Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program JKP bisa dimanfaatkan peserta JHT BP Jamsostek dengan syarat tertentu.
Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 900 miliar untuk subsidi iuran program JKP tahun ini.
Program JKP dinilai tidak bersifat inklusif bagi semua golongan pekerja.
JAKARTA – Pemerintah dan Badan Pengelola Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BP Jamsostek) menunda peluncuran program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang seharusnya digelar kemarin. Penundaan ini merespons instruksi Presiden Joko Widodo untuk merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Acara peluncuran program JKP ditunda hingga waktu yang akan ditentukan kemudian,” ujar Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar-Lembaga BP Jamsostek, Dian Agung Senoaji, kepada Tempo, kemarin. Meski begitu, Dian mengatakan manfaat program JKP dapat diajukan sejak 1 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, JKP bisa dimanfaatkan oleh peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan telah memiliki masa iuran JHT paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan, serta telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut sebelum terjadi PHK. Dengan program ini, pekerja tak lagi perlu mencairkan saldo program JHT miliknya, sehingga peserta tetap memiliki tabungan pensiun yang dicairkan ketika memasuki usia 56 tahun.
“Saat ini BP Jamsostek telah membayarkan manfaat program JKP berupa uang tunai kepada sejumlah peserta yang memenuhi persyaratan,” kata Dian. Kebijakan ini berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Pekerja yang terkena dampak PHK melakukan aksi di Bandung, Jawa Barat, 2 September 2021. TEMPO/Prima mulia
Ihwal dampak instruksi revisi Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2022 terhadap mekanisme program JKP ke depan, menurut Dian, hal itu masih menunggu pembahasan lebih lanjut dari Kementerian Ketenagakerjaan selaku regulator.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, sebelumnya mengatakan program JKP bagi peserta yang terkena PHK terdiri atas tiga manfaat. Pertama, uang tunai yang diberikan paling lama enam bulan, yang terdiri dari 45 persen upah pada tiga bulan pertama dan 25 persen upah pada tiga bulan berikutnya.
Manfaat kedua adalah akses informasi pasar kerja untuk memberikan layanan informasi pasar kerja dan atau bimbingan jabatan. Sedangkan manfaat ketiga adalah pelatihan kerja yang dilakukan berbasis kompetensi, yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah, swasta, ataupun perusahaan yang terdaftar dan tersertifikasi di sistem ketenagakerjaan.
Dita berujar, modal awal serta iuran tersebut murni berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang alokasinya akan dievaluasi setiap tahun. “Perubahannya disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.” Dana program JKP itu selanjutnya akan dikelola dan dikembangkan oleh BP Jamsostek di bawah arahan Kementerian Keuangan.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata. TEMPO/Tony Hartawan
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, mengatakan setiap tahun pemerintah akan menyiapkan anggaran untuk program JKP. Pengalokasian dalam APBN telah dilakukan sejak tahun lalu. “Pemerintah pusat punya dua kontribusi, yaitu memberikan dana awal dan memberikan subsidi iuran. Untuk dana awal, sudah kami setorkan Rp 6 triliun pada awal tahun lalu,” ucap Isa. Sedangkan subsidi iuran yang dialokasikan pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp 900 miliar.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menilai program JKP yang disiapkan pemerintah untuk menggantikan mekanisme pencairan dana JHT tidak sepenuhnya tepat. Sebab, JKP tidak bersifat inklusif, di mana cakupannya hanya terbatas pada pekerja formal tetap dengan masa iuran tertentu yang terkena PHK.
“Bagaimana dengan pekerja informal, pekerja yang habis masa kontrak, dan pekerja yang mengundurkan diri? Mereka, kan, tidak bisa mengakses JKP,” katanya, kemarin. Dengan pertimbangan tersebut, Ombudsman meminta pemerintah mengkaji ulang mekanisme dan persyaratan JKP agar dapat memberikan dampak menyeluruh bagi semua kaum buruh dan pekerja.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek), Mirah Sumirat, menyatakan kehadiran JKP bukan berarti melazimkan perubahan aturan pencairan dana JHT. Program JKP juga dinilai merugikan karena tidak dapat diklaim oleh mereka yang mengundurkan diri atau pensiun dini. Padahal, berdasarkan fakta di lapangan, kata dia, banyak pekerja yang dipaksa mengundurkan diri oleh perusahaan. Akibatnya, pekerja tidak tercatat terkena PHK dan tak berhak mendapatkan JKP. “Pemerintah tidak peka dengan situasi ekonomi dan perburuhan karena fakta di atas kertas tidak semulus itu. Bahkan banyak advokasi yang kami lakukan untuk membantu mereka yang di-PHK dan belum mendapat pesangon,” ujar Mirah.
GHOIDA RAHMAH | CAESAR AKBAR
Baca Juga:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo