Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPPU menyoroti penguasaan lahan perkebunan sawit oleh segelintir kelompok usaha. Â
Penguasaan di sektor hulu akan mempersulit perusahaan baru masuk di sektor hilir.
Pada 2021 terdapat 10 aksi pengambilalihan saham perusahaan sawit.
JAKARTA- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyoroti ketimpangan penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh segelintir kelompok usaha. Menurut lembaga tersebut, pembenahan di hulu perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan di hilir, misalnya pada kasus lonjakan harga minyak goreng. KPPU saat ini juga tengah menyelidiki dugaan kartel produsen minyak goreng.
"Industri minyak goreng itu ibarat sungai, sudah keruh dari hulu. Kami berupaya menjernihkan air di muara, tapi sulit karena di hulu sudah keruh," ujar Ketua KPPU Ukay Karyadi kepada awak media, kemarin. Karena itu, ia sepakat dengan rencana pemerintah melakukan audit di tingkat hulu industri sawit. Menurut dia, langkah tersebut harus diikuti dengan pembatasan pemberian hak guna usaha (HGU) untuk setiap kelompok usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musababnya, kata Ukay, perusahaan yang bergerak di industri kelapa sawit tercatat cukup banyak, namun ketika dikerucutkan ternyata jumlah kelompok usahanya terbatas. Dalam penyelidikan dugaan kartel minyak goreng pun, KPPU hanya berfokus pada delapan kelompok usaha yang rata-rata memiliki perkebunan kelapa sawit. Karena itu, dia sepakat jika pembenahan tata kelola sawit harus dimulai dari hulu hingga ke hilir.
Ukay berpendapat, kalau sektor hulu sudah dikuasai segelintir pelaku usaha, ada entry barrier atau halangan bagi pemain baru untuk masuk di sisi hilir. Pasalnya, pembukaan pabrik baru minyak goreng, misalnya, harus mempertimbangkan ketersediaan dan pasokan bahan baku. "Kalau bahan baku sudah dikuasai perusahaan yang terintegrasi, ini akan jadi entry barrier. Sampai kapan pun, struktur industri minyak goreng tidak akan berubah kalau hulu tidak dibenahi," tutur Ukay. Ujung-ujungnya, perilaku kartel semakin mudah terjadi.
Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di tempat pengepul kelapa sawit di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 26 April 2022. ANTARA/Makna Zaezar
Lembaga pengawas persaingan mencatat kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit memang semakin terkonsentrasi pada beberapa kelompok usaha. Pengambilalihan aset pun diidentifikasi menjadi salah satu strategi perseroan menguasai lahan. Menurut Ukay, HGU lahan sawit banyak berpindah tangan melalui merger dan akuisisi. Bukan hanya akuisisi perusahaan, namun juga membeli kebunnya.
KPPU juga melihat kerap ada praktik perkebunan rakyat dibeli perusahaan menengah dan kemudian dibeli lagi oleh pelaku usaha yang lebih besar. Pada 2021, KPPU mencatat ada 10 notifikasi pengambilalihan saham. Tanpa menyebutkan nama perusahaan, Ukay mengatakan enam aksi dilakukan perusahaan asal Malaysia dan empat lainnya dilakukan perusahaan lokal.
Karena itu, Ukay mengimbuhkan, tak tertutup kemungkinan ke depannya penilaian merger dan akuisisi di sektor sawit akan melihat penguasaan HGU dari perusahaan. Kalau aksi korporasi tersebut berpotensi membuat penguasaan lahan semakin terkonsentrasi, KPPU bisa saja memberikan persetujuan bersyarat atau bahkan tidak menyetujui aksi tersebut. "Karena kalau di hulu terkonsentrasi, akan bermasalah sampai ke hilir," ujar dia. KPPU juga akan mengusulkan redistribusi lahan apabila hasil penelitian menunjukkan adanya kelompok usaha yang menguasai tanah secara berlebihan.
Menyitir data penelitian Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Marcellina Nuring menyebutkan bahwa indeks Gini ketimpangan tanah HGU di Indonesia mencapai 0,77 atau masuk kategori tinggi. Ia mengatakan jumlah pekebun rakyat pada 2019 mencapai 99,92 persen dari total pelaku usaha perkebunan sawit, namun hanya menguasai 41,35 persen lahan.
Sementara itu, jumlah perusahaan perkebunan milik negara hanya 0,01 persen dari total pelaku usaha sawit dan menguasai lahan 4,23 persen. Di sisi lain, jumlah perkebunan swasta yang hanya 0,07 persen dari total pelaku usaha perkebunan sawit menguasai lahan hingga seluas 54,42 persen. Ketimpangan juga terlihat dalam rata-rata luas lahan penguasaan perkebunan sawit.
"Perkebunan swasta menguasai lahan seluas rata-rata 4.247 hektare. Jauh lebih besar dibanding perkebunan rakyat dan juga perkebunan negara," kata Nuring. Satu pekebun rakyat rata-rata hanya memiliki 2,21 hektare luas lahan sawit. Sedangkan satu perusahaan perkebunan negara rata-rata menguasai 3.320 hektare lahan sawit.
Ketimpangan itu akan semakin tinggi lagi, menurut Nuring, kalau dilihat berdasarkan kelompok usaha. Perkara ini berpotensi membawa permasalahan persaingan usaha hingga di sisi hilir, misalnya di produk minyak goreng. Berdasarkan data yang dikantongi KPPU, ada lima perusahaan besar penghasil minyak goreng di Indonesia yang memiliki lahan sawit sangat luas.
"Karena itu, perlu pembatasan penguasaan lahan berupa hak guna usaha dan izin usaha perkebunan dalam kelompok pelaku usaha," kata dia. Tanpa pembatasan struktur penguasaan tanah, akan terjadi ketimpangan karena perbedaan akses terhadap sumber daya alam antara pihak yang kuat dan pihak yang lemah posisi tawarnya.
Perkebunan kelapa sawit di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 9 Mei 2022. ANTARA/Budi Candra Setya
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, mengatakan pengaturan mengenai batas maksimum izin usaha perkebunan sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Berdasarkan beleid tersebut, batas maksimum luas lahan untuk perusahaan atau kelompok perusahaan adalah 100 ribu hektare.
Masalahnya, aturan yang sama memberikan pengecualian bagi perusahaan perkebunan dengan status perusahaan terbuka. "Perusahaan terbuka ini yang penguasaan lahannya luas, sehingga menurut kami peraturan tersebut harus dikoreksi. Ini harus diaudit dan dibatasi," kata dia. Dia pun mendesak pemerintah membuka data HGU lahan di Indonesia agar masyarakat bisa ikut mengawasi persoalan tersebut.
Menyitir laman resmi perseroan, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) menguasai 303.149 hektare lahan perkebunan pada 31 Desember 2020. Sebesar 83 persen atau 253.061 hektare dari lahan tersebut ditanami sawit. Perusahaan terbuka lainnya, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), mengelola lahan hingga 287.604 hektare di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kepala Departemen Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria, Roni Maulana, menilai pembatasan penguasaan lahan itu diperlukan bukan sekadar untuk menjaga persaingan yang sehat di industri ekstraktif, namun juga mencegah ketimpangan, konflik, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan hidup. Ia mengatakan, pemerintah seharusnya membuka data penguasaan lahan tersebut guna mencegah perampasan hutan dan tanah petani oleh pengusaha sawit ilegal.
"Yang berkewajiban memberikan data valid sebenarnya adalah kementerian ATR/BPN, namun ATR/BPN menolak membuka data HGU tersebut, sehingga tindak pidana sektor sawit tidak pernah tersentuh hukum," ujar dia.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto, berharap penelitian yang dilakukan KPPU diikuti dengan proses penegakan hukum oleh pemerintah. "Ini harus didukung dan tidak boleh kalah. Bukan lagi tentang pengawasan dan evaluasi," kata dia. Musababnya, selama ini kelompok masyarakat sipil juga sudah kerap melaporkan berbagai masalah yang terjadi di lapangan. Hasil evaluasi itulah yang harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukum berdasarkan temuan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, menilai pembatasan penguasaan lahan sawit adalah kebijakan yang ideal dan perlu menjadi fokus pemerintah ke depannya. Namun ia berharap transisi kebijakan tersebut nantinya tidak mengganggu iklim investasi dan kepastian berusaha.
"Harus dicarikan pola yang paling efektif untuk memadukan regulasi yang sebelumnya dan regulasi ke depannya," ujar Gulat. Misalnya dengan fokus menerapkan 20 persen kemitraan kebun kelapa sawit dengan masyarakat. Kemitraan ini juga harus memiliki petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. "Tidak hanya kata ‘kemitraan’, namun harus dirinci keberlanjutannya."
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo