Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Kutub Menuju Pemilihan Presiden

Partai besar sudah mengunci kandidat calon presiden pada pemilu 2024 yang elektabilitasnya kalah dari sejumlah kepala daerah.

9 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peta persaingan dalam pemilihan presiden 2024 bakal terjadi antara kader partai dan figur dari nonpartai dengan tingkat popularitas dan elektabilitas tinggi.

  • Partai besar sudah mengunci kandidat calon presiden pada pemilu 2024 yang elektabilitasnya kalah dari sejumlah kepala daerah.

  • Elektabilitas elite partai yang tebar pesona dengan baliho masih kalah dibanding sejumlah kepala daerah.

JAKARTA – Pengamat politik menilai persaingan pada pemilihan presiden 2024 mendatang akan sangat dinamis dan rumit. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengatakan peta persaingan kandidat calon presiden bakal terjadi antara kader partai politik dan figur dari nonpartai dengan tingkat popularitas dan elektabilitas tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengatakan saat ini semua partai besar sepertinya sudah memiliki kandidat yang akan mereka usung menjadi calon presiden dalam pemilu 2024 mendatang. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang akan mengusung Puan Maharani, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sekaligus putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Lalu Partai Golkar mengusung Airlangga Hartarto, ketua umum partainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selanjutnya, Gerindra akan mengusung Prabowo Subianto, ketua umum partainya. Adapun Partai Demokrat mengusung ketuanya, Agus Harimurti Yudhoyono. “Saat ini partai besar seperti sudah mengunci calonnya,” kata Adi Prayitno, kemarin.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, 5 Maret 2021. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Ia berpendapat bahwa kondisi itu bisa membuka peluang bagi partai politik dengan suara menengah dan bawah untuk berkoalisi, lalu menantang partai besar. Namun Adi menganggap memoles calon sendiri dengan elektabilitas kuat lebih baik daripada ikut di barisan partai besar dengan calon yang elektabilitasnya kurang kuat.

Menurut Adi, persaingan akan mengerucut antara elite oligarki partai yang elektabilitasnya rendah dan para kepala daerah dengan elektabilitas tinggi berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga. “Akan terjadi tarik-menarik antara elite partai atau orang penting yang menentukan pencapresan di partai dan tokoh-tokoh kunci yang ada bekal popularitas kuat, terutama kepala daerah,” ujarnya.

Adi menduga partai yang suaranya pada Pemilu 2019 berada di papan tengah sedang menunggu momentum. Mereka saat ini tengah memantau sejumlah calon potensial dan mulai berhitung untuk menjadi pemain utama di pemilu presiden 2024. “PKS dan PKB tentu mau jadi pemain, tak lagi di bawah subordinasi PDIP, Golkar, dan Gerindra. Apalagi capres dari elite oligarki partai belum muncul popularitas dan elektabilitasnya karena, dalam pilpres, yang dinilai adalah tokoh, bukan partainya,” ucap Adi.

Wacana pemilu presiden 2024 semakin menghangat pada pertengahan tahun ini setelah banyak baliho bergambar elite partai terpasang di banyak daerah. Misalnya baliho bergambar Puan Maharani dan Airlangga Hartarto bertebaran di banyak daerah. Adapula baliho bergambar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Demokrat Agus Yudhoyono. Keberadaan baliho berbagai elite partai ini sempat mengundang cibiran masyarakat karena kampanye tebar pesona itu dilakukan saat situasi pandemi Covid-19 belum terkendali.

Berdasarkan survei terbaru dari New Indonesia Research and Consulting, elektabilitas para elite partai yang melakukan kampanye dini itu masih rendah dibanding sejumlah figur lainnya. Hasil survei New Indonesia Research and Consulting menunjukkan elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo masih yang tertinggi, yaitu berada di angka 20,5 persen. Lalu menyusul Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebesar 16,7 persen, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil 16,1 persen, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 6 persen. 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, di Jakarta, 3 Februari 2021. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Di bawah nama-nama tersebut, ada Agus Yudhoyono dengan elektabilitas sebesar 5,8 persen, lalu Puan dan Airlangga Hartarto dengan elektabilitas masing-masing 1,4 persen dan 1,3 persen.

Survei lembaga ini dilakukan pada 21-30 Juli 2021 dengan sambungan telepon kepada 1.200 responden yang dipilih secara acak. Tingkat kepercayaan survei ini diklaim mencapai 95 persen. 

“Di tengah perang baliho politikus, elektabilitas Puan Maharani dan Airlangga masih jauh tertinggal," kata Direktur Eksekutif New Indonesia Research and Consulting, Andreas Nuryono, melalui keterangan tertulis, kemarin.

Hasil survei Voxpol Center yang dilakukan pada 22 Juni hingga 1 Juli 2021 juga tak jauh berbeda. Elektabilitas Prabowo paling tinggi, mencapai 20,3 persen, lalu disusul Ganjar sebesar 20 persen, Anies 16,8 persen, dan Ridwan Kamil 6,2 persen. Sedangan elektabilitas Agus Yudhoyono, Puan, dan Airlangga masing-masing 5,7 persen, 5,1 persen, dan 0,8 persen. Survei Voxpol menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden, dengan tingkat kepercayaan 95 persen. 

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan penanganan pandemi menjadi kunci dalam melihat politik di 2024. Ia menganggap penanganan pandemi Covid-19 ini menjadi kunci utama bagi publik untuk melihat kapabilitas pemimpin dalam mengatasi masalah pelik di Indonesia. 

Wasisto juga menyoroti berbagai baliho elite partai yang terpasang di banyak daerah. Ia mengatakan pemasangan baliho ini merupakan tahap tebar pesona. Padahal masyarakat membutuhkan kerja nyata, bukan permainan teatrikal lewat baliho. 

“Akan ada kuda hitam yang mana dikarakterisasi sebagai kandidat yang tak hanya populis, tapi juga punya partai yang bersedia mengusung,” kata Wasisto. 

Wasisto menjelaskan, penanganan pandemi menciptakan ketergantungan politik antara pemilih dan pemimpin. Sehingga baik dan buruknya penanganan pandemi saat ini akan menjadi titik perhatian bagi publik untuk melihat kapabilitas calon pemimpin mendatang. “Tentu saja dalam hal ini kepala daerah jadi aktor politik terdepan. Yang pasang baliho itu kan ada di belakang meja,” ujarnya. 

Menurut Wasisto, saat ini tidak ada ideologi dan program partai politik yang bisa mengikat pemilih sepenuhnya. Sehingga cara untuk mengikat pemilih adalah partai memilih figur populer, memiliki potensi memenangi pemilihan presiden 2024, serta mampu mengerek suara partainya. “Lolos atau tidaknya partai ke parlemen, salah satunya terletak pada kandidat calon presiden yang mereka usung,” ujarnya.

ANTARA | DIKO OKTARA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus