyan menonton gambar hidup di bioskop dan dimanjakan oleh kedua orang tuanya.

Pengunjung pameran mengenang 100 tahun Chairil Anwar di Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, 4 November 2022. ANTARA/Darryl Ramadhan

Periode 1942-1946 menjadi puncak aktivitas Chairil dalam kesastraan. Sebuah puisi untuk neneknya berjudul “Nisan” disebut menandai karya sastranya. Puisi itu dibuat saat ia berkunjung ke kampung untuk mencari saudara ayahnya. Pada periode ini pula ia memperlihatkan perlawanan dengan sajaknya. Tak kurang dari 33 karya, termasuk sajak berjudul “Aku” yang tersohor, ia buat. Ia pun menyampaikan “Pidato Kebudayaan Chairil Anwar 1943” di depan angkatan baru Pusat Kebudayaan. Teks pidato dan kartu pos Chairil kepada H.B. Jassin dicantumkan pula.

Setelah kelahiran Indonesia, bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka. Ia menandainya lagi dengan pidato kebudayaan. Sebanyak 15 sajak, termasuk “Kenang, Kenanglah Kami (Krawang-Bekasi)”, ia tulis sepanjang 1946.

Setelah pernikahan singkatnya dengan Hapsah Wiriaredja yang memberinya seorang putri, jejak kehidupan pribadi Chairil terus tercetak hingga 1949, saat ia meninggal. Periode ketika Chairil jatuh sakit hingga meninggalnya dan upaya mengenang sang penyair dengan monumen atau patung dibahas tersendiri oleh kurator.

Karakteristik Chairil yang supel, bebas, dan urakan tak membuatnya dikecilkan orang-orang di sekitarnya. Ia bisa masuk ke semua lingkaran seniman dan, dengan jiwa pemberontaknya, menjejakkan kaki perlawanan. Bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, ia bahkan mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka pada 1946. Terdapat arsip berisi foto profil, karya mereka, terbitan Gema Suasana, dan lembar apresiasi pendirian yang menguning. Ada pula sosok kawan mereka, Baharuddin dan Ida Nasution, yang dijejerkan pada panel berwarna biru keunguan.

“Angkatan ’45 harus berdiri sendiri, menjalankan dengan tabah dan berani nasibnya sendiri, menjadi pernyataan revolusi,” demikian kutipan pesan Chairil dalam album kecil pelukis Tino Sidin.

Pameran 100 Tahun Chairil Anwar: Aku berkisar Antara Mereka di Galeri Salihara, Jakarta, 1 November 2022. TEMPO/Subekti

Sepotong kehidupan Chairil di lingkaran seniman rupa menjadi satu bab tersendiri. Lihatlah Affandi, S. Sudjojono, Basuki Resobowo, juga Sudjana Kerton. Chairil sangat akrab dengan mereka, meluruh dengan goresan pena, kuas pada kanvas para seniman. Ia juga menulis karya untuk mereka. Para seniman ini pun tahu kehidupan Chairil yang berandalan dan memaklumi tingkah si anak muda.

Sebuah ucapan keluar dari mulut Chairil ketika ia dimintai pendapat oleh para seniman Yogyakarta yang tengah membuat poster propaganda untuk disebar: “Boeng, ajo Boeng!” Terdengar heroik, padahal itu kata rayuan para pekerja seks di wilayah Senen, Jakarta, kepada calon konsumen mereka. Sejumlah hasil reproduksi arsip sketsa, lukisan, sajak, foto profil, poster, dan karya lain disajikan dalam model pigura magazine spread.

Kehidupan sastra Chairil dalam sajak dan prosa menjadi dua bagian sajian elemen penting pameran. Produktivitas Chairil terasa bernas dalam periode hidupnya dan periode kesastraannya yang singkat pada 1942-1949. Dalam keterangan tertulis, H.B. Jassin mengatakan Chairil menulis 72 sajak asli (satu dalam bahasa Belanda), 2 saduran, dan 11 sajak terjemahan. Pendapat pro-kontra, tuduhan, kecurigaan, spekulasi, penyangkalan plagiarisme, muncul dalam dunia sastra bahkan setelah puluhan tahun ia meninggal. “Karena itulah bagian Chairil dan Sajak adalah bagian terbesar dalam pameran,” ujar Laksmi pada Kamis, 3 November lalu.

Sajaknya juga bertumbuh, ada yang disensor, diubah, dengan beragam tema. Termasuk ketika ia menulis sajak yang berhubungan dengan isu keagamaan, seperti “Doa”, “Di Masjid", "Sorga”, dan “Isa” dalam ketikan dengan coretan tangan H.B. Jassin. Beberapa sajaknya di kemudian hari menjadi sorotan pembahasan di media massa. Sajaknya dibandingkan dengan sajak bernapas ketuhanan milik Amir Hamzah.

Pameran 100 Tahun Chairil Anwar: Aku berkisar Antara Mereka di Galeri Salihara, Jakarta, 1 November 2022. TEMPO/Subekti

Ihwal kontroversi tuduhan plagiarisme, atau pengaruh dan pembelaan kepada Chairil, kurator juga memberikan ruang yang cukup untuk dibaca. Siapa yang menuduh dan membela terlihat dalam arsip-arsip lawas yang disajikan. Beberapa sajaknya menimbulkan silang pendapat, seperti “Datang Dara, Hilang Dara” yang diterjemahkan dari sajak Hsu Chih-Mo yang berjudul “A Song of the Sea”. Juga sajak “Rumahku” yang dituduh jiplakan karya penyair T.S. Eliot dan Jan Jacob Slauerhoff serta “Kepada Peminta-minta” yang kuat dipengaruhi karya Willem Elsschot.

Selain itu, ada kontroversi yang menghebohkan tentang sajak “Krawang-Bekasi” yang diyakini sejumlah pihak jiplakan sajak Archibald Macleish, “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”. Kekaryaan Chairil dan kontroversinya ini disajikan di pedestal sehingga memudahkan pengunjung untuk mengamati dan membaca bagaimana silang sengketa itu terjadi.

Kurator juga memperlihatkan foto beberapa sastrawan-penyair luar negeri yang karyanya menginspirasi atau dikagumi Chairil. Profil dan karya-karya mereka pun disandingkan dengan karya Chairil. Mereka adalah Conrad Aiken, T.S. Eliot, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Rainer Maria Rilke, Jan Jacob Slauerhoff, dan Hendrik Marsman. Dari beberapa nama itu, yang menjadi idola Chairil adalah duo penyair Belanda, Hendrik Marsman dan Jan Slauerhoff. Keduanya dinilai memberikan pengaruh paling besar pada karya Chairil. Diperkirakan pengaruh ini diperoleh ketika Chairil membaca karya-karya mereka saat menumpang di rumah Sutan Sjahrir.

“Marsman menerbitkan karyanya sekitar 1920-an dengan gaya puisi bebasnya ekspresionis dan ritmik. Ia memakai istilah vitalisme untuk menjelaskan pusinya,” demikian tertulis dalam pengantar. Adapun Slauerhoff dikenal dengan sajak yang cenderung otobiografis. Tema utamanya adalah keresahan dan kerinduan pada tempat yang jauh dan disalurkan melalui sosok yang mendobrak batas, seperti inventor, perompak, dan pelacur.

Pengunjung pameran mengenang 100 tahun Chairil Anwar di Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, 4 November 2022. ANTARA/Darryl Ramadhan

Chairil juga menulis prosa, meski hanya tujuh yang asli—satu lainnya dalam bahasa Belanda dan empat terjemahan. Termasuk terjemahan cerita pendek karya Ernest Hemingway, John Steinbeck, dan André Gide. Ada pula sejumlah surat dan sajak Rainer Maria Rilke kepada penulis dan psikoanalis Rusia-Jerman, Lou Andreas-Salomé. Panel biru memperlihatkan foto-foto sang sastrawan dunia dan karya Chairil. Kedalaman Chairil dalam memahami karya Hemingway dan Steinbeck serta surat Rilke dituliskan dalam karya yang bernas dan pidato yang berenergi.

Tentu yang paling khusus adalah bagian hubungan Chairil dengan H.B. Jassin, yang sangat teliti menyimpan dan mendokumentasikan karya-karya sang penyair. Bagian terbesar kedua adalah sosok Chairil yang bisa disimak lewat kiprah H.B. Jassin—baik melalui surat-menyurat di antara mereka; korespondensi Jassin dengan penerbit, toko buku, ilmuwan, akademikus, dan pemerhati awam seputar karya-karya Chairil; serta dokumentasi persiapan penerbitan buku Jassin, Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45.

Bagian yang juga menarik secara visual adalah lembar-lembar kain yang menggantung di tengah ruang bundar. Kain-kain ini memuat cetakan foto, sajak, dan kutipan dari sosok-sosok yang dinilai cukup berkesan. Kebanyakan adalah perempuan Chairil, seperti Hapsah, Dien Tamaela, Karinah Moordjono, Tuti Artic, Sri Ajati, dan Sumirat. Tapi ada pula sosok Darmawijaya, teman dekat pertama Chairil di Batavia, penerjemah era Pujangga Baru dan guru Tamansiswa.

Chairil juga masuk lingkaran kehidupan dunia politik, budaya, dan jurnalisme. Ada Sutan Sjahrir, Des Alwi, Aboe Bakar Loebis, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan Gadis Rasid. Jejaknya juga dituliskan pada banyak buku mereka. Dari sana, berbagai sisi kehidupan Chairil turut tersingkap. Ada pula dua buku jurnal bertulisan tangan Chairil yang disimpan dalam kotak kaca.

•••

DALAM proses kurasi, Laksmi Pamuntjak bersama Esha Tegar Putra mencoba mengklasifikasi arsip dalam beberapa tahap. Arsip itu berupa artikel di koran dan majalah, ulasan kritikus, buku, foto, video, sketsa, gambar, lukisan, surat, dan catatan harian. “Setelah itu baru saya menyusun pembagian berdasarkan dimensi kesusastraan dan kehidupan Chairil Anwar,” tutur Laksmi.    

Laksmi dan tim yang bekerja sama dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin ingat semua materi tentang Chairil tersimpan sejak 1976, ketika H.B. Jassin sang Paus Sastra Indonesia mendirikan perpustakaan ini. Kebanyakan materi penting, termasuk sajak asli Chairil dalam tulisan tangan, kata Laksmi, ada di sini. Hal ini masuk akal karena sejak mereka bertemu pada 1942, terjalin hubungan yang sangat baik. “Jassin mengagumi bakat, semangat Chairil. Di kemudian hari ia tak hanya menyunting, mempromosikan sajak Chairil, tapi juga ulet menyalin dan mendokumentasikan,” ucap Laksmi.

Ada tantangan bagi Cecil Mariani dan Ari Prameswari yang bertugas menyajikan materi hasil riset Laksmi dan Esha Tegar Putra: para pengunjung harus dipastikan tetap bisa menikmati sebagian besar kopi arsip tua yang sudah menguning. Pengunjung mesti bisa membaca kutipan atau keterangan dengan nyaman, tidak lekas bosan, dan mendapatkan kesan tentang sang penyair.

Ragam medium dengan kertas, foto, kain, panel, pedestal, dinding, dan lantai dipergunakan secara maksimal untuk membuat pengunjung betah menikmati pameran 100 Tahun Chairil Anwar. “Ya, ini bagian agar pengunjung menikmati arsip dengan mata dan rasa,” ucap Ari kepada Tempo, Rabu, 3 November lalu.

FELIN LORENSA DANI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus