Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi penegak hukum yang biasa menelisik rekening jumbo pegawai negeri sipil, Teguh Indrayana sejatinya bukan nama asing. Bekas Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai DKI Jakarta berusia 61 tahun ini pernah masuk daftar pegawai yang asal-usul kekayaannya perlu diselidiki. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan meminta Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan menindaknya.
"Kasus TI (Teguh Indrayana) adalah kasus lama yang berkasnya sudah lama sekali diserahkan ke penegak hukum," kata mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein, Selasa dua pekan lalu. Tapi kasus ini luput dari perhatian banyak orang.
Teguh tidak pernah tersentuh hingga sekarang. Padahal sejumlah dokumen yang diperoleh Tempo mengindikasikan ia memiliki rekening tambun hingga Rp 34 miliar. Duit jumbo itu tersebar di sejumlah rekening di Bank Mandiri dan BNI. Rekening ini membengkak sejak dibuka pada 2000. Jumlah uang di rekening itu dinilai tidak wajar karena gaji yang diterima Teguh sebagai kepala kantor wilayah tak lebih dari Rp 35 juta per bulan.
Beberapa sumber yang ditemui Tempo mengatakan, lima tahun lalu, dari rekening Bank Mandiri milik Teguh, terendus aliran duit keluar-masuk ke banyak orang. Di antaranya pengusaha mobil mewah dan supermewah Firhand Ali dan Manajer PT Tanada, Mohamad Fadhi. Keduanya sama-sama berkantor di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Belakangan, Firhand dan Fadhi mentransfer dana jumbo ke rekening putri Teguh, Andini Kusumawardini. (Lihat "Mengalir Sampai Jauh".)
Firhand tak lain adalah anak Ali Muhammad alias Ali Idung, pemilik PT Euromobilindo, showroom mobil mewah. Firhand, pegokar nasional pada 1990-an, kini yang mengendalikan usaha showroom itu.
Hampir bersamaan dengan aliran dana tadi, nama Ali Idung dikaitkan dengan skandal tipu-tipu impor mobil supermewah berselubung fasilitas diplomatik. Investigasi Tempo, 10 Agustus 2008, mengungkap temuan impor mobil itu mendapat penangguhan bea masuk dan aneka pajak yang besarnya mencapai 150 persen dari harga mobil.
Gara-gara kasus itu, Teguh pernah diperiksa Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Kementerian Keuangan. Membengkaknya rekening Teguh diduga terkait dengan kasus pembebasan bea masuk mobil mewah dan supermewah.
Bersama 19 anak buahnya di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Teguh diduga bermain dalam kasus pemberian izin penjualan 60 kendaraan mewah dan supermewah bekas pejabat atau anggota staf diplomatik yang baru diimpor 2-23 bulan. Padahal, menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 90 Tahun 2002, izin penjualan diberikan bila kendaraan sudah digunakan lebih dari dua tahun.
Dalam pemeriksaan tersebut, Teguh dan para petugas Bea-Cukai berdalih puluhan mobil itu tidak layak dipergunakan lagi. Teguh—ketika itu Direktur Teknis Kepabeanan dan Cukai DKI Jakarta—mengklaim hanya memberikan izin karena telah mendapat persetujuan dari Departemen Luar Negeri.
IBI merekomendasikan Teguh mendapat sanksi ringan. Pada 2008, ia dimutasi sebagai Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai Sulawesi dan Makassar. "Karier Teguh diselamatkan," kata sumber di Lapangan Banteng—sebutan buat kantor Kementerian Keuangan. Cuma satu tahun di sana, Teguh kembali bertugas di Jakarta. Posisinya kali itu sebagai Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai DKI Jakarta.
Sumber Tempo mempertanyakan rekening gendut milik Teguh yang tidak pernah diusut penegak hukum. Ia mensinyalir kasus Teguh mandek karena lobinya di Kementerian Keuangan. Teguh disebut-sebut dekat dengan Sutardi, Ketua IBI periode Desember 2007-Januari 2009.
Sebelum berdinas di IBI, Sutardi pernah bertugas di Bea-Cukai. Tapi Sutardi membantah telah melakukan intervensi dan memberikan perlakuan istimewa buat Teguh. "Justru karena saya kenal, kasus Teguh ditangani anak buah," kata pria yang pernah diturunkan pangkatnya gara-gara mempercepat keluarnya surat ketetapan pajak PT Kaltim Prima Coal dan Bumi Resources dalam kasus Gayus Halomoan Tambunan ini.
Yang jelas, gara-gara kemudahan yang diberikan Bea dan Cukai, mobil-mobil supermewah—Bentley, Ferrari, Maserati, dan Rolls-Royce Phantom—diimpor tanpa pajak dan bea masuk selama berbilang tahun. Kerugian negara diperkirakan Rp 248 miliar.
Didatangi di kantor dan kediamannya berkali-kali, Firhand dan Fadhi terus menghindar. Begitu pula saat mereka dihubungi melalui telepon dan pesan pendek. Surat permintaan konfirmasi yang dilayangkan kepada keduanya belum mendapat respons. "Saya perlu mempelajari kasus dan belum mendapat konfirmasi dari Firhand Ali," ujar Andi Simangunsong, pengacara keluarga Ali Idung.
Jawaban sama datang dari karyawan Fadhi. "Surat sudah disampaikan, tapi belum ada tanggapan," kata salah satu karyawan PT Tanada. Hal senada disampaikan pihak keluarga. "Fadhi jarang di rumah," ujar Mohamad, sang adik.
Panggilan telepon, pesan pendek, dan surat permintaan konfirmasi yang dikirim ke rumah Teguh Indrayana juga belum berbalas. Didatangi sejak dua pekan lalu, rumah dua lantai bercat putih milik Teguh di Jalan Curug Jaya, Jatiwaringin, Bekasi, tampak sepi. "Bapak sedang di luar kota," kata Otim, salah satu penjaga rumah.
Bekas petinggi di Kementerian Keuangan mengatakan, gara-gara di kepolisian dan kejaksaan tidak jelas juntrungannya, kasus rekening gendut Teguh telah dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi sejak tahun lalu. "Ada sembilan kasus yang dilaporkan ke KPK," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Jumat pekan lalu. Tapi Agus tidak mau memerinci apakah Teguh, yang tahun lalu mulai memasuki masa pensiun, ada di antara sembilan nama yang dikirim ke KPK.
YA, Yuliawati, Febriana Firdaus, Muchamad Nafi
Mengalir Sampai Jauh
LIMA tahun lalu, rekening Teguh Indrayana dan keluarganya menjadi tempat keluar-masuk dana jumbo. Inilah aliran fulus itu.
Kepemilikan Rekening:
Teguh Indrayana
Sri Sarwedi,istri Teguh
Andini Kusumawardini, anak Teguh
Mohamad Fadhi
Firhand Ali
Kronologi Aliran Mencurigakan...
Lokasi:
Bank Mandiri Rasuna Said
8 Oktober 2002
Teguh membuka tabungan dolar di Bank Mandiri Rasuna Said.
Februari 2007
Deposito atas nama Teguh (tiga rekening) dan Sri Sarwedi (lima rekening) dicairkan. Total Rp 32 miliar dan US$ 900 ribu.
1 Maret 2007
Dana pencairan ditempatkan dalam bentuk deposito atas nama Mohamad Fadhi Rp 20,87 miliar serta Firhand Ali (dua rekening) Rp 10,585 miliar dan US$ 947 ribu.
4 Juni 2007
Deposito atas nama Fadhi dan Firhand dicairkan. Hasilnya didepositokan kembali atas nama Andini Kusumawardini dalam dua rekening, masing-masing Rp 32 miliar dan Rp 1 miliar.
4 Juli 2007
Deposito atas nama Andini dicairkan dan ditempatkan kembali atas nama Fadhi Rp 20 miliar dan Firhand Ali (dua rekening), masing-masing Rp 12,5 miliar dan Rp 10,05 miliar.
Lokasi:
Bank BNI Cabang Tebet, periode Juni 2000-Mei 2007
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo