Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari rumah ke rumah, Kementerian Kesehatan mengambil sampel obat sirop yang pernah dikonsumsi pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut atau acute kidney injury.
Tiga zat kimia berbahaya, yakni ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE), ditemukan.
Temuan itu selaras dengan zat di tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut.
JAKARTA – Kementerian Kesehatan mengambil sampel obat sirop yang pernah dikonsumsi pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut atau acute kidney injury dari rumah ke rumah. Setelah diteliti dari obat yang ditelusuri itu, tiga zat kimia, yakni ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE), ditemukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temuan itu selaras dengan zat di tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut, di mana terdeteksi memiliki tiga zat kimia berbahaya yang sama. ”Seharusnya tidak ada atau sangat sedikit kadarnya di obat-obatan sirop tersebut,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangannya pada Kamis, 20 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga zat kimia ini merupakan impurities atau kotoran sisa dari zat kimia tidak berbahaya polyethylene glycol, yang kerap dipakai untuk penambah kelarutan di banyak obat-obatan jenis sirop. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah melakukan sampling terhadap 39 bets dari 26 obat sirop yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG berdasarkan kriteria sampling dan pengujian.
Direktur Utama RSCM, dokter Lies Dina Liastuti (kedua dari kiri), dan perwakilan Kementerian Kesehatan menjelaskan kasus gagal ginjal akut pada anak saat konferensi pers di RSCM Jakarta, 20 Oktober 2022. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Temuan terbaru BPOM menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada lima produk. Pertama, cemaran EG terjadi pada obat penurun demam merek Termorex Sirup produksi PT Konimex. Obat kemasan dus dengan botol plastik 60 mililiter itu bernomor izin edar DBL7813003537A1.
Kedua, obat batuk dan flu merek Flurin DMP Sirup yang diproduksi PT Yarindo Farmatama. Kemasan obat itu menggunakan dus dengan botol plastik 60 ml bernomor izin edar DTL0332708637A1. Ketiga, obat batuk dan flu merek Unibebi Cough Sirup yang diproduksi Universal Pharmaceutical Industries. Obat kemasan dus dengan botol plastik 60 ml itu bernomor izin edar DTL7226303037A1.
Keempat, cemaran EG terjadi pada obat demam merek Unibebi Demam Sirup yang diproduksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL8726301237A1. Obat ini dijual dengan kemasan dus yang di dalamnya terdapat botol ukuran 60 ml. Kelima, obat demam merek Unibebi Demam Drops produksi Universal Pharmaceutical Industries bernomor izin edar DBL1926303336A1, kemasan dus dengan botol 15 ml.
Sesuai dengan Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau tolerable daily intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari. Namun hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan obat sirop tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut. Sebab, selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut, seperti infeksi virus, bakteri leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca-Covid-19.
Imbauan Tak Meresepkan Obat Sirop untuk Anak
Terhadap hasil uji lima obat sirop dengan kandungan EG yang melebihi ambang batas aman tersebut, BPOM menindaklanjuti dengan memerintahkan industri farmasi pemilik izin edar menarik produk obat sirop dari peredaran di seluruh Indonesia. BPOM juga meminta pemusnahan seluruh bets produk. Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain pedagang besar farmasi, instalasi farmasi pemerintah, apotek, instalasi farmasi, rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.
BPOM juga memerintahkan semua industri farmasi yang memiliki obat sirop yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG untuk melaporkan hasil pengujian mandiri. Industri farmasi pun dapat melakukan upaya lain, seperti mengganti formula obat dan/atau bahan baku jika diperlukan.
Merespons hal tersebut, Kementerian Kesehatan masih terus menerapkan imbauan agar tenaga kesehatan tak meresepkan obat sirop untuk anak. "Kan masih terus diteliti (faktor) lainnya," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi.
Langkah konservatif melarang sementara penggunaan obat-obatan sirop itu dilakukan lantaran jumlah kasus gagal ginjal itu telah mencapai 206 di 20 provinsi yang melaporkan hingga 18 Oktober. Sebanyak 99 pasien atau 48 persen di antaranya meninggal. Bahkan angka kematian pasien yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional mencapai hampir 65 persen.
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menghargai kebijakan pemerintah yang mengimbau penggunaan obat sirop untuk anak. Namun dalam kondisi tertentu, berdasarkan pertimbangan antara risiko dan kemanfaatannya dan diputuskan oleh dokter untuk tetap menggunakan obat dalam bentuk sediaan sirop. "Maka apoteker perlu melakukan pengawasan bersama dokter terkait keamanan penggunaan obat," kata Ketua Umum IAI, Noffendri, dalam keterangan tertulis, kemarin.
IAI menyatakan senyawa etilena glikol dan dietilen glikol tidak digunakan dalam formulasi obat. Namun keberadaannya dimungkinkan dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirop. Dengan batas nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol, serta 0,25 persen pada polietilena glikol. Batas nilai toleransi tersebut tidak menimbulkan efek yang merugikan.
Daftar 15 Merek Obat
Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, mengatakan imbauan Kementerian Kesehatan menghebohkan masyarakat. Dia melihat tenaga medis kesulitan dalam memberikan pelayanan saat larangan pemberian obat sirop pada anak dilakukan. "Harus ada pertimbangan manfaat dan risiko," ujar Zullies. Menurut dia, obat yang selama ini sudah digunakan sejak lama dan ampuh mengobati bisa dilanjutkan penggunaannya.
Dia menjelaskan, bahan pelarut propylene glycol dan gliserin kerap digunakan untuk melarutkan parasetamol. Dalam bahan pelarutnya itu mengandung cemaran ethylene glycol atau diethylene glycol, tapi biasanya dalam batas tertentu atau sedikit dan tidak berbahaya. Namun, ketika ada EG dan DG dalam jumlah yang besar, memang itu bisa menjadi bahaya.
Karena itu, kata Zullies, BPOM perlu melakukan sampling penelitian untuk memastikan produk-produk mana yang tidak memenuhi syarat ambang batas kandungan EG dan DG. Adapun obat lain yang meski ada kandungan EG dan DG di bawah ambang batas, menurut dia, hal itu tidak perlu dipermasalahkan.
Belakangan ini beredar di media sosial dan grup WhatApp ihwal daftar 15 merek obat yang disebut-sebut diidentifikasi mengandung bahan berbahaya. Salah satunya obat sirop penurun demam anak atau parasetamol yang kerap diberikan puskesmas kepada pasien di Jakarta. Obat sirop itu biasanya diberikan setelah anak diimunisasi difteri, pertusis, dan tetanus atau DPT yang dimulai dari usia 2 bulan. Anak yang diberikan imunisasi DPT di puskesmas beberapa jam kemudian atau esok harinya ada kemungkinan mengalami demam.
BPOM membantah daftar 15 merek tersebut berasal dari lembaganya. "Data list 15 dari 18 produk itu bukan informasi dari BPOM dan bukan hasil uji di BPOM," dikutip dari penyataan BPOM, kemarin.
Bantahan juga dikatakan juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril. Dia menegaskan, lembaganya tidak pernah mengeluarkan daftar yang memuat nama obat dan identifikasi kandungan senyawanya sebagaimana yang saat ini banyak beredar. "Dapat kami pastikan bahwa informasi tersebut tidak benar," ujarnya.
Gejala Awal Terinfeksi
Kementerian Kesehatan bersama BPOM, ahli epidemiologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), farmakolog, dan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri saat ini masih melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut.
Sepanjang pekan lalu, IDAI terus mengimbau para orang tua untuk mewaspadai gangguan ginjal akut pada anak yang penyebabnya masih misterius (unknown origin). Penyakit ini disebut misterius lantaran punya gejala awal yang berbeda dengan lazimnya serangan acute kidney injury.
Gangguan ginjal akut semestinya ada penyebabnya. Hal yang biasanya terjadi, gangguan ginjal akut merupakan efek dari kekurangan atau kehilangan cairan dalam waktu singkat, seperti akibat dehidrasi pada anak yang mengalami diare. Gangguan ginjal akut juga bisa terjadi akibat perdarahan hebat atau infeksi berat. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan cairan yang masuk ke ginjal kurang sehingga memicu cedera akut.
Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI, Eka Laksmi Hidayati, mengatakan tim IDAI tak menemukan penyebab-penyebab tersebut pada sejumlah anak yang mengalami gangguan ginjal akut belakangan ini. Hasil wawancara dengan orang tua pasien tak menemukan penyebab yang jelas. Kebanyakan serangan gangguan ginjal akut pada anak kali ini malah diawali gejala infeksi pernapasan dan pencernaan, seperti batuk, pilek, diare, atau muntah.
Secara teoretis, gejala infeksi tersebut tak tergolong berat dan bukan tipikal yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Namun, dalam beberapa hari saja, tiba-tiba pasien mengalami penurunan jumlah urine secara signifikan, bahkan sebagian di antaranya tak keluar sama sekali. "Itulah yang membuat kami heran," kata Eka.
Pengamat kesehatan dan epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan kasus gangguan ginjal ini bukan kejadian pertama karena pernah terjadi di Gambia, India, dan Bangladesh. Semua kasus di negara-negara tersebut disebabkan anak mengkonsumsi obat sirop yang dalam pembuatannya menggunakan ethylene glycol. RSCM juga memiliki kecurigaan ke sana karena obat pasien gangguan ginjal akut anak yang dirawat di RSCM hampir semua berisi ethylene glycol.
Menurut Pandu, ethylene glycol tak semestinya ada dalam obat-obatan itu karena seharusnya yang dipakai adalah zat polyethylene glycol untuk melarutkan obat. "Paling aman adalah jenis polyethylene glycol, tapi mahal. Yang lebih murah ethylene glycol. Padahal ethylene glycol tidak boleh," ujar Pandu.
Namun, kata dia, saat ini BPOM masih memperbolehkan adanya kandungan EG dalam jumlah yang sedikit. Menurut dia, ethylene glycol sudah lama diketahui beracun terhadap ginjal. Dia menilai keputusan Kementerian Kesehatan tepat dengan mengimbau tenaga kesehatan untuk tidak meresepkan obat sirop anak. Namun Kementerian Kesehatan tidak bisa mencabut dan melarang obat. Hal itu bisa hanya dilakukan BPOM.
Kasus gangguan ginjal akut pada anak memang lebih dulu heboh di Gambia, Afrika Barat, karena menyebabkan 70 anak meninggal sejak Agustus lalu. Pada 5 Oktober lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan atas empat obat sirop batuk dan pilek yang mengandung parasetamol, yaitu Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Obat buatan Maiden Pharmaceuticals, perusahaan farmasi berbasis di New Delhi, India, itu disinyalir berhubungan dengan kematian tersebut.
Bahan berbahaya yang mengkontaminasi empat merek obat di Gambia tersebut ditengarai berupa dietilen glikol dan/atau etilena glikol. Senyawa organik ini tidak berwarna, tidak berbau, berkonsistensi kental seperti sirop, serta memiliki rasa manis. Biasanya bahan ini juga kerap dipakai sebagai antibeku minyak rem, kosmetik, dan pelumas. Etilena glikol juga merupakan depresan sistem saraf pusat (SSP) yang menghasilkan efek akut mirip etanol.
Pandu berpendapat BPOM harus segera merespons kegawatan yang tengah terjadi. BPOM harus mencari produk dari kasus yang sudah ada untuk diperiksa obat dan segera diumumkan hasilnya. "Sekarang kita dalam masa emergency. Yang penting respons menghadapinya," ujar Pandu.
Pengawasan produksi obat oleh BPOM saat ini, Pandu menilai, tidak serius. Saat ini pengawasan kualitas dan keamanan dari produk obat diserahkan pada industri obat. Dia berpendapat bahwa seharusnya yang mengawasi hal tersebut adalah BPOM. Menurut dia, BPOM harus secara berkala memeriksa apakah produk-produk di Indonesia mengandung zat-zat yang menimbulkan bahaya atau tidak. "Kalau pabrik obat yang memeriksa, baik-baik aja, bagus, gitu kan," kata dia.
Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito, belum merespons saat ditanyai mengenai hal tersebut.
Perlindungan Konsumen dan Hak Anak
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, menyoroti penting segera mencari tahu dengan jelas apa sebenarnya penyebab kejadian ini. Kalau penyebabnya sudah jelas, penanganannya akan lebih tepat. "Perlu ditangani dengan maksimal, all out, apa pun istilahnya," ujar dia.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing, mendesak pengungkapan secara terbuka nama obat-obatan yang mengandung bahan berbahaya perihal kasus gagal ginjal akut. KKI mendesak Kementerian Kesehatan segera mempublikasi nama-nama obat sirop yang mengandung bahan berbahaya ataupun yang tidak demi kenyamanan dan keamanan kepada konsumen. “Terlebih obat-obatan tersebut banyak beredar dan dijual bebas,” ujar David.
Dia menegaskan, pentingnya pengungkapan nama-nama obat tersebut karena hak konsumen. "Hal ini perlu agar tidak meresahkan anak dan orang tua si anak yang merupakan konsumen pengguna obat," ujarnya.
Perwakilan dari Forum Advokat Peduli Anak (FAPA), Maria Ardianingtyas, menekankan penting pengungkapan ini agar tidak ada hak anak terabaikan akibat kebijakan pembatasan obat sirop yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya penyakit gagal ginjal akut anak. FAPA berharap Kementerian Kesehatan dapat terus berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Ikatan Dokter Anak Indonesia. Harapan dari koordinasi tersebut adalah agar orang tua terus mendapatkan informasi resmi dari BPOM mengenai obat sirop yang berpotensi menjadi penyebab gagal ginjal akut anak.
HENDARTYO HANGGI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo