Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan minyak goreng satu harga gagal menstabilkan harga.
Pelaku usaha retail mengaku kesulitan mendapatkan pasokan dari distributor.
Subsidi pada komoditas rentan salah sasaran tanpa pengawasan yang ketat di lapangan.
JAKARTA — Kebijakan minyak goreng satu harga kemasan senilai Rp 14 ribu per liter tidak lagi berlaku mulai hari ini, 1 Februari 2022, bersamaan dengan berjalannya skema harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. Baru sepekan lebih berjalan, Kementerian Perdagangan menilai aturan tersebut tidak bisa menjadi solusi stabilisasi harga minyak goreng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan minyak goreng satu harga mulai berlaku sejak 19 Januari lalu dan ditargetkan berlangsung selama enam bulan. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi payung hukumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan tersebut mewajibkan pengecer menjual minyak goreng kemasan dengan harga tertinggi Rp 14 ribu per liter di pasar modern dan tradisional. Saat itu, harga di pasar sudah menyentuh level Rp 20 ribu per liter. Selisih antara harga jual dan harga pasar ditanggung pemerintah lewat skema subsidi.
"Kebijakan tersebut merupakan upaya lanjutan pemerintah untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau untuk rumah tangga serta usaha mikro dan usaha kecil," kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, kemarin, 31 Januari.
Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 7,6 triliun untuk mensubsidi pengadaan 1,5 miliar liter minyak. Dana tersebut berasal dari BPDPKS yang mengelola pungutan ekspor perusahaan minyak sawit mentah atau CPO.
Kemudian pada 26 Januari, pemerintah menerbitkan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan HET Minyak Goreng yang berlaku mulai 1 Februari 2022. Kebijakan tersebut secara otomatis mencabut aturan subsidi minyak goreng.
Penjualan minyak goreng kemasan di Pasar Tebet, Jakarta, 6 Januari 2022. Tempo/Tony Hartawan
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, sebelumnya menyatakan perubahan kebijakan ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi. "Ada berbagai kendala yang dihadapi (minyak goreng satu harga), sehingga ketersediaan minyak goreng di pasar tak optimal," ujarnya.
Seretnya pasokan ini dikonfirmasi oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Roy Nicholas Mandey. Dia menuturkan pelaku usaha retail kesulitan mendapat pasokan dari distributor selama kebijakan harga Rp 14 ribu per liter berlangsung. "Pasokannya belum optimal," kata Roy Nicholas. Dari kebutuhan 20-25 juta liter minyak goreng per bulan, dia mencatat realisasinya baru sekitar 5 persen.
Roy Nicholas menegaskan bahwa minimnya pasokan di pasar retail bukan karena aksi penimbunan oleh pengusaha retail. "Gudang kami terbatas dan kami sangat terbuka untuk diperiksa," tuturnya.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, menuturkan, sikap pemerintah yang mengubah-ubah aturan dalam waktu singkat serta terjadinya kelangkaan barang mencerminkan strategi stabilisasi harga belum disiapkan dengan baik. "Mestinya ketika disampaikan ke publik, urusan dengan distributor, pengecer, dan lainnya sudah selesai," kata dia.
Adapun anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, menuturkan, kebijakan pemerintah menghentikan skema satu harga sudah tepat. Menurut dia, kebijakan tersebut anti-persaingan. Selain itu, subsidi pada komoditas rentan salah sasaran tanpa pengawasan yang ketat di lapangan. "Pemerintah bilang ini untuk keluarga dan UMKM, tapi apa ada instrumen untuk mengecek satu per satu di lapangan?”
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam menyoroti penggunaan dana BPDPKS untuk subsidi minyak goreng. Ia menyatakan dana kelolaan badan tersebut seharusnya ditujukan untuk program peremajaan sawit rakyat. Selama ini, tanpa adanya pengeluaran untuk subsidi minyak goreng sekalipun, porsi dana bagi program peremajaan sawit minim.
"Hasil kajian IBC, porsi dana bagi program peremajaan sawit rakyat relatif kecil dibanding subsidi biodiesel," ujar Roy Salam. Secara kumulatif periode 2015-2019, dari total belanja BPDPKS sebesar Rp 33,65 triliun, sebanyak 90 persen disalurkan untuk subsidi biodiesel, sedangkan untuk peremajaan sawit rakyat hanya 8 persen.
LARISSA HUDA | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo