Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMUK massa 15 Januari, empat puluh tahun silam, bukan yang terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Namun tragedi pada awal kekuasaan panjang Orde Baru itu menggambarkan dengan jelas kekerasan yang disponsori alat-alat negara. Diselimuti intrik antar-elite militer, peristiwa itu juga menjadi titik terpenting dalam pemusatan kekuasaan Presiden Soeharto.
Awalnya adalah unjuk rasa mahasiswa, yang dilakukan pada saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta. Mereka memprotes semakin besarnya aliran modal asing. Jepang dianggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal.
Ternyata semua berjalan tidak sesuai dengan rencana. Demonstrasi belum usai ketika sekelompok orang mulai membakar dan menjarah toko-toko. Mereka merusak pabrik Coca-Cola dan showroom mobil Toyota. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Malari-akronim Malapetaka 15 Januari.
Demonstrasi sebenarnya telah dilakukan sepanjang 1970-1974. Arief Budiman pada Agustus 1970 mendirikan Komite Anti Korupsi. Ada juga gerakan menolak mencoblos pada Pemilihan Umum 1971. Ketika Tien Soeharto membangun proyek mercusuar Taman Mini Indonesia Indah, mahasiswa juga turun ke jalan.
Protes juga muncul menolak Rancangan Undang-Undang Perkawinan pada akhir 1973. Kelompok-kelompok mahasiswa semakin bersemangat melihat kejadian di Thailand pada Oktober 1973, yakni kejatuhan Perdana Menteri Thanom Kitiakachorn karena desakan orang ramai.
Gerakan massa itu sekaligus menguatkan pengelompokan pada elite kekuasaan: Ali Moertopo dan Jenderal Soemitro. Ali, asisten pribadi Soeharto, mengkonsolidasi kekuatan. Ia merancang politik wadah tunggal pada kalangan terdidik seperti mahasiswa, pegawai negeri dan keluarganya, juga wartawan.
Di kutub lain, Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), juga mendekati kampus-kampus. Di tengah persaingan ini, pada akhir 1973, beredar desas-desus bakal terjadi kerusuhan, dengan Soemitro sebagai tertuduh utama.
Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang dipimpin Hariman Siregar turun ke jalan pada 15 Januari 1974. Tanaka berkunjung ke Jakarta pada 14-17 Januari. Menurut Soemitro, dalam bukunya, mahasiswa awalnya mengarah ke Bandara Halim Perdanakusuma, tempat Tanaka mendarat. Pada saat yang sama, kelompok lain-disebut Soemitro sebagai "massa Gerakan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI), tukang-tukang becak, dan preman-preman Kramat" atas suruhan Opsus pimpinan Ali Moertopo-justru bergerak ke arah Pasar Senen. Huru-hara meledak di sini.
Kerusuhan kemudian melebar ke sejumlah tempat, seperti Jalan Juanda, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, dan ke kawasan Kota. Api berkobar sejak siang hingga tengah malam. Anarki ini membakar 144 gedung, 807 mobil, dan 187 sepeda motor. Sebelas orang tewas, 17 luka berat, dan 120 orang terluka ringan.
Soeharto, terutama melalui Satuan Tugas Intel yang dikomandani Jenderal L.B. Moerdani dan Ali Moertopo, segera bergerak. Sebanyak 775 orang ditangkap. Sebagian besar tidak berhubungan dengan peristiwa 15 Januari. Mereka yang giat memprotes pemerintah sejak 1970 hingga 1974 juga dijaring. Kelompok Partai Sosialis Indonesia dan pendukung Sukarno, bahkan mereka yang mendukung Soeharto pada 1966, juga dibabat.
Penguasa menggolongkan tahanan ke lima kategori: mahasiswa, yang diberi nama "Kelompok Kelinci"; bekas pemimpin Partai Sosialis dengan nama "Kelompok Teratai"; bekas anggota Masyumi dengan nama "Kelompok Kembang Sepatu";para pengacara, buruh, dan pemuda dengan nama "Kelompok Melati"; serta bekas anggota Partai Nasional Indonesia Ali-Surachman diberi nama "Kelompok Anjing Geladak".
Pemerintah Soeharto juga melarang terbit belasan surat kabar dan mingguan. Jenderal Soemitro, yang dianggap gagal mengendalikan keamanan, tersingkir: dia mundur dari jabatannya. Soemitro menolak ketika Soeharto menawarinya menjadi duta besar di Washington, DC.
Sebagai pengimbang, Soeharto membubarkan institusi asisten pribadi-yang dianggap mahasiswa terlalu banyak mempengaruhi Presiden. Tapi Ali Moertopo dipromosikan menjadi Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara dengan pangkat letnan jenderal. Gelombang protes yang bergelora padam seketika. Presiden Soeharto dengan efektif memanfaatkan peristiwa Malari untuk menyikat kelompok yang dianggap berseberangan dengannya.
Pembaca, seperti pada edisi-edisi sejarah sebelumnya, kami berusaha menemukan sesuatu yang "baru" pada sesuatu yang telah lampau. Kali ini kami memusatkan perhatian pada usaha untuk menjawab pertanyaan: benarkah ada kekuatan yang menunggangi gerakan mahasiswa?
Detail-detail peristiwa dikumpulkan. Usaha pertama, tentu saja, dari riset pustaka dan data. Kami juga mengundang sejumlah pelaku sejarah untuk berdiskusi. Beberapa di antaranya Hariman Siregar bersama Gurmilang Kartasasmita, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia 1974, dan sekretaris jenderalnya, Judilherry Justam, dilakukan pada 14 November 2013. Rahman Tolleng, ketika itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Golongan Karya dan ditahan setelah peristiwa Malari, kami undang pada 11 Desember 2013.
Foto-foto lama kami bongkar. Bukan kebetulan jika Tempo ternyata memiliki banyak dokumentasi foto peristiwa itu. Pada saat itu, kantor Tempo bertempat di Senen, sangat dekat dengan pembakaran 15 Januari. Maka para wartawan foto cepat memotret peristiwa ini. Kebanyakan foto itu belum dipublikasikan karena pemerintah segera mengetatkan pemberitaan media massa. Maka foto-foto "eksklusif" itu kami tampilkan pada edisi khusus ini.
Dari rekonstruksi peristiwa 15 Januari 1974, kuat dugaan keterlibatan organ negara dalam kejadian itu. Kesaksian adanya kelompok lain di luar mahasiswa yang memanfaatkan situasi semakin terkonfirmasi. Operasi intelijen yang dilakukan sebelum puncak kejadian juga semakin jelas.
Malari bukanlah rusuh terakhir dalam sejarah Republik. Dalam hal daya rusak dan jumlah korban yang jatuh, prahara Mei 1998 jauh lebih mengerikan. Tapi Malari mengingatkan sesuatu yang hakiki dalam politik: intrik, pemusatan kekuasaan, dan saluran komunikasi yang tersumbat adalah bahan bakar yang bisa mengobarkan pelbagai amuk.
Malapetaka
(31 Desember 1973-21 Januari 1974)
Empat puluh tahun lalu, Jakarta membara. Peristiwa kelabu yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari) itu mulanya cuma protes mahasiswa atas berbagai ketimpangan di negeri ini. Momentumnya adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 14-17 Januari 1974.
31 Desember 1973
Tirakatan di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat. Para dosen dan mahasiswa UI serta perwakilan berbagai dewan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, dan Bandung mendiskusikan persoalan kaum buruh, pengemudi becak, dan penganggur.
10 Januari 1974
Di pusara Arief Rahman Hakim (mahasiswa UI, mati ditembak saat demo Tritura 1966) di pemakaman Kebayoran Baru, Jakarta, mahasiswa mendeklarasikan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) Baru: 1. Turunkan Harga, 2. Bubarkan Aspri (Asisten Pribadi), 3. Gantung Koruptor.
12 Januari 1974
Mahasiswa berkumpul di Universitas Kristen Indonesia. Pertemuan digagas bekerja sama dengan Universitas Trisakti dan IKIP Muhammadiyah, Jakarta. Patung kertas Tanaka, Soedjono Hoemardani, Ali Moertopo, dan Widodo Budidarmo (Kepala Kepolisian Jakarta) dibakar, sebagai simbol penolakan terhadap Jepang dan aspri Soeharto.
11 Januari 1974
Lebih dari 100 mahasiswa dari 35 dewan mahasiswa se-Indonesia bertemu dengan Soeharto, menyampaikan Deklarasi Mahasiswa Indonesia dan Tuntutan Mahasiswa Indonesia.
12 januari 1974
Rektor UI Profesor Mahar Mardjono meminta pihak luar tak mencampuri urusan internal UI.
14 Januari 1974
15 Januari 1974, sampai pukul 12.00
Sekitar 3.000 mahasiswa dan pelajar melakukan long march dari Salemba ke Universitas Trisakti. Dalam apel di Trisakti, mereka bertekad terus turun ke jalan sampai Tritura 1974 berhasil. Apel berlangsung hingga pukul 12.00 WIB, diakhiri dengan membakar patung Tanaka.
Sekitar pukul 12.00, hampir bertepatan dengan selesainya apel mahasiswa di Trisakti, massa bergerak dari arah Harmoni menuju Jalan Juanda dan Gajah Mada. Mobil dan sepeda motor buatan Jepang, toko-toko, dan kantor, termasuk kantor pusat PT Astra, dihancurkan. Kerusuhan meluas dan memuncak hingga pukul 22.00.
17 JanuariI 1974
Tanaka diterbangkan dengan helikopter menuju Bandara Halim Perdanakusuma untuk bertolak ke Jepang diantar Soeharto.
21 Januari 1974
Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal M. Panggabean di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat melansir dampak huru-hara 15-16 Januari. Jam malam dicabut.
Korban jiwa:
Kerugian material:
Siapa Membakar Malari
Saling tuding muncul setelah Malari. Siapa menyulut api?
Tahu-tahu sudah kebakaran. Kami menolak kekerasan, tidak punya niat dan tidak ada bayangan bakal ada kekerasan. UI dipaksakan untuk ikut pembakaran.
Hariman Siregar, mantan Ketua Dewan Mahasiswa UI, November tahun lalu.
Kelompok Operasi Khusus (Opsus, yang dipimpin Ali Moertopo) melancarkan operasi dengan cara menunggangi apel mahasiswa 15 Januari 1974 dengan serangkaian kegiatan kerusuhan dan huru-hara. Sasaran kerusakan, seperti mobil-mobil Jepang, Toyota Astra, Coca-Cola, sengaja dibuat sedemikian sehingga mengesankan bahwa kerusuhan tersebut benar-benar dibuat oleh mahasiswa.
Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74 karya Heru Cahyono.
Arsiteknya jelas adalah oknum ex-PSI dan ditunggangi oleh oknum-oknum ex-Masyumi. Orang-orang yang ditangkap pemerintah adalah dari kedua unsur itu.
Ali Moertopo, asisten pribadi Soeharto (kantor berita Antara, 22 Januari 1974).
Tim Edisi Khusus Malari Penanggung jawab: Budi Setyarso Kepala proyek: Widiarsi Agustina, Jajang Jamaludin, Jobpie Sugiharto, Dwi Wiyana Penyunting: Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Wahyu Dhyatmika, Nugroho Dewanto, L.R. Baskoro, Purwanto Setiadi, Budi Setyarso, Seno Joko Suyono, Yosrizal Suriaji, Bina Bektiati, Idrus F. Shahab, Yosep Suprayogi Penulis: Widiarsi Agustina, Jajang Jamaludin, Yuliawati, Sukma Loppies, Budi Riza, Agung Sedayu, Jobpie Sugiharto, Agoeng Wijaya, Mahardika Satria Adi, Maria Hasugian, Akbar Tri Kurniawan, Kartika Candra, Dwi Wiyana, Mustafa Moses Silalahi, Sandy Indra Pratama, Amandra Mustika Megarani, Abdul Manan Penyumbang bahan: Maria Rita Hasugian, Akbar Tri Kurniawan, Kartika Candra Sundari, Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) Periset foto: Ratih Purnama Ningsih, Ijar Karim Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Sapto Nugroho Pengolah foto: Anindyajati Handaruvitri Desain: Djunaedi (koordinator), Aji Yuliarto, Agus Darmawan Setiadi, Eko Punto Pambudi, Rizal Zulfadly, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo