Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beban Ganda Anak dengan HIV/AIDS

Anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA) menjadi kelompok rentan yang mendapat stigma dan diskriminasi. Menurut sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah, diskriminasi ini masih terjadi karena stigma penyakit HIV itu sendiri yang cukup kuat dan selalu diasosiasikan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial.

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama 15 tahun mengasuh anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA), Agus Siswanto masih dihadapkan pada pekerjaan rumah yang sulit diselesaikan, yaitu menghapus stigma dan diskriminasi. Padahal anak-anak tersebut terinfeksi HIV karena tertular dari ibunya sejak lahir. “Masyarakat bukannya mendukung kondisi mereka yang memprihatinkan, malah mendiskriminasi,” kata Agus, pendiri Yayasan Vina Smart Era, kepada Tempo, Kamis, 22 September lalu.

Agus menceritakan kisah salah satu anak asuhnya yang bersekolah di kawasan Jakarta Timur dan mengalami diskriminasi pada 2-3 tahun lalu. Siswi kelas X SMA itu dalam kondisi sehat karena rutin meminum obat antiretroviral (ARV) dua kali sehari, sekitar pukul 08.00 dan 20.00. Anak tersebut selalu sembunyi-sembunyi jika sudah tiba waktunya meminum obat di sekolah.

Suatu hari, kata Agus, pihak sekolah curiga anak tersebut mengkonsumsi narkoba. Anak asuhnya itu lalu diinterogasi dan akhirnya mengaku menderita HIV. Esok harinya, satu sekolah, termasuk teman-temannya, tahu penyakitnya. “Semua ngata-ngatain, ‘Jangan deketin dia, nanti tertular’,” ujar Agus.

Anak itu, Agus menuturkan, akhirnya tidak mau pergi sekolah. Pihak yayasan telah mengajukan keberatan dan memberikan penyuluhan kepada pihak sekolah serta siswa di sana. Pihak sekolah sudah mau menerima anak tersebut kembali belajar. Tapi siswi yang hobi bermain basket itu telanjur mengalami trauma. Ia juga mengalami frustrasi berat dan akhirnya berhenti minum obat.

Beberapa bulan sejak kejadian itu, Agus mengungkapkan  sang anak jadi sering keluar-masuk rumah sakit. Anak itu juga terinfeksi Cytomegalovirus (CMV). Akibatnya, mata kanannya buta total, meski telah dioperasi. “Karena mengalami frustrasi cukup hebat, sekitar 2-3 bulan, akhirnya ia meninggal,” kata Agus.

Pendiri Yayasan Vina Smart Era (VSE), Agus Siswanto. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Belajar dari kejadian itu, Agus pun menerapkan strategi untuk anak-anak asuh lainnya yang menderita HIV. Agus akan membuka status positif sang anak kepada pihak sekolah setelah mereka resmi menjadi siswa di sana. Yayasan juga memberikan penyuluhan gratis kepada orang tua murid dan sekolah mengenai penyakit HIV. Hasilnya sangat membantu para pengidap HIV bisa diterima di lingkungan pendidikan.

Menurut Agus, ketidaktahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS, terutama dari sisi penularannya, membuat diskriminasi dan stigma masih merajalela. Belasan tahun tinggal bersama anak-anak pengidap HIV di rumahnya menjadi bukti bahwa ia dan keluarga masih tetap sehat serta tidak tertular. “Saya kira itu satu kejahatan moral kalau mengucilkan ADHA ini."

Ketua Satuan Tugas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Endah Citraresmi, membenarkan bahwa banyak anak pengidap HIV masih mengalami diskriminasi, terutama di lingkungan pendidikan. Beberapa kasus di antaranya, mereka dikeluarkan dari sekolah dan dijauhi teman. “Sudah beban cukup berat karena harus meminum obat dan menanggung berbagai dampak dari HIV, mereka juga didiskriminasi,” ujar Endah dalam media group interview pada awal September lalu.

Endah menuturkan masalah tersebut tidak pernah selesai. Padahal penularan HIV tidak semudah penularan Covid-19. HIV, kata dia, sangat bisa dicegah dan obatnya pun tersedia. “Jadi, kenapa mesti mendiskriminasi dan membuat anak-anak tidak bisa bersekolah dengan baik?” ujar dia.

Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Iim Halimatusa’diyah, mengatakan diskriminasi dan stigma pada anak pengidap HIV masih terjadi karena citra HIV itu sendiri. Diskursus yang berkembang di masyarakat, kata dia, HIV merupakan penyakit yang diakibatkan dari perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial ataupun agama. “Akhirnya, ketika ada orang yang positif HIV, stigma menempel pada orang tersebut, termasuk pada perempuan dan anak-anak,” kata Iim.

Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah, Iim Halimatusa'diyah. Dok pribadi

Menurut Iim, fokus penelitian terkait dengan HIV/AIDS semula adalah orang-orang berisiko, seperti pengguna narkoba, pelaku prostitusi, pekerja seks, dan kalangan homoseksual atau yang dianggap menyimpang dari norma. Kini, HIV/AIDS tidak hanya menjangkiti kelompok berisiko tersebut. Ada perempuan yang hanya ibu rumah tangga biasa dan berhubungan seksual hanya dengan suaminya tertular HIV, tapi tetap terstigma. Begitu pula dengan anak-anak.

Iim mengatakan perempuan dan anak-anak ini sebetulnya menjadi korban. Tapi, karena citra HIV yang begitu kuat, perempuan dan anak sulit lepas dari stigmatisasi. Pelakunya pun terkadang datang dari keluarga, terutama yang tidak bisa menerima kondisi perempuan dan anak pengidap HIV. Meski begitu, walau menjadi pelaku pertama yang mendiskriminasi, keluarga biasanya paling cepat menerima apabila diberi pemahaman.

FRISKI RIANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus