Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Legal Pengobatan di Negara Tetangga

Sebanyak 40 negara mengizinkan penggunaan ganja untuk pengobatan, termasuk Thailand. Malaysia mendesak pemerintah dan parlemen melegalkan ganja medis. Tidak berniat membebaskan penggunaan ganja di masyarakat.

29 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebanyak 40 negara mengizinkan penggunaan ganja untuk pengobatan.

  • Pemerintah dan parlemen Malaysia didesak melegalkan ganja medis.

  • Thailand menjadikan ganja medis sebagai pendongkrak industri kesehatan.

JAKARTA – Thailand menjadi negara pertama di Asia yang melegalkan ganja. Mulai awal bulan ini, masyarakat di sana boleh menanam dan menggunakan kanabis untuk campuran makanan serta minuman. Aturan baru tersebut melengkapi izin ganja medis atau untuk pengobatan yang terbit pada 2018.

Kementerian Kesehatan Thailand bahkan menyebarkan 1 juta bibit Cannabis sativa untuk dibudidayakan. Namun jangan bayangkan turis bebas mengisap mariyuana di kafe-kafe layaknya di Belanda. Kanabis di Thailand hanya diperbolehkan untuk kepentingan pengobatan atau ganja medis plus kandungan makanan dan minuman dalam jumlah terbatas. Mereka yang kedapatan mengisap ganja di tempat umum bisa dihukum kurungan 3 bulan atau denda setara dengan Rp 11,5 juta.

Situs kesehatan WebMD menyebutkan ganja medis memanfaatkan komponen kimia yang terkandung dalam Cannabis sativa. Dari 100 komponen, hanya dua senyawa yang digunakan untuk pengobatan, yaitu THC (tetrahydrocannabinol) dan CBD (cannabidiol). THC merupakan zat yang memberikan efek relaksasi, yang dicari pemadat untuk mendapatkan sensasi teler. Sedangkan CBD berinteraksi dengan saraf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Thailand, produk yang mengandung lebih dari 0,2 persen THC tergolong ilegal. Angka itu sama dengan batasan kandungan THC pada ganja rami atau hemp, yang diambil seratnya untuk berbagai industri.

Negeri Gajah Putih berniat menjadikan ganja medis sebagai pendongkrak industri kesehatannya, setelah lebih dulu memajukan wisata medis. Apalagi mereka menganggap iklim negaranya cocok untuk budi daya Cannabis sativa. "Kita harus tahu cara memanfaatkan kanabis," kata Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul, seperti ditulis Time. "Jika kita memiliki pemahaman yang benar, kanabis seperti emas, berharga dan layak dipromosikan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand Anutin Charnvirakul menghadiri kampanye untuk memberikan 1 juta tanaman ganja gratis di Provinsi Buriram, Thailand, 10 Juni 2022. Dok. Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand via REUTERS

Thailand masuk daftar 40 negara yang melegalkan ganja medis, dari Argentina, Australia, Amerika Serikat, Inggris, Libanon, sampai Maroko. Hanya Kanada dan Uruguay yang membolehkan penggunaan ganja untuk kesenangan pribadi.

Besarnya desakan publik untuk menggunakan mariyuana sebagai bagian dari pengobatan membuat sejumlah negara mempertimbangkan untuk melegalkan ganja medis, termasuk Malaysia. Seperti ditulis Malaysiakini, Syed Saddiq Syed Abdul Rahman, Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia periode 2018-2020, mengatakan sudah saatnya pemerintah Malaysia melegalkan ganja medis karena ada dukungan data serta ilmu pengetahuan, bukan sekadar tren dan omongan.

Serupa dengan Indonesia, banyak orang terjerat pidana karena menggunakan mariyuana sebagai pengobatan di Malaysia. Kasus yang mengemuka, antara lain, adalah Amiruddin Nadaraja Abdullah, 63 tahun, pensiunan tentara berpangkat kapten yang menggunakan ganja untuk pengobatan kanker. Kasus ini dikenal dengan Dr Ganja.

Sejumlah pakar hukum di Malaysia meminta kepada pemerintah dan parlemen agar ganja diatur dalam Undang-Undang Bahan Beracun 1952, bukan Undang-Undang Obat-obatan Berbahaya. Mereka juga meminta pemerintah mencabut tuntutan atau meringankan hukuman terhadap mereka yang menghadapi hukuman mati karena menggunakan kanabis untuk tujuan medis.

Desakan ini mengemuka seiring dengan turunnya penggolongan ganja oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ganja dan turunannya tak lagi masuk daftar obat-obatan berbahaya. Namun penggunaannya sebatas kepentingan medis dan ilmiah.

Rusdi Abd Rashid, psikiater pakar rehabilitasi narkoba di Malaysia, meminta Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob melengkapi dukungan lisannya tentang perubahan kebijakan soal ganja medis dengan tindakan. "Tanpa izin otoritas, kami tidak dapat meneliti karena bisa dihukum dan bernasib sama seperti Dr Ganja dan lainnya," kata Rusdi. "Jika Perdana Menteri bisa mengintervensi, penelitian soal ganja medis bisa dipercepat."

Rusdi mengingatkan publik bahwa permintaan izin penelitian ganja medis sebatas untuk kepentingan pengobatan. "Jangan ada yang berpikir kami ingin membebaskan penggunaan ganja di masyarakat," ujarnya.

REZA MAULANA | ANGGI ROPININTA (MAGANG) | TIME | REUTERS | MALAYSIAKINI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Reza Maulana

Reza Maulana

Bergabung dengan Tempo sejak 2005 setelah lulus dari Hubungan Internasional FISIP UI. Saat ini memimpin desk Urban di Koran Tempo. Salah satu tulisan editorialnya di Koran Tempo meraih PWI Jaya Award 2019. Menikmati PlayStation di waktu senggang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus