Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Istilah naturalisasi sungai yang diucapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memancing perdebatan karena publik lebih akrab dengan istilah normalisasi di era Ahok. Koordinator Ruang Jakarta, Sudirman Asun, mengatakan normalisasi sangat berbeda dengan naturalisasi sungai.
Anies Baswedan melontarkan istilah naturalisasi pada Rabu, 7 Februari 2018, ketika berkunjung ke Pluit. Dalam kesempatan tersebut, Anies mengatakan naturalisasi adalah solusi mengatasi meluapnya air Sungai Ciliwung yang menjadi pemicu banjir Jakarta. Sehingga muncul berbagai pertanyaan terkait dengan perbedaan naturalisasi dengan normalisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudirman Asun mengatakan normalisasi sungai atau betonisasi bertujuan membuang air sungai ke laut secepatnya. Bentuk dari normalisasi adalah membangun infrastruktur sungai dengan beton dan sheet pile. Selain itu, dalam normalisasi dilakukan pengerukan dengan tujuan memperdalam dan memperlebar sungai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Normalisasi itu kanalisasi, kanan-kiri konstruksi semua,” kata Sudirman saat dihubungi, Kamis, 8 Februari 2018.
Baca: Normalisasi Sungai Ciliwung Tersendat, Sandiaga Uno Bilang Begini
Menurut Sudirman, normalisasi yang telah diterapkan Kementerian Pekerjaan Umum, Balai Besar wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkecil kemampuan tampung air sungai. Dengan normalisasi, tidak ada resapan di kiri-kanan sungai sehingga air akan berkumpul di bagian hilir.
Sudirman menjelaskan, dengan berkumpulnya seluruh air sungai di hilir maka beban hilir semakin besar. Menurut dia, aliran air sebagian harus diberikan ke ruang resapan di kiri-kanan sungai agar tidak semuanya mengalir ke hilir.
“Di muara juga ada banjir rob dari laut. Pasang air laut nantinya tidak bisa mengalir secara alamiah. Sedangkan kemampuan pompa di muara kan terbatas,” kata dia.
Sudirman menjelaskan dia tidak menolak konsep normalisasi. Namun, menurut dia, kurang tepat apabila normalisasi diterapkan di sepanjang T.B. Simatupang hingga Manggarai. Hal ini dikarenakan lahan di area tersebut miring sehingga aliran sungai terlalu cepat sampai ke hilir.
"Jadi kalau dibeton di situ itu seperti perosotan air. Seharusnya sampai ke Jakarta Utara itu bisa tiga jam, kalau dibeton sejam sudah sampai bawah,” ujarnya.
Baca: Seusai Naturalisasi Sungai, Anies Baswedan Ajak Korban Banjir Tabah
Menurut Sudirman, ada beberapa sungai yang lebih cocok dinormalisasi dengan beton, yakni di daerah landai seperti di Pasar Baru dan Gunung Sahari. Ia mengatakan arus sungai di daerah tersebut cenderung lambat bahkan diam.
Naturalisasi yang disebut Anies Baswedan berbeda dengan normalisasi menggunakan beton seperti pada era Ahok. Menurut Sudirman, naturalisasi adalah upaya menciptakan sungai hayati, yakni mengganti konstruksi beton dengan vegetasi dan bebatuan alami.
Berbeda dengan normalisasi sungai yang mengirim sedimentasi ke hilir, sungai alami berfungsi menangkap sedimen yang dialirkan dari kawasan Puncak, Bogor. Dengan sungai alami, sedimen tersebut dapat ditampung dan tidak menimbulkan pendangkalan sungai. “Makanya kalau sungai banjir kita suka mengeluarkan lumpur. Kalau dibeton itu semua langsung di palung sungai sehingga mengakibatkan pendangkalan hebat,” ujarnya.