Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Terjal Agunan dari Hak Kekayaan Intelektual

Penggunaan hak kekayaan intelektual sebagai jaminan untuk memperoleh kredit dari lembaga keuangan sudah diterapkan di beberapa negara. Penerapannya penuh tantangan.

27 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Upaya mendorong pemanfaatan hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai obyek jaminan untuk memperoleh kredit perbankan tak hanya dilakukan Indonesia. Singapura, misalnya, sudah menerapkan praktik tersebut sejak 2016. Namun, hingga kini, langkah tersebut masih dibayangi beragam tantangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Singapura, sekitar enam tahun lalu, membentuk The Intellectual Property Office of Singapore (IPOS). Instansi ini bertugas meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap HKI hingga mendukung HKI sebagai agunan kredit ke perbankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merujuk pada laporan IPOS bertajuk “Unlocking IP-backed Financing: Singapore's Journey” yang diterbitkan pada 2021, dukungan tersebut salah satunya dipicu oleh tren pertumbuhan persediaan modal perusahaan di Singapura dalam bentuk aset tak berwujud. Kepemilikan aset itu tumbuh 30 persen selama periode 2013-2016, sedangkan aset berwujud cenderung stagnan. Selain itu, nilai aset tak berwujud terus naik. Pada 2021, nilainya mencapai Sin$ 74 triliun. IPOS memprediksi nilainya bisa naik hingga Sin$ 1 kuadriliun pada 2050.

Singapura mendukung pembiayaan melalui hak kekayaan intelektual antara lain lewat pembiayaan ekuitas, kredit, dan hibah pemerintah. Dalam konteks kredit, IPOS mencatat tantangannya adalah keterbatasan akses. “Banyak kreditor yang tidak familier dengan aset tidak berwujud atau HKI sebagai agunan,” demikian isi laporan tersebut.

Pekerja kreatif membuat konten video seorang pegiat media sosial di studio perusahaan rintisan digital Konten Porer, Malang, Jawa Timur, Selasa (5/10/2021). (FOTO : ANTARA/Ari Bowo Sucipto)

Kendala yang juga cukup besar adalah kurangnya kemampuan memvaluasi (menentukan nilai) aset tak berwujud. Saat ini sejumlah inisiatif untuk membantu valuasi terkait dengan HKI sudah berjalan. Lembaga yang menerbitkan panduan, antara lain, adalah Royal Institution of Chartered Surveyors dan Licensing Executives Society International.

Tantangan lainnya adalah minimnya informasi mengenai nilai HKI dalam laporan keuangan perusahaan. Selain itu, ada tantangan di pasar sekunder. IPOS menilai perlu ada proses dan sarana yang jelas untuk menjual kembali HKI jika debitor mengalami gagal bayar.

Selain di Singapura, praktik serupa sudah terbuka di negara lain. Dukungan untuk menjadikan HKI sebagai aset yang bisa digunakan sebagai agunan bahkan muncul sejak 14 tahun lalu. Dalam sidang United Nations Commission on International Trade Law ke-13 pada 2008, ditetapkan bahwa HKI bisa digunakan sebagai agunan untuk memperoleh kredit perbankan.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mencatat kekayaan intelektual yang diterima sebagai agunan umumnya adalah aset yang berupa royalti, seperti buku, film, dan lagu. Salah satu contohnya adalah musikus David Bowie yang memanfaatkan album musiknya untuk menerbitkan surat utang senilai US$ 55 juta pada 1997.

Pemerintah Indonesia baru saja menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2022 yang mengatur soal pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Selain produk seperti film dan lagu, pemerintah menyatakan konten-konten di YouTube berpotensi menjadi aset yang bisa diagunkan ke perbankan. Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun regulasi pendukungnya.

Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Untuk bisa menerapkan pembiayaan lewat HKI, Piter menyarankan agar Otoritas Jasa Keuangan mengembangkan pengertian dan cakupan kekayaan intelektual yang bisa dijadikan agunan hingga persyaratannya. “Saya kira OJK akan mendetailkan ketentuan ini agar bisa menjadi rujukan operasional,” ujarnya.

Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menyatakan tantangan yang dihadapi Singapura juga bakal dihadapi Indonesia. Menurut dia, penting untuk menyiapkan standardisasi valuasi terhadap HKI yang diajukan sebagai agunan, khususnya untuk konten-konten di aplikasi seperti YouTube. Selain itu, perlu dipastikan keberadaan pasar sekundernya telah siap.

Nailul juga menyoroti lemahnya perlindungan hak cipta di Indonesia. Semakin tinggi pembajakan, nilai ekonomis aset akan turun. “Bagaimana juga pengaturannya kalau di YouTube, misalnya, karena di sana lazim sekali praktik mengunggah ulang konten kreator lain, atau jika lagu seorang musikus dinyanyikan ulang oleh orang lain,” tutur Nailul.

VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus