Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOCAH dua tahun itu langsung menangis saat didatangi petugas kesehatan. Padahal, sebelumnya, ia sedang asyik menunggang mobil-mobilan di teras rumahnya di Perum Sosial, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sambil tertawa-tawa. Tariyah, ibu sang bocah, tergopoh-gopoh datang menenangkan anak bungsunya itu.
Ia menggendong Iksan-nama bocah itu-ke ruang depan yang sesak dengan perabotan sederhana. Ada pesawat televisi tabung 21 inci, mesin penanak nasi, bufet, rak sepatu penuh tumpukan baju, dan rak kayu seadanya yang berisi peralatan makan. Belum lagi tangis anaknya mereda, suara tangis lain datang dari kamar depan. "Ini anak pertama dan cucu saya," kata Tariyah, menunjuk mereka, Ahad pekan lalu.
Di rumah berukuran 4 x 6 meter tersebut, keluarga Tariyah tak tinggal sendiri. Mereka juga mesti menampung anak pertama, cucu, dan menantunya yang belum memiliki rumah. Mereka berbagi ruang: keluarga anak pertamanya tidur di kamar depan; Tariyah, suami, dan si bungsu, yang merupakan anak keempat, tinggal di kamar belakang. Sedangkananak kedua yang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan anak ketiga yang masih sekolah dasar tidur di ruang tamu tanpa alas kasur.
Februari lalu, rumah ini disambangi Menteri Kesehatan Nila Moeloek karena kondisi anak bungsu Tariyah yang bergizi buruk dan sangat pendek (severe stunting). Di usianya yang sekarang, bobot Iksan baru 8 kilogram, kurang sekitar 4 kilogram dari bobot normal. Tingginya 76 sentimeter, masih kurang sekitar 10 sentimeter dari tinggi ideal. Perkembangannya juga terlambat. Iksan masih belajar jalan dan belum banyak bicara. "Baru bisa 'mak', 'pak'," ucap Tariyah.
Bukan hanya Iksan yang kondisinya memprihatinkan. Sekitar 4 kilometer dari rumahnya, Tawang tergolek di atas kasur. Tubuh bocah 2 tahun 6 bulan itu sangat kurus. Tulang-tulangnya menonjol. Tingginya tak beda dari anak Tariyah. Tapi beratnya masih kalah, 6,8 kilogram. Di usianya yang sekarang, warga Kelurahan Kramat Sari, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, itu bahkan belum sanggup mengangkat leher. "Tadinya sudah bisa, tapi setelah jatuh dari tempat tidur waktu umurnya 9 bulan jadi begini," kata Sri Sayekti, ibu Tawang.
Kondisi Tawang diperparah oleh penyakit tuberkulosis paru-paru. Bobot tubuhnya tak pernah naik banyak. "Kalau ditimbang, paling naik 2 ons," ujar Sayekti.
Ribuan kilometer dari rumah mereka, di Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, salah satu anak yang berusia 1 tahun6 bulan mesti digendong ke mana-mana karena belum bisa berjalan.Petugas kesehatan memastikan ia mengalami keterlambatan pertumbuhan akibat kekurangan gizi. "Ada dua anak lain yang masih dalam penanganan gizi buruk," kata petugas gizi pos pelayanan terpadu Anggrek, Desa Tulehu, Hayati.
Ada banyak penyebab stunting dan gizi buruk. Menurut Direktur Gizi Masyarakat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy, beda daerah beda penyebabnya. Saat ini Kementerian Kesehatan masih memberikan pekerjaan rumah kepada setiap daerah untuk mencari tahu apa sumber masalahnya. "Penyebabnya harus terjawab," tuturnya.
Di Kota Pekalongan, selain karena kemiskinan, menurut Kepala Dinas Kesehatan Slamet Budiyanto, masyarakat masih sangat percaya pada mitos. Masa hamil dan menyusui dianggap sebagai kondisi khusus yang menyebabkan mereka harus bertirakat dengan hanya mengkonsumsi nasi. "Mereka tak boleh makan ikan dan daging. Maka kami membentuk kelas ibu hamil agar mereka mengerti," ujarnya.
Sedangkan di Maluku Tengah, penyebabnya hampir sama dengan banyak daerah lain, yakni pola asuh. Kemiskinan membuat kedua orang tua anak bekerja, sedangkan anak dititipkan kepada nenek yang tak begitu mengerti kebutuhan nutrisi anak. "Makanan dan gizi anak tidak diperhatikan," kata Hayati.
STUNTING dan kekurangan gizi menjadi masalah sejak dulu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan Indonesia masuk tingkatan sedang untuk masalah kurang gizi dan kronis untuk stunting. Data terbaru, Pemantauan Status Gizi Tahun 2016 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, mencatat jumlah anak di bawah lima tahun yang menderita masalah gizi masih sangat banyak. Ada 3,4 persen anak balita yang menderita gizi buruk dan 14,4 persen gizi kurang. Untuk anak balita pendek (stunting): 19 persen pendek dan 8,5 persen sangat pendek.
Perkara gizi ini berdampak pada kesehatan jangka panjang. Dalam situsnya, Badan Pendanaan Anak-anak (UNICEF) menyebutkan stunting menyebabkan perkembangan anak menjadi terlambat. Kekurangan gizi kronis sejak dalam kandungan ini juga menurunkan fungsi kognisi dan kekebalan tubuh serta mengganggu sistem pembakaran lemak sehingga meningkatkan risiko obesitas. Akibatnya, saat dewasa, mereka berisiko menderita penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, jantung koroner, dan hipertensi.
Selain masalah kesehatan, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, stunting membuat kemiskinan bisa diwariskan. Sebab, kekurangan gizi menyebabkan anak tak memiliki kesempatan yang sama sejak dalam kandungan. Lantaran perkembangan otak anak stunting tak maksimal, kemampuan kognitif mereka tak sebaik anak-anak normal. "Walaupun nanti mendapat akses pendidikan gratis, dia tidak bisa berpartisipasi di sekolah karena otaknya tidak bisa dikembangkan sejak janin," ujarnya.
Ia memberi contoh, janin yang dikandung perempuan sarjana yang melek kebutuhan gizi kemungkinan besar akan berbeda nasib dengan janin yang dibesarkan dalam kandungan perempuan lulusan sekolah dasar.
Penelitian yang dilakukan Brigitte Sarah Renyoet dalam tesisnya di Institut Pertanian Bogor pada 2016 membuktikan hal ini. Dalam penelitiannya, Sarah memperkirakan besarnya potensi kerugian akibat stunting dan obesitas pada anak balita di Indonesia. Hasilnya, besaran potensi kerugian ekonomi secara nasional akibat produktivitas yang rendah pada anak balita stunting berkisar Rp 3-13 triliun atau 0,04-0,16 persen dari total produk domestik bruto Indonesia.
Menurut guru besar ilmu ekologi manusia Institut Pertanian Bogor, Hardinsyah, masalah gizi tak hanya menjadi perkara Kementerian Kesehatan. Kementerian lain juga mesti terlibat. Kesehatan masyarakat dipengaruhi banyak hal, termasuk infrastruktur, misalnya akses terhadap air bersih.
Selain menyebabkan diare, mengkonsumsi air tak bersih menyebabkan masalah kesehatan dalam jangka panjang. Misalnya jika dikonsumsi oleh ibu hamil. Konsumsi air yang tak bersih bisa menyebabkan perkembangan janin tak maksimal, juga membahayakan kesehatan ibu. Akibatnya, bayi yang dilahirkan akan mudah sakit sehingga penyerapan gizinya terganggu. Efeknya anak bisa mengalami gizi buruk atau stunting. Karena itu, Kementerian Kesehatan perlu menggandeng kementerian lain untuk mengatasi masalah ini. "Harus disampaikan ke Kementerian Pekerjaan Umum," tuturnya.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, selain memberikan makanan tambahan, kementeriannya bekerja sama dengan banyak kementerian dan lembaga lain. Salah satunya Kementerian Pertanian, ihwal ketersediaan pangan.
Menurut Doddy Izwardy, Kementerian Kesehatan juga meminta pemerintah daerah mengatasi masalah air bersih dan permukiman yang tak layak. "Jika perlu, kami surati kepala daerah kalau ada masalah," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo