Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Bengkulu, hujan turun pada malam Asyura, 9 Muharam, bertepatan dengan 14 November 2013. Hujan yang seakan-akan bercerita tentang kejadian murung lebih dari 1.300 tahun silam: pembantaian yang terjadi manakala Daulat Umayyah memperkukuh posisi politiknya sebagai pemangku kekhalifahan. Mereka membunuh cucu Nabi Muhammad SAW, Husein—beserta ratusan pengikutnya yang setia—sekaligus di pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, Irak.
Sejak itu Karbala, kota kecil di tengah Irak di dekat gurun pasir Suriah, menjadi lambang pengorbanan dan kepedihan. Entah bagaimana ceritanya, di Bengkulu, kota yang jaraknya ratusan ribu kilometer dari Karbala, terbentang sebuah daerah pemakaman berawa-rawa yang dinamakan Karabela (pelesetan lokal dari Karbala). Sementara dalam legenda jasad sang syahid Husein dijemput kereta menyerupai pagoda yang turun dari langit, pada hari terakhir dalam tradisi tabut atau tabot Bengkulu miniatur pagoda yang dibuat dari kayu dan kertas setinggi empat meter itu dilarung di rawa-rawa Karabela.
Ya, Karbala adalah kisah pengorbanan dan kepedihan, dan tabut merupakan rekonstruksi kesedihan itu. Gham—diambil dari bahasa Urdu, Punjab—ritual dalam tabut yang sengaja diciptakan untuk mengenang kesedihan pada Muharam ini, melalui satu moment of silence. Prosesi tabut yang biasanya semarak dengan ingar-bingar gendang besar (dol) dan gendang tipis yang nyaring (tassa) mendadak senyap. Inilah pernyataan belasungkawa yang berlangsung pada hari ketujuh, mulai pukul 06.00 sampai orang di masjid selesai melakukan salat asar.
Dan sebelum gham (artinya bersedih), ada ritual duduk penja yang diikuti arak-arakan penja. Penja—yang juga dari bahasa Urdu—adalah imitasi lima jari tangan yang terbuat dari seng, perak, dan emas; simbol dari potongan tubuh para syuhada yang tercecer di medan Karbala.
Namun tabut di Bengkulu telah lama berhenti menjadi ritual religius semata. Sejak gerakan "pemurnian" mulai pasang dan tudingan syirik ditujukan kepadanya, para penyelenggara tabut cepat bergerak meninggalkan kontroversi itu, seraya mengukuhkan tabut sebagai produk budaya. Dengan menyatakan tabut bikinan manusia, mereka pun menghindari konflik yang berkepanjangan tentang halal-haram dan Sunni-Syiah.
Malam itu, pertengahan November, Bengkulu berpesta. Pada malam yang disebut tabut bersanding itu, ribuan orang "menyerbu" Lapangan Merdeka, titik sentral Festival Tabot yang saban tahun dilaksanakan Kerukunan Keluarga Tabot (KKT) Bengkulu. Deru musik dan atraksi genderang dol dan tassa bercampur baur di antara gemerlap ratusan lampu tabut yang berjajar di antara para pengunjung yang berdesak-desakan. Mereka telah berjalan kaki ratusan meter karena kendaraan dilarang parkir di sekitar Lapangan Merdeka yang penuh dengan manusia.
Inilah tabut yang bukan hanya mengenang syahidnya Husein pada 680, melainkan juga sebuah pesta rakyat sekaligus atraksi wisata. Selain menikmati tarian, nyanyian, dan atraksi dol, para pengunjung dapat menikmati aneka kudapan tradisional dan berbelanja di pasar rakyat yang dibuka khusus untuk pesta besar ini.
Dibanding sebelumnya sejak festival dibuka pada malam 1 Muharam, pada malam Tabot Bersanding para pengunjung dapat melihat semua tabut untuk terakhir kalinya, sebelum esok hari tabut itu dibuang ke rawa-rawa Karabela.
Tabut memang telah melekat dan menyatu dengan masyarakat di Bengkulu. Namun masih belum jelas benar bagaimana asal-muasal perayaan tabut bisa sampai ke Bengkulu. Agus Setyanto, pengamat sejarah budaya Bengkulu, mengatakan hingga sekarang belum ada sejarah otentik yang membuktikan kapan perayaan tabut mulai dilakukan di Bengkulu dan siapa yang membawa budaya tersebut.
"Tidak ada bukti," kata Agus, yang juga dosen Universitas Bengkulu.
Ada beberapa pandangan mengenai asal tabut. Pertama meyakini tabut masuk pada masa Inggris, ketika Inggris membangun Benteng Marlborough dan membawa tenaga yang cukup banyak dari Afrika, Zimbabwe, dan ada dari kelompok India yang sering disebut Sipahi. Ada juga yang mengatakan tabut Bengkulu berkaitan dengan tabuik di Pariaman.
Sebuah versi mengatakan seorang alim bernama Maulana Irsyad memperkenalkannya kepada masyarakat Bengkulu 696 tahun silam dengan tujuan menyebarkan Islam. Maulana Ikhsad—ia keturunan Ali Zainal Abidin, cicit Nabi SAW—berangkat dari tanah Arab (kemungkinan besar dari tanah Hadramaut) ke arah tenggara, hingga akhirnya sampai di Bengkulu.
Ia tak menetap lama di Bengkulu. Namun, menurut Ketua Kerukunan Keluarga Tabot Bengkulu Syiafril Syahbudin, keberadaannya yang sementara itu lantas digantikan oleh ulama istimewa lainnya. Ia Syekh Burhanuddin—lebih dikenal sebagai Imam Senggolo—yang melanjutkan dan mempopulerkan tradisi tabut. Ia seorang yang kaya pengalaman. Pernah menetap di Punjab dan di Aceh, Syekh Burhanuddin yang menyingkir dari pertikaian politik di Tanah Rencong ini lalu melanjutkan perjalanan ke Minangkabau, PariaÂman, ke Payakumbuh, Kuntu Kampar, hingga terakhir tiba di Bengkulu.
Seperti banyak ulama dari Hadramaut yang menghindar dari politik sadistis, Syekh Burhanuddin menukar pedangnya dengan dua buah genderang: dol dan tassa. Kepada masyarakat Bengkulu waktu itu, ia menawarkan dua hal sekaligus: seni perkusi yang menakjubkan dan agama Islam. Syekh Burhanuddin wafat pada 12 April 1427 dan dimakamkan di Karabela, Padang Jati, Bengkulu.
Tapi Agus masih ragu terhadap sosok Syekh Burhanudin. "Sampai sekarang saya belum menemukan secara rinci siapa tokoh Imam Senggolo itu, apa benar Imam Senggolo adalah Syekh Burhanuddin. Tokoh ini masih misterius," kata Agus.
Perayaan tabut berlangsung 13 hari, mulai akhir Zulhijah hingga 13 Muharam. Semua ritual yang dilaksanakan sepanjang perayaan mengenang semua yang syahid di Tanah Karbala sekaligus menyambut tahun baru Islam.
Ya, tabut terus bertahan ratusan tahun, tanpa mengalami perubahan yang berarti, kecuali sejumlah aksesori alias tambahan, seperti pertunjukan musik, tari, bisnis kuliner, dan pariwisata. "Tabut Pembangunan untuk kepentingan pariwisata," kata Syiafril. Sejak 1990, Tabut Pembangunan yang disponsori dan didukung pemerintah ambil bagian dalam tradisi ini.
Syiafril menyayangkan kini rasa memiliki masyarakat Bengkulu terhadap budaya tabut berubah. Dulu masyarakat sukarela mengumpulkan dana untuk melaksanakan tabut, kini ia melihat masyarakat sudah bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Idrus F. Shahab, Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Dari Tanah Kembali ke Tanah
Kerukunan Keluarga Tabot Bengkulu mengklaim tradisi tabut sudah berlangsung ratusan tahun. Mereka mengakui acara ini bukan ritual keagamaan, melainkan sekadar menunaikan pesan dari pendahulu mereka. Berikut ini tahap ritual yang berlangsung selama 13 hari tersebut.
Doa Selamat
Seusai asar pada hari terakhir Zulhijah, dilakukan pekat atau musyawarah keluarga tabut. Serkai (peralatan untuk mengambil tanah) dicuci. Doa selamat untuk seluruh prosesi ini pun dipanjatkan.
Ambik Tanah
Setelah isya, perwakilan keluarga tabut menuju dua tempat keramat mengambil dua genggam tanah. Satu berlokasi di Tapak Paderi dan yang lain di Keramat Anggut, dekat Pasar Tebek, Pantai Nala.
Duduk Penja
Penja berarti lima jari, imitasi dari tangan terbuat dari seng, kuningan, perak, atau emas. Penja dicuci lalu dililitkan dengan rangkaian bunga melur daun selasih. Selesai mendudukkan penja dan memasang panji-panji kebesaran, diteruskan dengan mengucapkan salam Al-Husein, salawat, dan doa, lalu penja dibawa mengelilingi gerga (rumah penyimpanan) tujuh kali.
Malam Manjara
Merupakan perjalanan penja pada malam kelima Muharam dengan iringan tassa dan dol serta pembawa panji-panji kebesaran. Arak-arakan ini menyerupai suasana perang Karbala. Kelompok Tabut Imam pertama mengunjungi Kelompok Tabut Bangsal, malam berikutnya giliran sebaliknya.
Meradai
Kegiatan untuk menarik partisipasi masyarakat, baik uang maupun makanan. Dilaksanakan mulai hari keenam hingga kedelapan.
Arak Penja dan Seroban
Dilaksanakan pada malam kedelapan selesai salat isya. Penja diletakkan di atas tabut coki (kecil), begitu juga dengan seroban (sorban) dan diarak untuk merekonstruksi suasana pengabaran kematian Al-Husein dan ajakan berkabung.
Gham
Berarti masa bersedih, dimulai sejak pukul 06.00 hingga seusai asar pada 9 Muharam. Dilarang membunyikan musik dol dan bunyi-bunyian lain.
Tabut Naik Puncak
Menaikkan bagian atas tabut yang sudah berpuncak pada posisi di atas puncak rebung tabut bagian bawah. Setelah bersatu, barulah dol dibunyikan dan waktu gham berakhir.
Setelah itu, tabut diarak menuju gerga untuk soja (menghormat) dan menaikkan penja ke dalam tabut sebelum diarak menuju Lapangan Merdeka.
Arak Gedang
Sebutan untuk malam puncak prosesi ritual tabut. Pada malam 10 Muharam, tabut bersanding mengibaratkan seluruh tubuh dan anggota badan yang sebelumnya terpisah-pisah sudah berkumpul. Termasuk dua genggam tanah dan sudah disucikan untuk siap dikembalikan ke Tanah Karabela.
Tabut Tebuang
Semua tabut diarak sejauh empat kilometer dari Gedung Daerah menuju Pemakaman Karabela di Padang Jati. Sebagai ekspresi membuang keburukan, kesombongan, dan kebiadaban. Setelah tabut diserahkan kepada leluhur, dipanjatkan doa dan salawat. Tabut Bangsal dibuang ke rawa, sedangkan Tabut Pembangunan dibuang ke Pantai Panjang.
Mencuci Penja
Dilaksanakan seusai asar pada 13 Muharam. Semua peralatan yang digunakan dalam prosesi tabut dicuci dan diakhiri dengan pembacaan doa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo