Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daleta gerojemaju daburkei
Taisa miosewao oli dia watu koteklema
(Terima kasih karena telah memberikan rezeki bagi warga Lamalera yang telah menangkap paus
Sekarang mari kamu semua datang ke batu koteklema ini)
Agustinus Olak Fujon, 42 tahun, generasi ketujuh dalam suku Fujon, melantunkan syair serupa mantra itu sambil berdiri di atas batu paus (wato koteklema). Batu besar yang menyerupai paus itu tergeletak di kaki bukit Labalekan, sekitar tiga kilometer dari Kampung Lamalera di ujung selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapainya memakan waktu sekitar dua jam berjalan kaki dari kampung di pinggir pantai.
Batu itu hitam. Panjangnya sekitar 10 meter, lebar 2 meter, dan tinggi 1,5 meter. Warga Lamalera percaya bahwa batu itu tuan tanah desa yang akan mendatangkan paus. Menurut legenda, dulu ada seekor kerbau yang turun gunung menuju laut untuk menjadi paus di waktu malam. Namun sang kerbau kesiangan dan tepergok matahari, sehingga dirinya berubah menjadi batu paus di tengah perjalanan.
Dari sinilah ritual adat penangkapan paus dimulai pada Minggu, 30 Oktober lalu. Tempat itu diberi sesajen, seperti membakar tembakau, menuang tuak, menabur beras merah, dan memotong seekor ayam. Ritual dipimpin Agustinus Olak yang didampingi adik dan anaknya, yakni Yeremias Bala, Arnoldus Gesi, Bram Lango Wajon, Gaspar Boli Wajon, dan Marsianus Dua Wajon. Sebagian memegang tombak dan yang lain menenteng gong. Kepala mereka bermahkotakan dedaunan. Mereka hanya mengenakan kaus singlet dan kain sarung (novi).
Agustinus memulai upacara dengan memotong ayam sambil membacakan doa-doa tertentu. Darah ayam itu lalu digosok mengelilingi batu paus. Setelah itu, ia menaburkan beras merah dan tuak mengelilingi batu. Kemudian isi perut ayam tadi dikeluarkan dan ayam diserahkan kepada salah satu anggota ritual untuk dibersihkan. Isi perut ayam ditusuk dengan sebuah kayu kemudian dibakar, karena diyakini akan menjadi makanan bagi nenek moyang mereka. Adapun badan ayam dibakar dan sisa tuak dalam bambu disuguhkan kepada semua peserta ritual.
Di atas batu tersebut ditaruh sebuah gong yang ditutupi daun. Setelah makan bersama di atas batu tersebut, Agustinus kemudian menaiki batu bersama seorang pembawa gong. Mereka menghadap ke puncak Gunung Labalekan untuk memanggil leluhur di gunung dan roh paus dengan syair-syair tertentu agar leluhur bisa memberikan rezeki kepada warga Lamalera.
Perjalanan dilanjutkan menuju laut. Satu per satu peserta ritual menuruni Gunung Labalekan. Sepanjang perjalanan, mereka dilarang menoleh ke belakang. Syair-syair adat terus dirapalkan Agustinus dan disahut yang lainnya. Sebelum sampai di laut, mereka berhenti di satu dari empat tempat yang seharusnya disinggahi, yakni rumah adat suku Fujon di Dusun Lamanu, Desa Lamalera A (Lamalera Atas). Selanjutnya, mereka menceburkan diri ke laut dan melepaskan seluruh daun yang dikenakan saat ritual di gunung. ”Fungsi ritus semacam ini untuk menunjukkan kedekatan dan ikatan spiritual orang Lamalera dengan paus yang begitu tinggi, begitu melekat,” kata Bona Beding, lelaki asli Lamalera.
Menurut Bona, sebelum pergi melaut, mereka ke puncak gunung untuk makan bersama dari alam. Lalu mereka berenang di laut dan semua atribut yang mereka pakai mulai diapungkan bersama badan mereka waktu berenang. ”Itu perlambang penyatuan darat dan laut. Mereka membawa rezeki dari darat ke laut, tapi nanti mereka akan mengambil dari laut untuk dibawa ke darat, begitu seterusnya,” kata Bona.
Upacara adat itu dilakukan dari pagi hingga siang dan dikenal dengan sebutan iyegerek. Ritual ini dimulai dari gunung, karena masyarakat Lamalera meyakini paus sesungguhnya berasal dari gunung. Paus adalah perwujudan dari nenek moyang yang memberikan diri mereka sebagai makanan.
Agustinus Olak menilai, walaupun upacara adat ini tidak lengkap, ia yakin paus akan datang dan memberikan rezeki kepada warga Lamalera dalam waktu dekat ini. Menurut dia, upacara ini seharusnya dilakukan dalam lima tahap. Pertama, ranggawak, yang digelar di puncak Gunung Labalekan. Kedua, itok, yang dilakukan pada batu serupa kerbau yang memiliki dua lubang hidung. Ritual ini hanya memasukkan daun ke lubang hidung kerbau itu lalu ditarik. Daun itu kemudian dibawa ke laut.
Ketiga, paulera (batu berdiri), yang bersumber dari kisah seorang anak yang berubah jadi batu saat air bah melanda daerah itu. Batu itu tidak boleh tertidur, jika tertidur harus dibangunkan. Keempat, enanjinoa, yakni badan paus. Kelima, mengunjungi kohelerek (rumah adat).
Setelah ritual wato koteklema digelar, wisatawan lokal dan asing yang hadir berharap pembukaan Festival Baleo 2010 akan mendatangkan paus sehingga bukan hanya atraksi, melainkan langsung praktek di laut lepas. ”Kami berharap paus melintas sehingga bisa melihat langsung atraksi yang sebenarnya dari para lamafa dan matros saat menangkap paus,” kata Arnol.
Ritual itu pun merupakan tanda dimulainya Festival Baleo tahun ini, yang diawali dengan atraksi penangkapan paus oleh para lamava yang diikuti sekitar 20 pledang. Ada pula lomba dayung antarsiswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga orang dewasa.
Malam harinya panitia menggelar lomba tari daerah yang diikuti tujuh kecamatan di Kabupaten Lembata. Ada pula panggung hiburan, yang menghadirkan artis Happy Salma dan Ivan Nestorman. Acara pun ditutup dengan pelepasan lampion dan pemasangan obor oleh anak-anak Lamalera di tepi pantai. Obor pun menyala dan memberikan tanda bahwa tradisi ini akan terus hidup di Lamalera.
Kurniawan, Pramono, Yohanes Seo (Lamalera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo