Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rentan Miskin Akibat Kenaikan Inflasi

Lonjakan inflasi dikhawatirkan mengerek angka kemiskinan di Indonesia. Jumlah masyarakat rentan miskin mencapai tiga kali lipat masyarakat yang tercatat berada di bawah garis kemiskinan.

13 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jika kenaikan inflasi tak terkendali, jumlah masyarakat yang rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan bertambah.

  • Porsi konsumsi masyarakat miskin didominasi pengeluaran untuk makan.

  • Pemerintah optimistis dapat menekan angka kemiskinan dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi.

JAKARTA — Lonjakan inflasi dikhawatirkan mengerek angka kemiskinan di Indonesia. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan jumlah masyarakat kelas menengah yang rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan otomatis bertambah bila kenaikan inflasi tak terkendali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Logika dasarnya begitu dan yang paling terimbas inflasi memang masyarakat miskin,” ucapnya kepada Tempo, Kamis, 12 Mei 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai negara, termasuk Indonesia, sedang berupaya meredam kenaikan inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat tren kenaikan inflasi di dalam negeri, dari 0,56 persen pada Januari menjadi 0,95 persen pada bulan lalu. Inflasi tahunannya pun mencapai 3,47 persen. Bila merujuk pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022, inflasi tahunan diasumsikan sebesar 3 persen, sedangkan Bank Indonesia memperkirakan 2-4 persen.

Jika merujuk pada data kemiskinan hingga akhir September 2021, kata Bhima, lebih dari 70 persen komponen kemiskinan datang dari bahan pangan. Ia mengatakan porsi konsumsi masyarakat miskin justru didominasi pengeluaran untuk makan. Berbeda dengan masyarakat mampu, yang porsi konsumsi untuk makannya lebih kecil dan memiliki tabungan besar. “Terutama untuk beras yang harganya bisa tidak stabil bila ada gangguan cuaca dan faktor lain,” katanya.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebutkan kenaikan inflasi akan membuat penduduk miskin semakin banyak mengeluarkan uang, terutama untuk memenuhi kecukupan pangan. Kelompok berpendapatan kecil, kata dia, membutuhkan asupan 2.100 kilokalori untuk mencapai angka pemenuhan gizi minimum.

“Pada saat yang sama, pertumbuhan simpanan perbankan terkecil atau di bawah Rp 100 juta masih pada titik terendah selama lima tahun. Hal ini menandakan simpanan penduduk miskin terus tergerus untuk menopang konsumsi mereka,” kata dia.  

Aktivitas warga di permukiman padat penduduk di kawasan Pademangan, Jakarta, 17 Januari 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat

Pada Januari lalu, Badan Pusat Statistik sebetulnya melaporkan penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin per September 2021 tercatat 26,50 juta orang atau turun 1,04 juta dibanding pada Maret 2021. Angkanya pun menurun 1,05 juta orang dibanding periode yang sama 2020.

Persentase penduduk miskin perkotaan, yang pada Maret 2021 masih sebesar 7,89 persen, juga berkurang hingga 7,60 persen pada September tahun lalu. Persentase penduduk miskin perdesaan pun turun 12,53 persen pada periode tersebut. Meski demikian, BPS mencatat indeks keparahan kemiskinan di perdesaan justru meningkat, dari 0,57 persen pada Maret 2021 menjadi 0,59 persen pada September 2021. Data itu memperlihatkan kesenjangan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan semakin melebar.

Kepala BPS, Margo Yuwono, juga sempat menyatakan garis kemiskinan berpotensi naik jika inflasi pangan berlangsung lama. Berdasarkan data BPS per September 2021, kata Margo, garis kemiskinan tercatat sebesar Rp 486.168 per kapita per bulan. Komposisinya, garis kemiskinan makanan sebesar Rp 360.007 per kapita per bulan (74,05 persen) dan garis kemiskinan non-makanan sebesar Rp 126.161 (25,95 persen).

"Sehingga, jika inflasi pangan tinggi, otomatis jumlah penduduk miskin bertambah," ujarnya, April lalu.

Margo menyatakan kenaikan inflasi akan berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat dan menekan konsumsi, sehingga berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan beban pengeluaran masyarakat menengah ke bawah juga bertambah akibat kenaikan harga bahan pangan. “Pola konsumsi masyarakat sebagian besar porsi belanjanya itu ke makanan. Jadi, kalau inflasi pangan tidak bisa dikendalikan, bisa dipastikan golongan bawah akan tertekan kesejahteraannya."

Warga berbelanja kebutuhan pokok di Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, 25 April 2022. TEMPO/Prima Mulia

Kemarin, Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Indra Darmawan, mengatakan daya beli masyarakat harus dijaga di batas aman. Menurut dia, harga di tingkat produsen memang terus melonjak sejak awal tahun. Namun lonjakan harga produksi itu belum dibebankan ke tingkat konsumen hingga kini.

Indra menjelaskan, meski kegiatan masyarakat kian longgar, produsen masih ragu menaikkan harga. “Mereka masih menahan stok, hanya keluar sesuai dengan permintaan,” kata Indra. “Tapi jika inflasi tak terkendali, cepat atau lambat harga di tingkat konsumen akhirnya naik.”

Direktur CORE, Mohammad Faisal, menilai tingkat kemiskinan saat ini masih tetap lebih tinggi dibanding sebelum masa pandemi. Jumlah masyarakat yang berada sedikit di atas garis kemiskinan pun mencapai tiga lipat penduduk yang tercatat miskin. “Yang rentan atau hampir miskin cukup banyak, dampak inflasi kepada mereka ini harus diperhatikan.”

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, optimistis pemerintah dapat menekan angka kemiskinan dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi. Tahun ini, pemerintah mengestimasikan pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen, sedangkan tingkat inflasi akan dijaga di angka 2-4 persen.

“Selama ada pertumbuhan, income naik. Kalau growth lebih tinggi, berarti kemiskinan tetap turun,” kata dia setelah menghadiri Tempo BNI The Bilateral Forum di Jakarta, kemarin.

Menurut Suahasil, Kementerian Keuangan menilai perekonomian nasional pada tahun ini tumbuh lebih baik karena pelonggaran aktivitas masyarakat. Naiknya permintaan dan harga minyak mentah global dianggap sebagai salah satu tanda pemulihan ekonomi global. "Tapi kami belum menyesuaikan harga (BBM di dalam negeri). Pemerintah masih mensubsidi," katanya.

Namun optimisme itu diragukan oleh pengamat kebijakan publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat. Ia tak yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melewati 5 persen. Perang Rusia-Ukraina membuat harga bahan bakar naik drastis dan efeknya menjalar ke harga komoditas, hingga berpeluang mengerek naik angka kemiskinan. “Dengan kondisi ini, peluang pertumbuhan hanya di kisaran 4,5 persen, dengan asumsi harga minyak di atas US$ 100.” 

FRANCISCA CHRISTY ROSANA | VINDRY FLORENTIN  | CAESAR AKBAR

Baca Juga:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus