Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mengkritisi Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang sedang dibahas di Komisi III DPR RI. Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengatakan, RUU Polri memiliki berbagai pasal yang dianggap bermasalah. Maka dari itu, perlu partisipasi publik secara bermakna, bukan hanya sekedar forum sosialisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami mau DPR menunda pengesahan RUU Kepolisian atau presiden mencabut Surpres sebelum ada ruang partisipasi bermakna kepada seluruh lapisan masyarakat,” kata Nurina di kantor Amnesty International Indonesia, Senin, 22 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI. Supres tersebut juga telah dikirimkan untuk RUU yang lain, seperti RUU TNI (Tentara Nasional Indonesia), RUU Kementerian Negara, RUU ASN (Aparatur Sipil Negara), dan RUU Keimigrasian.
Nurina menjelaskan, RUU Polri memiliki kejanggalan dalam sejumlah pasal. Isi dalam pasal yang tercantum mengancam situasi demokrasi dan kebebasan sipil.
Jika RUU Polri sekarang diloloskan, kata Nurina, dikhawatirkan tidak ada yang mengawasi kepolisian karena wewenang yang terlalu besar. Selain itu juga menjadi ancaman untuk masyarakat yang kritis di ruang publik atau mereka yang memiliki perbedaan pendapat secara terbuka. "Ini harus menjadi catatan penting untuk rekan-rekan DPR dan pemerintah yang sudah mengirimkan surpres," ucap Nurina Savitri.
Dalam poin yang dia menyampaikan, RUU Polri berpotensi mengancam kebebasan sipil, pembatasan ruang siber, melanggar hak privasi seseorang, serta dapat menciptakan impunitas karena diberi kewenangaan penyidikan tertinggi di kalangan aparat penegak hukum.