Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pesan Kesetaraan Guyon Maton

Guyon Maton tampil setiap Senin malam di Pondok Pesantren Al-Hidayat, Magelang, membawakan tema kesetaraan gender. Sarana dakwah Nyi Shinto dan para santri.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Shinto Nabilah, yang biasa dipanggil Nyi Shinto, menggunakan drama komedi Guyon Maton untuk menyampaikan dakwah mengenai kesetaraan.

  • Para santri terlibat aktif dalam menyajikan Guyon Maton.

  • Pernah mendapat perisakan hingga ancaman.

SEBELUM stroke menghambat aktivitasnya, Shinto Nabilah aktif mengajari para santrinya menampilkan drama komedi untuk menyampaikan pesan kesetaraan gender. Drama tersebut dijuluki Guyon Maton. Hingga kini Guyon Maton masih disajikan saban Senin malam meski perempuan yang biasa disapa Nyai Shinto itu tak lagi aktif melatih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guyon berasal dari bahasa Jawa yang berarti bercanda dan maton berarti punya tujuan. Pentas Guyon Maton, menurut Nyi Shinto, pada intinya hendak mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang setara menurut Al-Quran. Guyon Maton dipentaskan sejak 1994.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada dramawan atau pelatih khusus untuk mengajari para santri berakting dengan baik dalam pementasan setiap pekan itu. Semula Shinto sendiri yang mengawasi dan melatih mereka. Namun saat ini para santri yang mempersiapkan semuanya secara mandiri.

Sebelum mentas, mereka menyiapkan kostum, naskah, dan dialog secara bersama-sama. Bunga Solikhah, 22 tahun, santri Pondok Pesantren Putri Al-Hidayat, mengatakan para penampil tak harus memiliki pengalaman mementaskan drama atau kabaret di sekolah sebelumnya. “Yang penting percaya diri,” katanya.

Bunga, yang menjadi santri di pondok pesantren ini sejak 2018, pernah mementaskan drama mengenai kenakalan remaja. Untuk menyiapkan pentas, ia memperbanyak asupan pengetahuan mengenai kesetaraan gender dari buku-buku terbitan Rahima—lembaga yang berfokus pada hak-hak perempuan berperspektif Islam—milik Nyi Shinto.

Menurut Bunga, tantangan membawakan drama Guyon Maton adalah memastikan pesan mengenai kesetaraan gender dapat diterima dengan baik oleh penonton. Tidak semua penonton punya pengetahuan yang matang tentang kesetaraan gender. “Sebagian dari mereka belum membaca buku-buku tentang keadilan gender,” tuturnya.

Nyi Shinto mengatakan Guyon Maton yang dipentaskan di aula pesantren biasanya bermuatan kehidupan keluarga, pernikahan, dan kehidupan perempuan sehari-hari. Menurut dia, drama mengajari para santri untuk saling membantu, bekerja sama, saling meringankan pekerjaan domestik, dan saling menghormati.

Berkat Guyon Maton yang pernah ia bawakan, Bunga makin akrab dengan isu kesetaraan gender. Ia makin suka membaca buku-buku bertema kesetaraan gender. Menurut Bunga, wawasannya makin terbuka dan ia menjadi lebih berani menyanggah santri laki-laki yang tidak sensitif gender.

Bunga bercerita, pernah satu ketika ia memprotes santri laki-laki yang menyatakan pandangannya bahwa seorang istri wajib hanya berada di rumah, melayani suami, dan tak boleh berkarier. “Patuh itu kepada Allah, bukan kepada suami yang tidak menghargai hak istri,” ujar Bunga.

Menyebarkan pesan kesetaraan gender bukan perkara mudah. Nyi Shinto kerap mendapat perisakan dari tokoh ataupun kiai yang menganggapnya kebablasan dalam menempatkan perempuan. Dalam sebuah kegiatan latihan dasar kader Fatayat NU, seorang kiai menuding Shinto mengajari perempuan untuk melawan laki-laki.

Shinto juga pernah hampir dilempari batu saat mengisi pengajian di sebuah acara khitanan. Ia menanggapi ancaman itu dengan tenang. Di podium, dia melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Para pemuda itu batal melemparinya. Mereka membubarkan diri dan meninggalkan batu di depan podium.

Dalam pelbagai forum, Shinto menekankan perempuan yang menjadi korban kekerasan untuk berani bicara. “Saya selalu resah bila perempuan menganggap dirinya makhluk nomor dua dan diremehkan,” katanya. Ia melanjutkan, “Perempuan bukan ingin mengungguli laki-laki, tapi setara sebagai manusia ciptaan Allah.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus