Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“ASTAGFIRULLAH!” tulis Sukarno ketika menutup sepucuk suratnya kepada Ahmad Hassan, tokoh Persatuan Islam atau Persis, atas segala hal yang dirasanya terbelakang dan tidak sesuai dengan modernisme Islam. Sukarno kemudian meringkas itu semua sebagai “Hadramautisme”, istilah yang menjadi populer sejak 1935.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sukarno pada dasarnya sedang mempersoalkan pengeramatan para sayid atau mereka yang mengaku keturunan Nabi Muhammad dari kalangan Hadrami, orang-orang dari Hadramaut, sebagai elite sosial religius tradisional. Selain menyuburkan konservatisme dan fanatisme, pengeramatan itu menumbuhkan “aristokrasi Islam” dan membunuh semangat kesetaraan dalam Islam, yang merendahkan pribumi. Lebih jauh ia juga memasuki pertentangan antara Hadrami “keturunan asli” dan “kelahiran Hindia” mengenai wataniah atau identitas kebangsaan. Ada satu kubu yang mendukung kebangsaan Hadrami dan kubu lain mendukung kebangsaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebangsaan Indonesia adalah isu baru di antara Hadrami, seperti halnya terjadi di kalangan orang Cina di Hindia pada masa tersebut. Dalam fase nahdah atau semangat kemajuan memasuki kemodernan di awal abad ke-20, isu ini memicu perdebatan soal identitas dan wataniah kaum Hadrami sejak 1915 dan dianggap selesai pada 1920 dengan disepakatinya Hadramaut sebagai tanah air yang diterima secara luas. Namun identitas Hadrami—makna menjadi Hadrami dan siapa yang berhak atau tidak berhak menyandang nama itu—masih diperdebatkan. Sejak awal, pertentangan ini bukanlah soal bahwa di atas segala-galanya mereka adalah bangsa Hadrami, melainkan mengenai sistem stratifikasi sosial Hadrami, terutama status tradisional sayid, yang juga disebut habib.
Pada awal fase nahdah, ketegangan sebenarnya mulai tumbuh dan menjadi bibit gerakan reformasi di antara orang-orang non-sayid karena kebiasaan memuja-muja sayid yang makin menggila. Bukan hanya pemujaan kepada yang hidup, tapi juga yang telah meninggal. Dalam istilah Henri Chambert-Loir, terjadi proses “the potent dead”, pengeramatan dan pemuliaan kepada yang sudah mati dengan pengharapan tetap hadir memberi berkah. Fenomena ini telah memunculkan daftar panjang heilig graf atau makam keramat juga ekonomi ziarah. Hal terakhir ini bahkan menimbulkan keributan besar di makam Husein bin Abu Bakar di Luar Batang, Jakarta Utara, ketika orang-orang berebut keuntungan dari para peziarah.
Nahdah yang maujud dalam adopsi ide-ide dan institusi pendidikan atau pers itu memunculkan sejumlah tokoh. Pada 1901, berdiri Jamiat Kheir, perkumpulan kaum Hadrami yang mendirikan madrasah modern. Ahmad Surkati adalah salah satu tokoh sentralnya yang menguatkan dorongan reformasi pada 1913. Ia dari pihak non-sayid yang mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan kebiasaan kaum Hadrami, bahwa tidak ada larangan resmi untuk menikahkan anak perempuan dari keturunan sayid dengan laki-laki non-sayid.
Surkati menegaskan, tidak ada manusia yang menguasai manusia lain hanya karena darah keturunannya. Manusia seharusnya dihargai karena kebaikannya, bukan siapa yang melahirkannya. Surkati menyatakan, “Jika kebaikan berasal dari seorang nabi, kita semuanya harus berakhlak baik. Sebab, seluruh umat manusia adalah keturunan Nabi Adam dan Nabi Nuh.”
Konflik ini membelah orang Hadrami dalam perkubuan Alawi dan Irsyadi. Irsyadi mengacu pada anggota Al-Irsyad Al-Islamiyyah, perkumpulan Arab yang besar jumlah anggota dan sumbangan pemikirannya. Al-Irsyad, yang berorientasi pada pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang reformis di Mesir, juga mempersoalkan berbagai praktik bidah dan kegiatan tercela lain di kalangan Hadrami, seperti tradisi mencium tangan sayid dan penggunaan gelar sayid itu sendiri. Bagi kelompok Alawi, stratifikasi sosial dan tradisi itu adalah upaya memelihara jati diri Hadrami. Meninggalkan tradisi itu sama artinya dengan mengkhianati kehadramian.
Kelompok Alawi memandang Surkati dan Al-Irsyad sebagai musuh sayid dan bahkan musuh Islam. Ia juga dinyatakan tidak berhak bersuara mengenai tradisi Hadrami. Ini kemudian menjadi keputusan resmi yang diterbitkan kelompok Alawi pada 1931. Dalam hal ini, para sayid telah bertindak sebagai “hakim agung”.
Demi menjaga keagungan sayid dalam visi kehadramian, kelompok Alawi membentuk Rabithah Alawiyah pada 1928. Menurut anggaran dasarnya, keanggotaannya terbuka untuk semua orang keturunan Arab, tapi pada praktiknya anggotanya hanya keturunan Alawi. Dari 12 pengurus utama, hanya satu yang bukan sayid dan hal serupa terjadi di semua cabang.
Menurut pamflet pertama Rabithah Alawiyah yang terbit pada 1928, semua itu dilakukan untuk menjamin posisi mereka sebagai penjaga perbedaan kelas yang mentradisi. Dengan kata lain, menjaga keberadaan kelas sayid adalah bagian dari pemeliharaan tradisi Hadrami. Organisasi itu ada untuk memuliakan mereka, menghormati mereka, dan mendukung posisi mereka. Reformasi Islam dalam pandangan mereka haruslah di bawah bimbingan dan kepemimpinan sayid.
Al-Irsyad menilai sayid adalah penyusup dalam tradisi yang sudah ada karena mereka adalah pendatang. Kedatangan pertama mereka tercatat sekitar 400 tahun setelah hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Al-Irsyad mengakui bahwa para sayid adalah bagian integral dari masyarakat Hadrami tapi menolak perlakuan berbeda, pengeramatan yang berlebihan, dan pemurnian kehadramian terhadap para sayid. Dalam kongres Al-Irsyad di Batavia pada 1931, keluar resolusi bahwa sayid adalah istilah umum seperti “tuan” dalam bahasa Melayu, bukan istilah yang menunjukkan keturunan Nabi. Umar Hubeis, tokoh Al-Irsyad Surabaya, menilai kelas seseorang tidak ditentukan oleh asal keturunannya, melainkan keajekan pengetahuan. Egalitarianisme inilah yang merupakan tradisi masyarakat Hadrami yang asli dan menjadi modal budaya Hadrami yang modern serta memutus warisan kolonial yang, menurut Hamid Algadri, muncul dalam bentuk wijkenstelsel dan passenstelsel—aturan segregasi sosial yang memisahkan mereka dari proses asimilasi dengan pribumi.
Pandangan Hubeis itu menggemakan gagasan kemajuan dari RA Kartini dan Abdul Rivai tentang melawan “kebangsawanan asal” menjadi “kebangsawanan pikiran” dan pada akhirnya membuang kata “kebangsawanan” dan tinggal “pikiran”, yang menjadi atmosfer gerakan emansipasi sosial sebagai dasar pergerakan nasional Indonesia. Bagaimana mungkin emansipasi sosial dan kebangsaan yang modern dapat dibangun tanpa egalitarianisme?
Apalagi mereka bukan di Hadramaut, melainkan di Hindia. Dan pada masa itu suatu gerakan modern yang merumuskan suatu bangsa yang baru sebagai tandingan dari tawaran kolonial dan bayangan dunia lama tengah berjalan. Seperti orang Cina, pada akhirnya identitas Hadrami modern ditemukan dengan menyatakan bahwa “Hadramaut adalah tanah nenek moyang dan Indonesia adalah tanah air”. Hal itu dideklarasikan pada 4 Oktober 1934 oleh sejumlah pemuda Hadrami dalam Konferensi Peranakan Arab di Semarang. Mereka juga membentuk organisasi baru, Partai Arab Indonesia (PAI).
Visi PAI sebangun dengan pandangan tokoh utamanya, Abdurrahman Baswedan, muwalad atau peranakan Arab yang tidak termasuk watan Hadrami. Dengan meminjam wacana orang Tionghoa di Hindia, ia menyebut muwalad punya lebih banyak persamaan dengan orang Indonesia ketimbang Hadrami. Ia juga terkoneksi dengan tokoh Cina peranakan yang semangat keindonesiaannya kuat dan berinteraksi secara intensif dengan tokoh pergerakan nasional seperti Dr Soetomo dan Mas Mansoer dari Muhammadiyah.
Latar sejarah ini membantu menjelaskan bahwa mereka adalah pemuda Indonesia peranakan Arab yang, seperti para pemuda yang berkongres pada 1928, mengaku bertanah air Indonesia. Melalui PAI, mereka juga berjanji terlibat dalam pergerakan nasionalisme menuju Indonesia merdeka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hadrami Mencari Nasionalisme"