Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPK menemukan serangkaian persoalan dalam pengerjaan proyek LRT Jabodebek.
Ada masalah pada sistem persinyalan kereta.
Membahayakan keselamatan penumpang dan dapat merugikan keuangan negara.
JAKARTA – Sengkarut masalah dalam pengerjaan proyek kereta layang ringan (light rail transit/LRT) Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodebek) teruntai jauh sebelum peristiwa tabrakan dua rangkaian kereta pada 25 Oktober lalu. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap PT Adhi Karya (Persero) Tbk pada 2019 menemukan banyak masalah sejak tahap perencanaan hingga pembangunan.
Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, mengakui lembaganya pernah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Proyek Infrastruktur PT Adhi Karya (Persero) Tbk Tahun 2019. Dalam laporan tersebut, BPK memeriksa sejumlah proyek Adhi Karya, termasuk proyek LRT Jabodebek.
“Pemeriksaan dilakukan pada 2019, LHP diserahkan ke Adhi Karya pada awal 2020. Pekerjaan masih berjalan, dan waktu itu direksi yakin bisa selesai pada awal 2021,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Achsanul, hasil temuan BPK mengisyaratkan sejumlah risiko yang jika tidak segera diperbaiki akan menimbulkan risiko bagi keselamatan penumpang dan kerugian negara di kemudian hari. “Terutama terkait dengan temuan dalam hal rel dan sistem persinyalan,” katanya.
Temuan krusial pertama perihal pengadaan komponen rel pendukung jalan layang LRT, yaitu pengadaan seismic bearing atau bantalan karet. Seismic bearing diketahui memiliki fungsi untuk meredam gaya getaran kereta dan menahan getaran gempa bumi pada suatu bangunan.
Jika terjadi gempa, seismic bearing akan menyerap getaran gempa agar getaran yang diterima bangunan tidak terlalu besar. Adapun jenis seismic bearing yang digunakan di LRT Jabodebek adalah pad bearing, elastomeric bearing pad, dan lead rubber bearing (LRB).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan stasiun LRT (light rail transit) di Bekasi, Jawa Barat, 21 Oktober 2021. ANTARA/Fakhri Hermansyah
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap dokumen pelaksanaan pengadaan dan pemasangan bantalan jenis LRB menemukan beberapa masalah, misalnya komponen biaya dalam pengerjaan pengadaan LRB yang tidak sama di antara rekanan penyedia. Salah satu rekanan penyedia LRB yang mendapat kontrak pun diketahui belum pernah mengerjakan pengadaan LRB.
Pada akhirnya, terjadi keterlambatan penyelesaian pengadaan dan pemasangan LRB. Tak hanya itu, keterlambatan pemasangan LRB juga mengakibatkan proses penempatan U-shaped (wadah rel kereta) pada posisi pedestal pier head (pilar LRT) harus ditahan dengan balok kayu asam sebagai pengganjal sementara. Hal itu berpotensi membebani keuangan perusahaan karena terdapat tambahan biaya yang timbul dari pemasangan dan pengangkatan balok kayu asam tersebut.
Temuan krusial kedua terkait dengan sistem persinyalan. Lembaga auditor negara menemukan sejumlah ketidaksesuaian prosedur dalam proses pengadaan sistem persinyalan dengan PT Len Industri (Persero), yang bertindak sebagai penyedia. PT Len, yang ditunjuk langsung melalui keputusan direksi PT Adhi Karya (Persero) Tbk sebagai penyedia sistem persinyalan, diketahui mengalihkan pelaksanaan pengerjaan kepada PT Siemens Indonesia dan PT Len Railway System. Pengalihan sebagian besar pekerjaan ke subkontraktor spesialis pada akhirnya berpotensi menimbulkan penambahan biaya bagi Adhi Karya.
Direktur Operasi II PT Adhi Karya (Persero) Tbk, Pundjung Setya Brata, mengatakan Adhi Karya telah berkomunikasi intensif dengan lembaga auditor negara mengenai serangkaian temuan tersebut. Dia memastikan akan menindaklanjuti hasil pemeriksaan itu dan memperbaiki sebagaimana mestinya. “Memang ada yang masih berlangsung, ada yang sudah selesai, ada juga yang baru bisa selesai ketika proyeknya selesai,” katanya.
Adapun LRT Jabodebek ditargetkan mulai beroperasi komersial pada Agustus 2022. Pada tahap pertama, armadanya akan melintasi 17 stasiun yang tersebar di tiga jalur pelayanan sepanjang 44,4 kilometer, yaitu Cawang-Cibubur, Cawang-Dukuh Atas, dan Cawang-Bekasi Timur. Proyek strategis nasional tersebut akan menjadi kereta nonmasinis ketiga setelah Skytrain Bandara Soekarno-Hatta dan moda raya terpadu (MRT) Jakarta.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo