Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Isyarat Menjelang Resesi

Sinyal resesi ekonomi global kian terang dengan melemahnya permintaan ekspor beberapa produk jadi asal Indonesia. Ekspor tekstil dan furnitur mulai terkena dampak.

30 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Industri furnitur di JIExpo Kemayoran, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA — Tanda-tanda mendekatnya resesi ekonomi global kian tampak dengan melemahnya permintaan ekspor beberapa produk jadi asal Indonesia. Penurunan permintaan terutama terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang sedang mengalami lonjakan inflasi. Pada Agustus 2022, inflasi Amerika menembus 8,3 persen, sedangkan Uni Eropa 9,1 persen.

"Kondisi di Cina kurang-lebih sama, kinerja ekspor consumer goods turun sejak kembali dilakukannya lockdown di negara itu. Kami sulit menilai apakah penurunan kinerja ekspor terjadi karena lockdown atau karena krisis ekonomi," ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Shinta Kamdani, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Dalam kesempatan berbeda, CEO Sintesa Group itu pernah menuturkan risiko Indonesia terseret resesi ekonomi seperti negara-negara besar cukup rendah. Hanya, berbagai sektor ekonomi tetap akan merasakan dampak negatifnya lantaran negara-negara yang mengalami tekanan merupakan mitra dagang dan investasi utama Indonesia.

Turunnya permintaan ekspor, menurut dia, hanya satu dari berbagai efek yang dirasakan negara ini. Ia mengatakan Indonesia juga menghadapi dampak negatif dari meningkatnya beban biaya usaha akibat depresiasi rupiah. Belum lagi tekanan terhadap daya beli masyarakat karena inflasi tinggi. Pada Agustus 2022, inflasi Indonesia tercatat sebesar 4,69 persen.

"Keadaan ini akan menjadi beban tambahan terhadap pertumbuhan ekonomi. Itu pun dengan asumsi kita bisa menjaga stabilitas makroekonomi sepanjang krisis global tahun depan," ujar Shinta.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani. Ia mengatakan perlambatan ekonomi global sudah terasa pada sisi ekspor, terutama untuk tujuan Amerika Serikat dan Eropa. "Penurunan dirasakan oleh eksportir barang (konsumsi), seperti sepatu dan tekstil. Ekspor komoditas tetap berjalan, walau harganya turun," ujarnya.

Sebanyak 40 Persen Pesanan Ekspor Tekstil Dibatalkan 


Kabar menurunnya permintaan barang-barang manufaktur dibenarkan oleh Ketua Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta. Menurut dia, industri tekstil yang sempat tumbuh 12-13 persen pada semester I 2022 terancam kembali lesu. Musababnya, memasuki kuartal III, perekonomian Eropa dan Amerika Serikat mulai melemah.

"Pada semester II ini sebanyak 40 persen pesanan ekspor dibatalkan. Semester II pasti turun (kinerja ekspor tekstil)," ujar Redma. Persoalan makin pelik lantaran pengusaha berhadapan pula dengan produk impor di pasar domestik. Walhasil, beberapa pelaku usaha tekstil memutuskan mengurangi produksi dan merumahkan pegawainya.

"Di hulu, produksi sudah turun 30 persen. Di hilir, bisa 40-50 persen. Kalau bicara kuartal III, mungkin industri bisa terkontraksi 20 persen dibanding pada tahun lalu."

Kondisi ini memicu kekhawatiran Redma lantaran ia yakin 2022 bukanlah puncak dari tekanan ekonomi global. Pasalnya, banyak ahli ekonomi yang menyebutkan resesi global akan terjadi pada 2023. Artinya, tantangan badai pengusaha tekstil belum akan berakhir. Kalau tekanan ini berlanjut, ia berujar, opsi para pelaku usaha berikutnya adalah menutup pabrik.

Kondisi serupa dirasakan oleh para pelaku industri furnitur. Sekretaris Jenderal DPP Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia, Heru Prasetyo, menyebutkan, dalam dua bulan terakhir, penurunan permintaan produk untuk pasar ekspor sudah terasa. Penurunan terutama terjadi untuk ekspor ke pasar Amerika dan Eropa.

"Data yang pasti belum kami terima. Tapi, dari keluhan yang masuk, penurunan ekspor sekitar 30 persen, Eropa yang parah. Sebenarnya pada akhir semester I sudah terasa, tapi masuk awal semester II sangat terasa,” ujarnya.

Di tengah tekanan akibat turunnya permintaan tersebut, ia mengimbuhkan, sentra-sentra kerajinan dan mebel masih berupaya tidak mengurangi karyawan. Salah satu caranya adalah mengalihkan penjualan ke pasar Asia dan Australia, serta mencoba masuk ke pasar lokal. "Kami perlu dukungan pemerintah untuk bisa menggarap pasar lokal, misalnya dengan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) bangku sekolah dan lainnya," kata Pras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perajin menyelesaikan pembuatan miniatur di bengkel kerja Wayera Diorama di Jakarta, 19 September 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Ekspor Komoditas Masih Aman

Situasi berbeda dirasakan oleh industri berbasis komoditas, seperti sawit. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Eddy Martono, mengungkapkan, ekspor produk sawit masih cukup lancar dengan volume menembus 3 juta ton per bulan. Sebelumnya, industri ini sempat mengalami gangguan ekspor gara-gara larangan ekspor minyak sawit mentah atau CPO dan produk turunannya pada April lalu.

Hanya, kata Eddy, harga CPO—apabila mengacu ke Bursa Rotterdam—masih berada di angka US$ 1.000-1.100 per metrik ton. Ia berharap harga tersebut masih bisa membaik di tengah situasi resesi saat ini. "Kalau harapan pelaku usaha, pasti harga tinggi. Tapi harga US$ 1.300-1.400 sudah cukup bagus," ujarnya.

Meski penjualan produk sawit masih cukup baik, ia mengatakan, para pelaku industri telah menyiapkan strategi jika resesi global terjadi. Ia mengatakan industri sawit melakukan berbagai efisiensi, misalnya menekan kehilangan di hulu lantaran biaya pupuk yang melambung. Selain itu, pelaku usaha sawit menunda investasi baru.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2022 mencapai US$ 27,91 miliar atau naik 30,15 persen dibanding pada Agustus 2021. Ekspor nonmigas mencapai US$ 26,19 miliar, naik 28,39 persen dibanding ekspor nonmigas pada Agustus 2021. Peningkatan terbesar ekspor nonmigas terjadi pada komoditas lemak dan minyak hewan ataupun nabati.

Potensi terjadinya resesi global pada 2023 juga disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah diskusi ekonomi di Jakarta, kemarin. Ia mengatakan kontraksi pada perekonomian global bisa terjadi lantaran melambungnya inflasi yang diikuti kebijakan suku bunga tinggi oleh bank sentral di berbagai negara.

"Negara-negara terbesar di dunia, seperti Amerika, Eropa, dan Cina, sedang dalam suasana serta proses penyesuaian yang tidak mudah, dan pasti akan memberikan dampak kepada seluruh dunia," ujar Sri.

Belanja Pemerintah Menumpuk di Kuartal IV


Kendati demikian, dia optimistis ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh, bahkan di atas 5 persen pada 2022 dan 2023. Alasannya, hingga kuartal III 2022, level konsumsi, investasi, manufaktur, dan ekspor masih tumbuh cukup baik. Sementara itu, pada kuartal IV 2022, ketika perekonomian dunia mulai melemah, Indonesia masih berpeluang tumbuh dengan mengandalkan belanja pemerintah.

"Mayoritas pemerintah pusat dan daerah baru belanja di bawah 60 persen. Bayangkan, 40 persen belanja pemerintah akan terkonsentrasi pada tiga bulan terakhir ini," ujarnya.

Begitu pula untuk 2023, Sri Mulyani akan tetap memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara buat meredam gejolak serta menjaga permintaan domestik. Karena itu, ia menyatakan pemerintah akan terus mengendalikan inflasi nasional serta mendorong dunia usaha untuk terus menciptakan lapangan kerja.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan transmisi resesi global ke perekonomian domestik dirasakan melalui tren penurunan harga komoditas serta permintaan ekspor. Ekspektasi dari resesi ekonomi global ini pun telah terindikasi dari penurunan harga berbagai komoditas, seperti minyak mentah, CPO, dan logam dasar.

"Kami memperkirakan sektor yang terkait dengan komoditas ke depan mengalami dampak negatif dari perlambatan perekonomian global," ujarnya. Selain itu, industri yang banyak mengandalkan permintaan ekspor, seperti tekstil dan furnitur, akan merasakan dampak lebih dulu dari resesi ekonomi.

Soal kinerja ekspor, Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan kenaikan suku bunga di negara-negara maju akan menyebabkan derasnya aliran keluar modal asing, baik investasi langsung maupun investasi portofolio, yang akan melemahkan nilai tukar rupiah.

"Semua sektor yang berorientasi ekspor akan banyak terpengaruh. Apalagi krisis Rusia-Ukraina belum diketahui kapan akan usai, dan kini diikuti ketegangan Taiwan-Cina," ujar Yusuf.

Dengan demikian, ia yakin pertumbuhan ekonomi pada 2023 akan melambat dari proyeksi sebelumnya 5,1-5,3 persen menjadi 4,7-4,9 persen. Yusuf memprediksi konsumsi rumah tangga menjadi andalan pertumbuhan pada tahun depan. Namun, dengan kondisi inflasi tinggi, terutama pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak, yang dapat diandalkan adalah konsumsi kelas menengah atas.

"Masalahnya adalah konsumsi kelas menengah atas rendah dan sering berupa barang impor atau bocor ke luar negeri dalam bentuk perjalanan wisata, sehingga dampak domestiknya minimal," tutur dia. Ia menyatakan dibutuhkan rekayasa sosial serta insentif untuk mengoptimalkan konsumsi domestik.

CAESAR AKBAR | KHORY ALFARIZI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus