Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPJS Kesehatan diperkirakan kembali mengalami defisit setelah masa pandemi usai.
Kondisi keuangan BPJS Kesehatan belum sepenuhnya aman.
BPJS Kesehatan dituntut untuk memperbaiki pengelolaan investasi agar keuangannya sehat.
JAKARTA – Pemberlakuan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib berbagai keperluan diduga berkaitan dengan upaya untuk menahan defisit keuangan lembaga itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan ada potensi BPJS Kesehatan kembali mengalami defisit, salah satunya jika pandemi Covid-19 telah berlalu dan statusnya menjadi endemi. Jika hal itu terjadi, kata dia, masyarakat akan banyak kembali mengakses layanan standar di rumah sakit yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. “Akan terjadi rebound pembayaran jaminan. Ini yang harus diantisipasi," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tiga tahun terakhir, BPJS Kesehatan mengalami surplus atau selisih positif antara iuran yang diterima dan klaim yang harus dibayarkan. Pendapatan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus naik. Pada 2016, pembayaran iuran mencapai Rp 67,4 triliun, naik menjadi Rp 74,2 triliun pada 2017, Rp 85,4 triliun pada 2018, Rp 111,8 triliun pada 2019, serta Rp 139,9 triliun pada 2020. Adapun pada 2021, angkanya turun tipis menjadi Rp 139,5 triliun.
Pada periode yang sama, klaim yang dibayarkan BPJS Kesehatan juga meningkat dari Rp 67,2 triliun pada 2016 menjadi Rp 84,4 triliun pada 2017, Rp 94,3 triliun pada 2018, dan Rp 108,46 triliun pada 2019. Angka itu turun menjadi Rp 95,5 triliun pada 2020 dan Rp 90,3 triliun pada 2021.
Secara keseluruhan, kata Timboel, keuangan BPJS Kesehatan pun sehat lantaran aset bersih Dana Jaminan Sosial (DJS) melebihi estimasi pembayaran klaim untuk satu setengah bulan ke depan. Parameter itu diatur dalam Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015 tentang pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan.
Aset bersih DJS kesehatan melonjak dari minus Rp 5,7 triliun pada 2020 menjadi Rp 39,5 triliun pada tahun lalu. Angka tersebut mampu memenuhi 4,83 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan dengan rata-rata klaim dihitung berdasarkan realisasi tiga tahun terakhir. "Ketika pembiayaan turun, ada surplus karena pendapatan relatif sama. Apalagi pada 2020 ada kenaikan iuran. Artinya, saat ini sehat, tapi belum sistemik," ujar Timboel.
Suasana pelayanan BPJS Kesehatan Proklamasi, Jakarta, 27 September 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Dalam rapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat pada 19 Januari lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, sempat menyampaikan hal serupa. Ia mengatakan kondisi keuangan lembaganya belum sepenuhnya aman. "Keuangan BPJS Kesehatan positif, tapi ini belum aman betul karena pandemi belum bisa diprediksi 100 persen. Dan ini fenomena rebound, kami dilaporkan ada kenaikan utilisasi di rumah sakit," ujar dia.
Ali juga mengatakan beban jaminan kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan pun diperkirakan bakal naik apabila pandemi telah dinyatakan menjadi endemi. "Kami perkirakan pada 2023, kalau pandemi menjadi endemi, BPJS yang akan kelola semua." Untuk dapat menyehatkan keuangan BPJS Kesehatan secara sistemik, masyarakat diminta bergotong royong menjadi peserta. Terutama pada kelas pekerja penerima upah atau (PPU).
Pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022. Aturan ini memerintahkan 30 kementerian/lembaga, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota, mengambil langkah-langkah strategis guna mengoptimalkan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, saat ini sebanyak 86 persen penduduk Indonesia telah menjadi anggota JKN-KIS. Cakupan kepesertaan ini termasuk penduduk miskin dan tidak mampu, yang dibiayai oleh pemerintah sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI).
Para pensiunan aparatur sipil negara (ASN), tentara, dan polisi pun otomatis sudah menjadi peserta JKN-KIS. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan 98 persen penduduk bisa terlindungi JKN pada 2024.
Juru bicara BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma'ruf, membantah anggapan bahwa upaya menggenjot kepesertaan itu berkaitan dengan kondisi keuangan lembaganya. "Tidak ada kaitannya dengan kondisi keuangan BPJS Kesehatan," ujar dia.
Iqbal menegaskan bahwa kondisi keuangan BPJS Kesehatan terbilang sehat. Buktinya, kata dia, sejak pertengahan 2020 tidak ada gagal bayar klaim fasilitas kesehatan jatuh tempo.
Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan upaya menggenjot kepesertaan memang dapat mengoptimalkan pengelolaan investasi. Namun ia tak sepakat dengan cara pemerintah menerapkan syarat kepesertaan BPJS Kesehatan pada puluhan kegiatan masyarakat. “Tidak perlu dipukul rata. Fokus saja pada program yang berkaitan dengan target tertentu,” ujar dia.
Strategi pukul rata, kata Tauhid, mengancam kredibilitas pemerintah dalam mengelola BPJS Kesehatan. Dengan cara itu, kata dia, pemerintah seolah-olah hanya menjadikan penambahan jumlah peserta sebagai satu-satunya cara menyehatkan lembaga tersebut. Padahal, selain masalah kepesertaan, BPJS Kesehatan harus memperbaiki pengelolaan investasi. Misalnya, mengatur proporsi dana yang masuk ke surat berharga negara, reksa dana, dan pasar saham. Dengan begitu, setidaknya hasil investasi bisa diperoleh lebih besar daripada imbal hasil SBN.
Tauhid juga mengingatkan manajemen BPJS Kesehatan untuk menyesuaikan tarif iuran secara berkala agar tak sekaligus besar seperti yang terjadi pada 2020. Kenaikan premi, ujar dia, setidaknya menyesuaikan dengan inflasi.
CAESAR AKBAR, GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo