Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Varian Omicron mendominasi kasus Covid-19 secara global dengan tingkat kematian relatif rendah.
Riset menyebutkan fenomena infeksi Omicron bisa membentuk kekebalan bersama.
Indonesia rentan akan serangan Omicron karena cakupan vaksinasi yang masih rendah.
JAKARTA – Sejumlah riset terbaru mengenai Covid-19 berujung pada satu kesepakatan: varian Omicron dinilai berefek lebih ringan dan ada kemungkinan menjadi pembuka jalan akhir pandemi global Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan penelitian dari Afrika Selatan, Denmark, Inggris, hingga Amerika Serikat menunjukkan fakta tersebut. Omicron lebih mudah melangkahi sistem imun yang dibentuk berkat vaksin, tapi tak terlalu merusak paru-paru dibanding varian Delta—penyebab utama gelombang kedua yang mengakibatkan fasilitas kesehatan di Indonesia kolaps pada Juli lalu. Pergerakan virus corona itu terekam dari hasil riset pada pasien Covid-19 ataupun pada mencit. Angka keterisian rumah sakit relatif stabil dengan gejala gangguan kesehatan yang lebih ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar virologi dari Universitas Udayana, I Gusti Ngurah Mahardika, mengatakan, dari serangkaian penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa daya rusak Omicron lebih rendah dibanding Delta. Sejak pertama kali muncul dan dilaporkan bahwa mutasi genetiknya jauh lebih banyak dibanding Delta, hanya ada dua kemungkinan jalan varian Omicron: lebih ganas atau lebih ringan. "Ternyata data-data menunjukkan bahwa dia lebih ringan," kata Mahardika kepada Tempo, kemarin.
Sejumlah kendaraan antre pada layanan tanpa turun di Kaiser Permanente Baldwin Park Medical Centre untuk menjalani uji Covid-19 saat jumlah kasus varian Omicron melonjak di California, Amerika Serikat, 4 Januari 2022. REUTERS/Bing Guan
Omicron punya sekitar 50 titik mutasi dibanding Alfa, varian awal yang merebak di Wuhan pada akhir 2019. Satu titik mutasi di antaranya adalah di tempat virus melekat pada sel. Bandingkan, misalnya, dengan varian Delta yang bermutasi di 17 titik protein virus. Mutasi tersebut menyebabkan rendahnya daya rusak Omicron terhadap sel paru-paru.
Temuan ini dilaporkan peneliti gabungan University of Cambridge dan University of Tokyo. Periset menggunakan virus Omicron dan Delta, lalu mengetesnya ke sel darah dan sel paru-paru. Seluruh sampel darah berasal dari orang yang sudah divaksin dua kali.
Penelitian ini belum melalui penelaahan sejawat atau peer review. Namun datanya telah dipublikasikan untuk membantu periset lain memahami Omicron. Praktik yang sama berlaku di mayoritas penelitian Covid-19.
Penelitian lain oleh konsorsium Jepang dan Amerika menggunakan mencit mendapat hasil serupa. Paru-paru tikus yang ditulari Omicron menunjukkan kondisi yang tak seberapa rusak dibanding yang terinfeksi Delta. Meski mutasi Omicron menyebabkan virus lebih gampang melekat ke pintu masuk sel, sistem pernapasan atas dan bawah tak terlalu terpengaruh. Berat badannya pun tak berkurang meski sakit. "Temuan ini sejalan dengan temuan klinis awal pada manusia," demikian bunyi abstrak penelitian yang disebar pada pekan lalu. Riset yang menggunakan hamster oleh peneliti Badan Keamanan Kesehatan Inggris segendang sepenarian.
Omicron teridentifikasi pertama kali oleh ilmuwan Afrika Selatan pada November lalu. Dalam sebulan, varian teranyar virus corona ini mendominasi 60 persen kasus Covid-19 secara global.
Karena itu, pemerintah Indonesia meminta masyarakat mewaspadai Omicron. Virus corona jenis ini bisa mengancam kesehatan publik lewat tingkat persebaran tinggi yang dapat membuat rumah sakit kembali sempoyongan. Bahaya juga bisa datang akibat cakupan vaksinasi Indonesia yang baru sekitar 55 persen. "Pandemi belum selesai. Kita masih punya kewajiban menghindari kerumunan, memakai masker, dan mengurangi mobilitas," kata Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, Australia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan peringatan serupa soal dampak Omicron terhadap fasilitas kesehatan. "Jangan menganggap Omicron sebagai sesuatu yang ringan," kata Diah Saminarsih, penasihat Direktur Jenderal WHO.
Meski jumlah kasus di tingkat global meroket, angka keterisian rumah sakit lebih rendah ketimbang saat Delta merajalela. Amerika, misalnya, mencatatkan jumlah kasus aktif hingga satu juta orang per hari, tapi hanya 10 persen yang butuh perawatan. Sebagian besar bergejala ringan, seperti batuk, pilek, dan demam.
Di Indonesia, jumlah kasus Covid-19 kemarin meningkat dua kali lipat dibanding pada pekan lalu. Lebih dari 90 persen kasus Omicron dilaporkan terjadi pada mereka yang sudah divaksin dua kali. Seperti di negara lain, pasien Omicron dilaporkan hanya bergejala ringan. "Tidak ada yang membutuhkan unit perawatan intensif, ICU," kata Direktur Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Muhammad Syahril. Rumah sakit rujukan awal Covid-19 ini tengah merawat puluhan pasien dengan varian Omicron.
Kombinasi tingginya penularan dan rendahnya daya rusak merupakan kabar baik di tengah pandemi ini. "Simpel saja. Jumlah kasus melonjak dan Omicron ada di 60 persen pasien Covid-19 dunia, tapi angka kematian tetap rendah," kata Mahardika. Artinya, akan semakin banyak orang yang mendapat antibodi bentukan infeksi virus corona tanpa menderita gangguan kesehatan yang berarti. "Segudang data dan hasil riset itu menunjukkan bahwa Omicron dapat membawa kita ke akhir dari pandemi."
INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo