Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Potensi kekayaan alam di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, disebut-sebut melimpah dengan berbagai jenis tanaman perkebunan.
Keberadaan tambang batu andesit ditengarai mengancam potensi kekayaan alam ini.
Ganjar berjanji membuka ruang dialog dengan warga dan mendatangkan ahli yang terkait dengan masalah ini.
JAKARTA – Potensi kekayaan alam dari Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, disebut-sebut melimpah dengan berbagai jenis tanaman perkebunan. Warga memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan mereka. Warga juga memanfaatkan potensi di hutan Wadas untuk membudidayakan lebah. "Lebah itu hanya bisa tumbuh dan berbudi daya jika didukung hutan yang masih hijau dan lebat. Kawasan hutan di situ mendukung," ujar Sekar Banjaran Aji, juru kampanye hutan Greenpeace, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi daya lebah ini menjadi salah satu mata pencarian di Wadas, meski belum tercatat secara jelas potensinya. Merujuk pada data yang diolah Walhi, LBH Yogyakarta, Perpustakaan Jalanan, dan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa), potensi yang bisa dihasilkan dari komoditas perkebunan di desa ini mencapai Rp 8,5 miliar per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan hitungan kelompok pegiat lingkungan dan hukum tersebut, potensi yang bisa didapat dari komoditas kayu keras mencapai Rp 5,1 miliar per tahun. Komoditas ini mencakup 11 jenis tumbuhan dan kayu. Dari tumbuhan kelapa (Rp 707 juta per bulan), keling (Rp 258 juta per lima tahun), kapulaga (Rp 156 juta per bulan), cabai (Rp 75,6 juta per bulan), durian (Rp 1,24 miliar per tahun), petai (Rp 241,3 juta per tahun), vanili (Rp 266,3 juta per tahun), cengkeh (Rp 64,4 juta per tahun), hingga pisang (Rp 202,1 juta per bulan). Adapun untuk kekayuan, terdapat akasia yang potensinya mencapai 45,7 juta per lima tahun, mahoni (1,56 miliar per lima tahun), jati (Rp 1.173 miliar per lima tahun), dan sengon (Rp 2,09 miliar per lima tahun).
Sekar mengatakan warga Wadas selama ini juga mengelola lingkungannya untuk kemakmuran mereka. Selain budi daya lebah, potensi yang belum tercatat adalah kerajinan anyaman, seperti besek yang dibuat ibu-ibu warga Wadas dari olahan alam mereka. "Mereka sudah dapat vendor yang butuh dibuatkan besek dalam jumlah banyak, selain pasokan untuk kebutuhan masyarakat sendiri," ujarnya.
Sekar menegaskan bahwa potensi tersebut merupakan subsistence atau swasembada karena petani berfokus pada usaha membudidayakan bahan pangan dalam jumlah yang cukup. "Bukan hanya sebulan atau dua bulan, mereka sudah cukup matang," ujarnya.
Poster yang berisi penolakan rencana pembangunan Bendungan Bener dipasang di dekat poskamling di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, 9 Februari 2022. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Keberadaan tambang batu andesit ditengarai mengancam potensi kekayaan ini. Tambang batu andesit sedianya digunakan untuk material proyek Bendungan Bener. Proyek waduk senilai Rp 2,06 triliun itu merupakan proyek strategis nasional yang lokasinya masih di Kabupaten Purworejo. Dalam sepekan ini, kekisruhan terjadi di Desa Wadas. Sejumlah warga Wadas ditangkap lantaran berkukuh menolak lahannya diukur dan dibebaskan untuk penambangan batu andesit, meski mereka tidak menolak proyek bendungan.
Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta, Halik Sandera, mengatakan wilayah yang akan ditambang merupakan sumber penghidupan utama warga. Beberapa komoditas, seperti pisang dan cabai, memang ditanam di pekarangan rumah warga serta jauh dari lokasi tambang. Namun komoditas lain, seperti kayu-kayuan dan budi daya lebah yang berada di hutan, lokasinya terkena dampak langsung tambang andesit. "Penghasilan mereka akan turun secara drastis. Kalau hanya mengandalkan di sekitar pekarangan, tak akan cukup. Karena yang utamanya ada di lahan perbukitan itu," kata Halik.
Dia mengatakan prinsip bentuk pertanian dan perkebunan di Wadas bisa disebut sebagai agroforestry. Karena itu, dibutuhkan tegakan utama yang memang membutuhkan tanaman cukup lama. Penambangan dikhawatirkan akan mengubah kondisi ekologis di kawasan yang dikenal dengan perbukitan Menoreh itu. Hal itu juga termasuk potensi rusaknya 27 mata air yang berada di bawah lokasi tambang tersebut.
Kekhawatiran ini semakin terasa karena warga Wadas mulai kesulitan bertani dan beraktivitas seperti biasa. Aktivitas ekonomi warga sempat terhenti setelah pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purworejo pada 8 Februari 2022.
Insin Sutrisno, salah satu warga Wadas yang tergabung dalam Gempadewa, merasakan kesulitan tersebut. Insin menyatakan banyaknya aparat di Wadas untuk menjaga pengukuran lahan justru membuat mereka merasa terintimidasi. Warga pun memilih mengungsi ke rumah saudara mereka di luar Wadas. Hal ini juga tak terlepas dari penangkapan 67 warga Wadas pada 8 Februari lalu. "Segala aktivitas ekonomi itu terpaksa kami tinggalkan dulu selama mengungsi," kata Insin.
Perihal adanya potensi dan dampak kerusakan ini, Tempo berusaha meminta konfirmasi ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo lewat pesan WhatsApp, tapi tak berbalas. Meski begitu, dilansir dari Antara, Kamis lalu, Ganjar berjanji membuka ruang dialog dengan warga dan mendatangkan ahli yang terkait dengan masalah ini. Dialog khusus itu akan dilakukan bersama warga yang masih menolak penambangan batu andesit di Wadas. "Ada isu soal quarry-nya, potensi lingkungan yang akan rusak, dan kondisi geologis yang ada di sana. Saya kira itu butuh ruang untuk menjelaskan," ujar Ganjar.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo