Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Banjir Jakarta di kawasan Pejaten hingga Kampung Melayu yang terjadi pada awal pekan ini disebabkan karena meluapnya Sungai Ciliwung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal sejak era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok dilakukan normalisasi atau pembuatan tanggul beton di sepanjang sungai. Apa yang menjadi penyebab banjir masih terjadi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Normalisasi Sungai Ciliwung hingga akhir Desember 2017 baru berjalan 60 persen saja,” kata Kepala Dinas Sumber Daya Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Teguh Hendarwan saat ditemui di Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Rabu 7 Januari 2018.
Menurut Teguh, kendala utama dalam proses normalisasi Ciliwung adalah pembebasan lahan yang disebabkan oleh tiga hal. Yakni administrasi, relokasi, dan gugatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat.
"Pembebasan lahan tidak semudah yang kami bayangkan, banyak proses yang harus kami tempuh," ujarnya.
Teguh menjelaskan, normalisasi baru akan berjalan kembali setelah masalah gugatan hukum di beberapa tempat selesai dilakukan. Salah satu wilayah di bantaran Sungai Ciliwung yang masih terkendala hukum adalah kawasan Bidara Cina.
Teguh menjelaskan, kendala relokasi warga juga masih menjadi pertanyaan. Menurutnya, rumah susun yang ada saat ini di sekitar Jakarta masih dipertanyakan kapasitasnya, memadai atau tidak.
Sejak 2017, Pemprov DKI memfokuskan normalisasi di tiga sungai, yakni Ciliwung, Sunter, dan Pesanggrahan. Sehingga dapat dipastikan akan ada banyak warga relokasi yang memerlukan rumah susun.
Namun, meskipun terkendala banyak hal, Teguh memastikan, proyek normalisasi untuk atasi banjir Jakarta yang telah dianggarkan dana sebesar Rp 1,8 triliun pada 2018 ini akan terus berlanjut.