Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pekan ini, pemerintah meresmikan dua wadah pendanaan untuk program transisi energi yang disepakati bersama sejumlah negara dan organisasi internasional. Rabu lalu, pemerintah mengumumkan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dari koalisi negara anggota G7 Plus. Sehari sebelumnya, pemerintah juga meluncurkan platform Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM), bekerja sama dengan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua wadah itu, menurut sejumlah kalangan, memiliki skema dan mekanisme berbeda. Namun keduanya dianggap dapat saling melengkapi untuk mempercepat target transisi energi. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan realisasi ETM akan lebih mudah terkontrol karena PT Sarana Multi Infrastruktur atau SMI (Persero) yang menjadi country platform, sehingga pendanaan bergerak di bawah koordinasi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun skema ini memiliki ruang fiskal yang lebih terbatas dibanding skema pendanaan JETP. "Pada akhirnya, JETP unggul jika komitmen G7 Plus memang kuat," kata Komaidi kepada Tempo, kemarin.
Dia mengatakan para penyumbang dana dalam lingkaran G7 Plus—dipimpin Amerika Serikat dan Jepang—sudah mengumpulkan komitmen pendanaan hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun. Separuh dari angka itu adalah pinjaman lunak dan hibah, sementara sisanya merupakan pendanaan swasta yang dikoordinasi oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero—beranggotakan beberapa bank kondang dunia.
Dicairkan dalam kurun waktu 3-5 tahun, dana itu akan dimanfaatkan untuk aneka proyek transisi energi di Indonesia secara bertahap, baik berupa pengurangan pembangkit listrik tenaga uap maupun dorongan bauran energi baru terbarukan. "Urusan JETP hanya soal tegas atau tidak karena sering kali hitam di atas putihnya tak sesuai dengan realisasi nanti," kata Komaidi.
Pada inisiasi Just Energy Transition Partnership yang dirancang dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP26 di Skotlandia pada Oktober-November tahun lalu, Indonesia menjadi negara kedua dari empat negara sasaran dana transisi energi. Sebagai negara pertama, Afrika Selatan sudah mengantongi komitmen senilai US$ 8,5 miliar. Estafet JETP nantinya bergeser ke India, kemudian Senegal.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon, Jawa Barat. TEMPO/Subekti
Target Transisi Energi Harus Jelas
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyebutkan setiap negara harus memiliki daftar target yang ingin dicapai melalui JETP. Beberapa rencana aksi Indonesia adalah penutupan atau pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara serta tambahan bauran energi baru terbarukan. Produksi emisi dari sektor ini bakal dibatasi hingga 290 megaton karbon dioksida (CO2) pada 2030 demi misi netral karbon pada 2050.
"Jadi, kalau JETP, pendekatannya berdasarkan program atau sudah jelas targetnya. Sedangkan fokus ETM lebih ke soal cara pembiayaan ke proyeknya," kata Fabby. "Berbeda tapi selaras."
Menurut Fabby, ETM seharusnya bisa menjadi jalur pencairan dana JETP. Sebab, selain memerlukan rencana aksi investasi, kata dia, Indonesia membutuhkan wadah pencairan dana global tersebut. Apalagi ETM merupakan inisiatif ADB bersama Indonesia serta beberapa negara lain, seperti Filipina dan Vietnam, untuk target sejenis.
Dananya bisa bersumber dari hasil kongsi bilateral, multilateral, swasta, pemerintah, ataupun anggaran lembaga filantropi. "Yang saya dengar, untuk platform Energy Transition Mechanism, sudah ada komitmen dana sekitar US$ 4 miliar."
Fabby menyarankan pemerintah berfokus menyusun rencana aksi investasi secara matang guna meyakinkan agar dana-dana berbagai skema itu bisa dimanfaatkan. Dari hitungan kasar IESR, ia melanjutkan, butuh investasi hingga US$ 134 miliar untuk mempensiunkan PLTU berkapasitas 9,2 gigawatt (GW) milik PT PLN (Persero) dan produsen listrik independen.
Jumlah itu sudah mencakup pembangunan pembangkit energi terbarukan untuk menggantikan kapasitas yang ditutup. "Seharusnya bisa segitu, tapi hitungan itu berbeda dengan (target) JEPT," kata dia. Adapun target kapasitas PLTU yang hendak dikurangi berdasarkan dokumen JEPT sebesar 5,6-6 GW.
Direktur Pembiayaan dan Investasi PT SMI, Sylvi J. Gani, menyebutkan kebutuhan dana untuk program pensiun dini PLTU dengan kapasitas 1 GW sebesar US$ 400-450 juta atau Rp 6-7 triliun. "Tapi nilai itu terus bergerak," ujarnya dalam acara Indonesia Sustainable Energy Week, Oktober lalu.
Pengamat energi sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan kedua skema itu punya risiko tersendiri. Model pembiayaan JETP yang disepakati secara multilateral akan dihantui penagihan realisasi. "Ini riskan dan harus tepat penggunaannya," ucapnya. "Adapun untuk EMT yang cenderung partnership, tantangannya adalah bagaimana mengundang investor untuk membantu pendanaan."
ANNISA NURUL AMARA (MAGANG) | JIHAN RISTIYANTI | VINDRY FLORENTIN | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo