Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pegiat pemilu dan transparansi anggaran menyebut modus menyamarkan aliran dana ilegal untuk kampanye marak terjadi.
Modus paling marak adalah memecah besarnya duit sumbangan pengusaha atau cukong yang mendanai peserta pemilu
Fitra mendesak PPATK bersikap berani untuk mempublikasikan temuan mereka secara rinci.
JAKARTA – Beragam modus untuk menyamarkan aliran dana ilegal ditengarai dilakukan peserta dan partai politik demi kepentingan Pemilihan Umum 2024. Lembaga pegiat pemilu dan transparansi anggaran menilai modus penyaluran yang tidak terekam dalam laporan dana kampanye kerap dan marak terjadi pada pemilu sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantobi mengatakan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal anggaran janggal dana kampanye yang diberikan ke penyelenggara pemilu bukanlah barang baru. JPPR telah melakukan investigasi pada Pemilu 2019. “Pada 2019 ditemukan sejumlah modus transaksi dana kampanye yang diduga ilegal dilakukan peserta pemilu dengan koleganya,” kata Alwan pada Senin, 18 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah baliho alat peraga kampanye di Pandeglang, Banten, 17 Juli 2023. ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Alwan menuturkan salah satu modus yang paling marak terjadi adalah memecah besarnya duit sumbangan pengusaha atau cukong yang mendanai peserta pemilu. Modal tersebut disebar ke beberapa orang karena terdapat aturan batas maksimal sumbangan yang diberikan kepada peserta pemilu.
Dalam Pemilu 2019, batas maksimal sumbangan perseorangan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebesar Rp 750 juta. “Modal miliaran rupiah dari cukong dipecah ke beberapa orang. Padahal sumber sumbangan itu dari satu orang saja,” ucapnya.
Menurut Alwan, uang dari cukong pemodal ke peserta pemilu itu bukanlah gratis atawa cuma-cuma. Biasanya peserta pemilu yang dimodali itu—jika nanti terpilih—bakal membalas jasa cukong pemodal dengan cara mengawal bisnis kotornya atau diminta membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.
Modus lainnya, Alwan melanjutkan, adalah penyumbang fiktif. Caranya, mengaburkan identitas penyumbang dengan menggunakan data orang lain. Pada Pemilu 2019, JPPR menemukan seseorang yang hanya mampu menyewa rumah petak untuk tempat tinggal, tapi disebut-sebut telah menyumbang hingga ratusan juta rupiah untuk dana kampanye salah satu calon presiden dan wakil presiden.
Dilihat dari fakta dan profilnya, menurut Alwan, tidak mungkin orang seperti itu memberikan sumbangan mencapai ratusan juta rupiah. “Setelah ditelusuri ternyata identitas penyumbang sebenarnya terafiliasi dengan perusahaan milik calon wakil presiden yang bertarung saat itu.”
JPPR juga menemukan modus sumbangan yang sebenarnya berasal dari peserta pemilu, tapi seolah-olah dari para pendukungnya. Duit disebar lebih dulu kepada pendukungnya, kemudian dikumpulkan kembali untuk diserahkan kepada peserta pemilu yang memberikannya. Modus seperti itu bertujuan untuk mengambil simpati publik bahwa dana kampanye mereka seolah-olah didanai rakyat. “Padahal duitnya berasal dari dia-dia juga, tapi dibuat seolah-olah rakyat yang menyumbang,” tutur Alwan.
Adapun modus yang kini menjadi sorotan adalah dana kampanye yang berasal dari bank, seperti salah satu temuan PPATK. Alwan mengatakan lembaganya juga pernah menemukan modus yang hampir mirip dengan temuan PPATK. Menurut dia, modus itu sebenarnya sudah bisa dikatakan tindakan pencucian uang karena terdapat aliran dana kampanye yang berasal dari bank.
Alwan menduga modus ini untuk menghindari temuan audit. Menurut dia, jika nanti dana tersebut diaudit, akan terlihat seolah-olah tidak menyalahi prosedur karena keluar dari kredit perbankan. “Padahal hasil pencucian uang. Duitnya diduga berasal dari bisnis kotor mereka juga.”
Pada Sabtu pekan lalu, Tempo menulis temuan PPATK soal transaksi mencurigakan yang diduga mengalir untuk dana kampanye dari bank perkreditan rakyat di Jawa Tengah. Seorang penegak hukum dan penyelenggara pemilu yang mengetahui detail laporan PPATK itu membenarkan informasi tersebut.
Gedung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Bank perkreditan rakyat yang menjadi salah satu sorotan dalam laporan tersebut adalah PT BPR Bank Jepara Artha (Perseroda). BPR milik Pemerintah Kabupaten Jepara ini, kata dua sumber Tempo, tercatat mengalokasikan plafon kredit sekitar Rp 102 miliar untuk 27 debitor dalam kurun waktu 2022-2023.
Plafon kredit tersebut mulai terendus sebagai transaksi mencurigakan karena dicairkan tunai dalam waktu berdekatan. Dana pinjaman ini belakangan terdeteksi disetorkan kembali ke rekening seseorang berinisial MIA, yang diduga simpatisan sebuah partai. Nilai uang yang masuk ke rekening MIA mencapai Rp 94 miliar.
Dana yang bersumber dari kredit BPR Jepara Artha tak berhenti di sana. MIA terdeteksi mengirim duit di rekeningnya ke sejumlah individu, perusahaan, dan koperasi. Setidaknya tiga korporasi tercatat menerima dana MIA, yaitu PT Boga Halal Nusantara, PT Panganjaya Halal Nusantara, dan PT Bumi Manfaat Gemilang. Adapun badan hukum koperasi yang ditengarai ikut menerima aliran dana adalah Koperasi Garudayaksa Nusantara.
Bank Perkreditan Rakyat Jepara Artha. Dok. BPR Jepara Artha
Akta perusahaan PT Boga Halal Nusantara dan PT Panganjaya Halal Nusantara, yang disahkan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mencatat dua nama pemegang saham yang sama. Seorang di antaranya adalah Sudaryono, pria kelahiran Grobogan, 23 Januari 1985, yang tercatat sebagai komisaris.
Sudaryono adalah bekas Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra yang baru didapuk menjadi Ketua DPD Gerindra Jawa Tengah pada Oktober lalu. Dia juga tercatat sebagai Sekretaris Umum Koperasi Garudayaksa Nusantara, koperasi primer nasional yang diprakarsai oleh Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra.
Sebagian saham lainnya di kedua perusahaan tersebut dikempit oleh Fernando Osorio Soares, seorang politikus Gerindra di Nusa Tenggara Timur. Keberadaan MIA muncul di Panganjaya sebagai direktur tanpa kepemilikan saham. MIA juga pemegang saham mayoritas di PT Bumi Manfaat Gemilang.
Fernado belum menjawab upaya permintaan konfirmasi Tempo. Sedangkan Sudaryono membantah tudingan dua perusahaan dan Koperasi Garudayaksa Nusantara menerima aliran duit dari pinjaman di BPR Jepara. ”Itu fitnah yang sangat serius jika dikatakan Koperasi Garudayaksa Nusantara dan PT Boga Halal Nusantara serta PT Panganjaya Halal Nusantara menerima aliran dana dari BPR Jepara Artha,” ujarnya.
Direktur Utama BPR Jepara Jhendik Handoko mengatakan tidak mengenal perusahaan-perusahaan yang disebut menerima duit dari perusahaan pelat merah yang dipegangnya. “Saya juga tidak kenal orang yang bernama Sudaryono,” ujarnya.
Jhendik mengatakan debitor dari BPR yang dikelolanya cukup banyak. “Lebih dari 27 individu dan semua pencairan kredit ditransfer ke rekening debitor. Setelah ditransfer, kami tidak tahu penggunaannya.”
Modus Lawas tapi Baru
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) juga menilai modus pinjaman dari bank untuk dana kampanye bukanlah temuan baru. Manajer Riset Sekretaris Nasional Fitra, Badiul Hadi, mengatakan modus pinjaman kepada bank untuk modal kampanye dengan nama orang lain sudah terjadi sejak pemilu sebelumnya. “Biasanya modal ini memang nanti dikepul kepada satu orang, baru kemudian didistribusikan lagi,” ujarnya, kemarin.
Menurut Badiul, modal pemilu dengan cara meminjam ke bank sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang bisa dilaporkan sebagai dana kampanye resmi yang tercatat di rekening khusus dana kampanye (RKDK). Masalahnya, duit pinjaman dari bank tidak dilaporkan ke dokumen laporan dana kampanye yang disampaikan kepada KPU. ”Masalahnya ada pada transparansi dan akuntabilitas. Kondisi ini memperburuk demokrasi kita yang memang sudah mahal, tapi laporan dana kampanyenya tidak sesuai,” ujarnya.
Temuan PPATK soal aliran dari BPR di Jawa Tengah itu, kata Badiul, sebenarnya bisa termasuk tindak pidana pencucian uang. Sebab, dana tersebut hampir bisa dipastikan tidak dimasukkan dalam dokumen laporan dana kampanye. Menurut dia, temuan di BPR Jepara itu perlu diperdalam. Sebab, tindakan itu sudah tergolong kriteria TPPU jika tidak dilaporkan ke rekening dana kampanye. Dalam Undang-Undang Pemilu disebutkan adanya ancaman diskualifikasi apabila peserta pemilu tidak melaporkan dana kampanye yang digunakan.
Fitra mendesak PPATK bersikap berani untuk mempublikasikan temuan mereka secara rinci kepada publik. Salah satunya dugaan adanya aliran duit ratusan miliar rupiah dari kegiatan tambang ilegal yang digunakan untuk dana kampanye.
Hingga saat ini, kata dia, belum ada yang berani membongkar skandal aliran ilegal dana kampanye yang diduga berasal dari bisnis kotor tersebut. Padahal modus transfer dana dari kegiatan illegal itu bukanlah suatu hal yang baru. Fitra menilai PPATK sepertinya masih menyembunyikan siapa di balik ini semua, meski telah dilaporkan. “Sekalian saja laporkan kepada KPK dan kejaksaan atas temuan ini sehingga tidak menjadi isu persoalan pemilu saja.”
Dihubungi secara terpisah, dosen hukum kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan transaksi gelap duit kampanye pemilu biasanya dari donatur yang langsung diberikan kepada calon anggota legislatif atau peserta pemilu. Dana tersebut tidak dicantumkan dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK). Duit tersebut juga tidak masuk melalui rekening khusus peserta pemilu, melainkan dikelola oleh individu-individu.
“Baru nanti di laporan akhir dana kampanye dilaporkan kepada partai berbentuk sumbangan natura atau jasa, bukan uang,” ujarnya. “Nominalnya pun jauh lebih kecil dari yang sebenarnya diterima dan dibelanjakan.”
Titi mengatakan sikap jujur peserta pemilu diperlukan untuk mencatat semua penerimaan dan pengeluaran dana kampanye secara transparan dan akuntabel. Tapi faktanya tidak ada upaya sungguh-sungguh dari peserta pemilu untuk menjadikan RKDK sebagai satu-satunya medium pemasukan dan pengeluaran dana kampanye.
Sebagian peserta pemilu, kata Titi, justru menyamarkan dana kampanye dari transaksi ilegal yang mereka dapatkan. Duit gelap tersebut kemudian dikelola seseorang yang tidak masuk dalam tim kampanye resmi pasangan calon. Dana yang berasal dari transaksi ilegal itu ditengarai untuk melakukan praktik jual-beli suara. Aksi tersebut dilakukan melalui operator lapangan yang tidak terhubung atau perintah dari peserta pemilu. “Tidak mengherankan banyak politikus yang mengeluhkan praktik politik biaya tinggi, tapi sama sekali tidak tecermin dalam laporan dana kampanye yang mereka buat,” ucapnya.
Tindakan lancung menyamarkan dana kampanye itu marak terjadi selama proses pemilu diduga karena undang-undang dan regulasi pemilu didesain secara sistemik untuk tidak bisa mengungkap akuntabilitas dana kampanye. Regulasi juga didesain untuk tidak bisa menindak dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana kampanye. “Karena terlalu banyak lubang dan ruang gelap yang memungkinkan manipulasi dalam penerimaan dan pengeluaran dana kampanye,” ujarnya.
Juru bicara PPATK M. Natsir Kongah mengatakan lembaganya sudah menyerahkan data temuan kepada penyelenggara pemilu. Dana dari temuan tersebut ditengarai bersumber dari pertambangan ilegal, kejahatan lingkungan, hingga kasus korupsi yang digunakan untuk kepentingan kampanye pemilu. “Data yang kami sampaikan sudah komprehensif berdasarkan analisis dari dugaan kegiatan hasil kejahatan dan tindak pidana,” ujarnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo