Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejatinya Jakarta tak punya risiko pergerakan tanah mengingat lanskap Jakarta yang datar.
Gerusan air sungai menjadi penyebab tanah longsor di bantaran kali.
Masyarakat diminta turut mewaspadai ancaman pergerakan tanah.
JAKARTA – Secara keilmuan, tanah bergerak bisa diartikan sebagai pergerakan massa tanah dan batuan di permukaan bumi karena adanya perbedaan ketinggian serta kemiringan. Longsor dikategorikan sebagai massa tanah yang bergerak dengan cepat. Sedangkan untuk jenis gerakan tanah yang lambat umumnya ditandai dengan retakan, seperti fenomena nendatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi agak salah kaprah kalau menyebut penurunan tanah di bantaran sungai dikategorikan sebagai pergerakan tanah,” kata Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, kemarin. "Sebab, risiko tanah turun itu disebabkan aliran air sungai yang menggerus (tanah) bantaran sungai."
Menurut Heri, jika air sungai mengalir teramat deras, bantaran berpotensi terkikis. Pengikisan ini membuat bangunan yang berdiri di bantaran menjadi rapuh dan mudah ambruk ketika hujan deras tiba-tiba turun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heri menyebutkan risiko keparahan gerusan air sungai sebenarnya cenderung kecil. Sebab, gejala sebelum tanah ambles tergerus air akan menunjukkan tanda-tanda yang bisa dilihat dengan kasatmata. Dengan adanya tanda-tanda itu, masyarakat masih punya waktu untuk menyelamatkan diri. “Lain soal jika pergerakan tanah dalam bentuk longsor di sebuah tebing atau bukit,” katanya. “Ini bisa terjadi tanpa memperlihatkan tanda-tanda.”
Solusi untuk menangani pergerakan tanah di bantaran sungai sebenarnya tidak terlalu sulit. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki aliran sungai. Perbaikan ini tentunya untuk memastikan air sungai mengalir dengan lancar dan memiliki kapasitas yang ideal. "Setelah perbaikan kapasitas, baru boleh pilih normalisasi atau naturalisasi di bantarannya," kata Heri.
Tanggul longsor akibat tanah bergerak di Kali Baru, Kramat Jati, Jakarta, 9 Maret 2022. TEMPO/Subekti.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sungai-sungai di Jakarta telah bertahun-tahun mengalami penyempitan dan pendangkalan. Karena itu, tidak mengherankan ketika hujan deras, air sungai tumpah ke jalan dan permukiman penduduk. “Karena kapasitasnya memang sudah tidak memadai,” ujar Heri.
Masalahnya, kata Heri, pemerintah Jakarta belum mampu menuntaskan pembenahan kawasan bantaran sungai. Walhasil, upaya untuk mengembalikan fungsi sungai juga belum bisa dijalankan. "Jadi dua hal (soal bahaya longsor di bantaran) dan solusi memperbaiki sungai tidak akan pernah bertemu," kata dia.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta, Isnawa Adji, mengatakan setidaknya terdapat sepuluh kecamatan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur yang berpotensi mengalami tanah bergerak. Isnawa mengatakan, sepanjang 2017 hingga 2021, terdapat total 57 kejadian tanah longsor yang tersebar di berbagai lokasi di Jakarta.
Lebih lanjut, Isnawa mengatakan, mayoritas peristiwa tanah longsor terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi di lokasi yang berada di sekitar sungai. Peristiwa ini paling banyak terjadi di wilayah Jakarta Selatan, yakni 34 kejadian, dan Jakarta Timur dengan 21 kejadian. Adapun untuk detail wilayah kelurahan yang paling banyak terjadi adalah di Srengseng Sawah sebanyak enam kejadian dan Ciganjur dengan empat kejadian. “Hal ini perlu dipahami agar masyarakat tidak panik, tapi tetap waspada,” kata dia, kemarin.
Isnawa pun mengajak masyarakat untuk lebih mengenal risiko dan ciri-ciri longsor di lingkungannya. Masyarakat dapat mengetahui ciri-ciri tanah longsor yang ada di sekitarnya, seperti adanya lapisan tanah atau batuan yang miring ke arah luar, adanya retakan tanah yang membentuk tapal kuda, dan adanya rembesan air pada lereng. Selain itu, ancaman longsor bisa ditunjukkan oleh pohon dengan batang yang terlihat melengkung dan perubahan kemiringan lahan dari landai menjadi curam.
Untuk mengantisipasi terjadinya tanah bergerak, BPBD mengimbau masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan kali atau sungai, untuk tidak membangun rumah di sekitar tebing dan sungai. Masyarakat juga diminta tidak menebang pohon di sekitar lereng dan menghindari pembuatan kolam atau sawah di atas lereng.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo