Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Politikus PDIP mengusulkan agar revisi ketentuan JHT mengacu pada Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Politikus PAN mengusulkan agar revisi aturan tidak mempersulit pencairan JHT.
Serikat pekerja menghendaki pencairan JHT paling lambat setelah pekerja terkena PHK.
JAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat lintas partai setuju atas rencana pemerintah untuk merevisi aturan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) pada usia 56 tahun. Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, mengatakan revisi aturan JHT tersebut seharusnya melibatkan semua pihak, dari serikat pekerja, akademikus, pengusaha, hingga pakar ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mengatakan revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT harus mengacu pada Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Koridornya tetap undang-undang. Koridornya, kesejahteraan pekerja terwujud sesuai dengan semangat dan roh JHT itu sendiri," kata Rahmad, Rabu, 23 Februari 2022.
Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo. Dpr.go.id
Rahmad mengatakan revisi tersebut harus memuat ihwal diskresi bagi para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). "Para pekerja yang di-PHK seharusnya bisa ambil (JHT) ketika keluar," ujarnya.
Senada dengan hal itu, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, mengatakan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 memang harus direvisi karena menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak pro-rakyat. Ia menggarisbawahi bahwa masalah utama yang harus direvisi adalah syarat pencairan dana JHT pada usia 56 tahun.
"Revisi bisa saja dilakukan asal jangan dalam rangka mempersulit atau menahan Jaminan Hari Tua," kata dia.
Guspardi juga menyorot langkah pemerintah yang kerap melakukan tarik-ulur dalam mengeluarkan aturan. Aturan serupa pernah mengalami tarik-ulur pada 2015. "Ini menjadi pembelajaran ke depan. Setiap kementerian atau lembaga dalam membuat keputusan harus diputuskan secara lebih bijak, arif, dan dilakukan secara komprehensif," ucapnya.
Senin lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022. Jokowi meminta agar peraturan tersebut disederhanakan dan isinya harus mempermudah pencairan JHT.
Aksi karyawan yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja di Bandung, Jawa Barat, 16 Desember 2021. TEMPO/Prima Mulia
Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPMI-KSPI), Riden Hatam Aziz, merespons positif rencana revisi ini. Ia menyarankan agar revisi tersebut kembali ke aturan lama, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015.
Riden mengaku menyiapkan opsi lain ketika pemerintah menolak tawaran tersebut. "Konsep kami, jika revisi, tawarannya adalah ketika terjadi PHK yang enggak bisa dihindari, JHT bisa diambil paling cepat sebulan oleh pekerja. Karena, itu menjadi jaring pengaman untuk menyambung hidup," kata dia, kemarin.
Riden mengatakan lembaganya sudah dijanjikan bertemu dengan Ida Fauziyah untuk membahas rencana revisi tersebut, Selasa sore lalu. Namun pertemuan itu gagal terlaksana. Dia belum mendapat jadwal terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan hingga kini.
Menurut Riden, kepentingan karyawan yang terkena PHK menjadi prioritas utama. Apalagi lembaganya memprediksi adanya PHK besar-besaran pada periode Agustus-September tahun ini. Situasi tersebut akan terjadi akibat pandemi Covid-19 varian Omicron yang masih melanda Indonesia.
Riden juga menanggapi skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022. Ia mengatakan skema itu hanya berlaku bagi pekerja yang berstatus karyawan tetap. Padahal separuh pekerja di Indonesia berstatus kontrak atau buruh harian lepas.
"Dengan kata lain, JKP tak menyelesaikan persoalan di lapangan," ujarnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat, sependapat dengan Riden. Mirah mengatakan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 seolah-olah bertujuan baik, yaitu mengembalikan fungsi JHT untuk menjamin masa tua pekerja. Namun aturan ini bermasalah karena berlaku untuk semua kondisi pekerja, termasuk mereka yang terkena PHK dengan berbagai alasan.
Ketentuan ini juga menimbulkan misinformasi di kalangan pekerja. "Ketika di tengahnya dipotong, tak ada informasi bahwa pekerja yang terkena PHK baru bisa mencairkan JHT di usia 56 tahun. Itulah yang membuat misinformasi," kata Mirah.
CAESAR AKBAR | EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo