Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Perdagangan minuman keras di kafe dan restoran kembali dipersoalkan setelah insiden terjadi penembakan di RM Cafe, Cengkareng.
Penjualan minuman keras golongan B dan C di kafe adalah ilegal.
Tentara dianggap mampu menyelesaikan segala masalah keamanan yang mengancam kelancaran usaha.
JAKARTA – Perdagangan minuman keras di kafe dan restoran kembali dipersoalkan setelah insiden penembakan di RM Cafe, Cengkareng, Jakarta Barat, pada Kamis lalu. Tiga orang tewas dalam peristiwa itu. Satu di antaranya adalah Prajurit Satu Martinus Riski Kardo Sinurat, anggota TNI yang disebut menjadi petugas keamanan kafe. Insiden itu dipicu pertengkaran karena seorang pengunjung kafe menolak membayar tagihan Rp 3,3 juta untuk minuman keras yang ia pesan.
“Sejak kapan kafe bisa jual miras? Mereka (RM Cafe) jelas bukan usaha hiburan,” kata Ketua Asosiasi Pengusahaan Hiburan Jakarta (Asphija) Hanna Suryani, Jumat lalu. Menurut dia, berdasarkan undang-undang, kafe dan restoran hanya boleh menjual miras golongan A yang memiliki kadar alkohol 1-5 persen. Sedangkan untuk miras golongan B dan C, dengan kadar alkohol di atas 5 persen, hanya boleh dijual di bar.
Menurut Hanna, penjualan miras di kafe-kafe ini sangat terbuka dan banyak di Jakarta. Namun dia heran tidak ada langkah pemerintah untuk menertibkannya. Karena itu, tidak salah jika muncul anggapan pemerintah sengaja membiarkan peredaran miras secara ilegal tersebut. “Seharusnya pemerintah tegas soal ketentuan izin, jangan tebang pilih,” katanya.
Insiden penembakan di RM Cafe itu saat ini masih dalam penyelidikan. Polisi telah menangkap Brigadir Kepala Cornelius Siahaan, pengunjung RM Cafe yang diduga sebagai pelaku penembakan. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa Cornelius tidak bersedia membayar minuman yang sudah dia tenggak bersama temannya. Ia menjadi kesal karena ditegur dan didesak terus oleh Martinus untuk membayar tagihan itu.
Suasana RM Cafe yang diberi garis polisi di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, Minggu, 28 Februari 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Seorang anggota organisasi masyarakat yang kerap dilibatkan dalam bisnis keamanan tempat hiburan mengatakan nyaris tidak ada kafe di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang tidak menyediakan miras. Sebab, keuntungan dari penjualan miras ini cukup besar. “Tapi masalah yang dihadapi juga banyak,” kata pria berusia 49 tahun yang tidak bersedia jati dirinya ditulis ini.
Kafe-kafe tersebut, kata pria itu, umumnya berada di permukiman penduduk. Namun hampir semua kafe itu tidak memiliki izin dari penghuni lingkungan tersebut. Padahal, berdasarkan aturan, setiap usaha yang berada di lingkungan perumahan harus mengantongi restu dari warga setempat. “Mana ada sih warga yang mau lingkungannya dipakai untuk tempat mabuk-mabukan,” kata dia.
Persoalan izin ini belakangan dimanfaatkan oleh kelompok atau ormas tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Mereka meminta jatah “uang keamanan” jika kafe bisa tetap beroperasi. Ketika pemilik menolak, mereka mengancam akan mendatangkan massa dalam jumlah besar untuk mempersoalkan izin usaha kafe tersebut. “Nah, karena alasan ini, banyak kafe yang merekrut tentara menjadi sekuriti,” katanya.
Menurut dia, tentara sangat disegani masyarakat, termasuk ormas-ormas yang kerap meminta jatah “uang keamanan” itu. Pengusaha kafe berharap, dengan merekrut tentara, berbagai masalah keamanan yang mengancam kelancaran usaha mereka dapat diatasi. Namun tidak sedikit juga pengusaha yang kemudian merekrut anggota ormas untuk dijadikan petugas keamanan kafe dengan tujuan yang sama.
Seorang anggota ormas lain di Cilandak juga menuturkan hal serupa. Kafe-kafe di Jakarta masih banyak menggunakan jasa mereka sebagai tenaga keamanan. Bahkan, di beberapa kawasan yang “basah”, bisnis keamanan ini akan melibatkan lebih dari satu ormas. Untuk menghindari konflik, ormas-ormas itu bersepakat membagi “wilayah kekuasaan”. "Kami juga punya beking TNI dan polisi," dia mengklaim.
Dia tidak bersedia menyebutkan nominal “uang keamanan” dalam bisnis keamanan itu. Ia hanya menjelaskan, uang yang diterima tidak sepenuhnya masuk ke kantong organisasi. Sebagian diberikan kepada anggota yang bertugas sebagai petugas sekuriti dan sebagian lagi disetorkan kepada pengurus RT serta RW setempat. "Jadi, kalau nanti terjadi apa-apa, bisa saling bantu," ujarnya.
Kepada Tempo yang mewawancarai via telepon kemarin, Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya Mayor Jenderal Dudung Abdurrachman tidak menjawab pertanyaan terkait dengan keberadaan Prajurit Satu Martinus di lokasi RM Cafe. Dudung terdiam beberapa detik sebelum kembali menekankan pentingnya sinergitas TNI-Polri. "Selama ini sudah terbangun dengan baik," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Komisaris Besar Yusri Yunus juga menolak merinci peran korban. Dia hanya mengatakan almarhum berada di lokasi insiden sembari menyampaikan berbagai antisipasi kepolisian daerah, termasuk pengetatan izin pinjam senjata.
SUSENO | INGE KLARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo