Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Pendekatan Utang Berulang Membiayai Negara

Pemerintah kembali menambah utang dengan menerbitkan obligasi ritel. Beban pembayaran bunga utang dikhawatirkan makin berat di masa depan. 

27 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hasil penjualan ORI022 akan digunakan untuk membiayai anggaran negara.

  • Pemerintah akan menerbitkan sukuk tabungan seri ST009 pada Oktober-November 2022 senilai Rp 100 trilliun.

JAKARTA – Pemerintah kembali menambah utang dengan menerbitkan obligasi negara ritel Indonesia seri ORI022, kemarin. Obligasi ritel adalah salah satu instrumen surat berharga negara (SBN) dan merupakan obligasi negara ritel kedua yang diterbitkan pemerintah pada tahun ini. ORI022 diterbitkan dengan kupon tetap 5,95 persen per tahun dengan tenor selama tiga tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, mengatakan hasil penjualan ORI022 akan digunakan untuk membiayai anggaran negara. “Jika membeli ORI022, artinya masyarakat ikut andil dalam membangun negeri, membantu pembiayaan pasien yang terjangkit Covid-19, membantu proses pemulihan ekonomi nasional, bahkan membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah,” ujarnya, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obligasi ritel pertama yang diterbitkan pemerintah pada awal 2022, yakni ORI021, diterbitkan dengan kupon 4,9 persen. Ketika itu, penjualan ORI021 mencetak rekor jumlah investor mencapai 56.238. Adapun dana yang terkumpul dari penjualan ORI021 sebesar Rp 25,065 triliun.

Selain menerbitkan ORI, sepanjang tahun ini pemerintah telah menerbitkan sejumlah instrumen SBN ritel untuk mendanai APBN. Dibuka dengan penjualan ORI021 pada Januari-Februari 2022, pemerintah menerbitkan sukuk ritel seri SR016 pada Februari-Maret. Lalu diikuti penerbitan savings bond retail (SBR011) pada Mei-Juni. Kemudian, pada Agustus-September, pemerintah meluncurkan SR017.

Rencananya, pemerintah menerbitkan sukuk tabungan seri ST009 pada Oktober-November. Dari seluruh penerbitan SBN ritel itu, pemerintah menargetkan pendanaan hingga Rp 100 triliun.

Adapun secara rinci, pembiayaan utang pemerintah hingga akhir Agustus lalu terdiri atas penerbitan SBN (neto) sebesar Rp 317,3 triliun. Jumlah ini turun 44,1 persen jika dibandingkan dengan realisasi penerbitan SBN pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 567,4 triliun. Sementara itu, pinjaman (neto) yang sudah terealisasi hingga Agustus 2022 mencapai Rp 13,8 triliun. Jumlah ini juga turun 193,3 persen jika dibanding pada periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp 14,8 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

“Bulan ini pemerintah juga menerbitkan global bonds senilai US$ 2,65 miliar. Termasuk mengeluarkan liability management sebesar US$ 325 miliar untuk mengurangi eksposur jatuh tempo dan suku bunga. Ini merupakan strategi pengelolaan utang untuk menjaga APBN, keuangan negara, dan utang negara tetap prudent,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kemarin.

Kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat berdampak penurunan kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Saat ini, kata Sri Mulyani, kepemilikan asing terhadap surat berharga negara hanya 14,7 persen. “Turun tajam dibanding pada 2019 yang mencapai 38,57 persen.” Sri Mulyani mengklaim penurunan porsi kepemilikan asing ini memiliki sisi positif karena pasar keuangan domestik relatif tak mudah terguncang saat terjadi gejolak eksternal. “Pemilik SBN saat ini didominasi perbankan dan Bank Indonesia.”

Tahun ini pemerintah memang masih memanfaatkan skema berbagi beban dengan bank sentral melalui surat keputusan bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Melalui skema ini, Bank Indonesia membeli surat utang negara (SUN) dan surat berharga syariah negara (SBSN). Berdasarkan SKB jilid I, BI telah membeli SUN senilai Rp 21,992 triliun dan SBSN senilai Rp 18,042 triliun. Adapun pada SKB jilid III, realisasi pendanaannya mencapai Rp 95,42 triliun.

Adapun per Agustus, rasio utang Indonesia sebesar 37,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio tersebut turun dibanding pada tahun lalu yang mencapai 40,7 persen terhadap PDB. “Ini menggambarkan Indonesia menggunakan fiskalnya secara prudent dan hati-hati,” ujar Sri Mulyani, akhir Agustus lalu.

Kendati rasio dan pembiayaan utang pemerintah turun, beban pembayaran bunga utang masih tinggi. Berdasarkan APBN 2022 Perubahan, pembayaran bunga utang pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp 403,9 triliun. Jumlah ini lebih besar dari beban pembayaran bunga utang tahun-tahun sebelumnya. Pada 2021, pemerintah mengeluarkan duit Rp 343,5 triliun untuk bunga utang. Lalu, pada 2020, jumlahnya sebesar Rp 314,1 triliun; pada 2019 Rp 275,5 triliun; dan pada 2018 Rp 258 triliun.

Tahun depan, beban bunga utang pemerintah diproyeksikan kembali naik. Dalam Rancangan APBN 2023, anggaran untuk pembayaran bunga utang menembus Rp 441,4 triliun atau naik 35,5 persen dibanding pada tahun ini. Jumlah itu 14,5 persen dari total belanja negara tahun depan. Secara rinci, persentase tersebut terdiri atas bunga utang dalam negeri sebesar Rp 426,8 triliun dan bunga utang luar negeri sebesar Rp 14,6 triliun.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai penurunan kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah memang lebih aman dari ancaman gejolak eksternal. Namun ia memperingatkan bahwa pemerintah harus bersiap membayar bunga utang dalam jumlah besar dalam waktu lima tahun ke depan. “Artinya, pemerintah harus menggali lubang cukup dalam untuk membayar utang dalam lima tahun terakhir,” kata Tauhid.

Selain itu, kata dia, dalam jangka panjang, kemampuan pemerintah membayar bunga utang akan menurun, terutama jika tingkat bunga terlalu tinggi. “Risikonya, ketika membayar bunga utang lebih tinggi, kondisi fiskal akan terpengaruh. Terutama pada belanja pemerintah pusat, bunga utang tinggi akan menahan ekspansi fiskal.”

PRAGA UTAMA | GHOIDA RAHMAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus