Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembeli wayang di galeri Tatang Ruchiat terakhir kali datang pada Maret 2020.
Reza Purbaya menerima pesanan wayang karakter senilai Rp 3-3,5 juta.
Ki Samidjan membuat wayang pinggiran dari limbah plastik.
Aneka wayang golek yang sudah maupun belum jadi berkerumun di sudut halaman sempit rumah Tatang Heryana Ruchiat. Sosok seperti Dawala alias Petruk, Cepot, Yudistira, dan Bima berbaris di rak kayu serta lantai, berbaur dengan aneka peralatan memahat dan mengukir kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bagian dalam rumah, seratusan wayang golek siap jual berukuran 20-85 sentimeter mengisi penuh rak kayu panjang dua tingkat. “Selama masa pandemi ini penjualan nol,” ujar Tatang saat ditemui Tempo, Senin, 28 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah sekaligus Galeri Seni Ruchiat Wooden Puppet & Mask itu berada di gang sempit Jalan Pangarang Bawah III Nomor 78/17B, Cikawao, Kota Bandung. Tatang masih ingat pembeli terakhirnya datang pada 14 Maret 2020. Dari foto yang disodorkannya, terlihat belasan turis bule sedang berdiri dan duduk di pinggiran pot semen yang memanjang dekat pintu masuk.
Tatang Heryana Ruchiat, pembuat wayang golek di Bandung, Jawa Barat, 28 Februari 2022. TEMPO/Anwar Siswadi
Anak ke-5 dari 11 bersaudara itu meneruskan usaha wayang golek yang dirintis mendiang ayahnya, Aloen Ruchiat. Pembuat wayang golek yang juga sempat mendalang itu wafat pada 1998 di usia 80 tahun.
Di masa ayahnya, bisnis pembuatan wayang golek tersebut pernah mendapat pesanan dari Presiden Sukarno selama beberapa tahun kala ada momen pergantian duta besar. Pesanan wayang golek itu disampaikan lewat Inggit Garnasih, mantan istri Sukarno. Sayangnya, pesanan spesial tersebut berakhir pada 1964.
Pada 1974, keluarga Ruchiat mulai didatangi turis mancanegara. Seorang wartawan asing, kata Tatang, juga memasukkan kerajinan wayang golek keluarganya sebagai tujuan wisata dalam buku panduan pelesir di Bandung. Selain membeli cendera mata wayang, ada turis yang ingin mengenal lebih jauh wayang golek, belajar membuat wayang, dan mendalang. Beberapa warga lokal juga ikut belajar membuat wayang golek hingga berjumlah sekitar 20 orang.
Masa keemasan wayang golek Ruchiat itu surut ketika terjadi peristiwa Bom Bali 2001. Turis asing mulai berdatangan lagi pada 2006, tapi tidak sebanyak dulu. Omzet per bulannya juga hanya Rp 4 juta.
Koleksi wayang golek milik Reza Purbaya di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta, 3 Maret 2022. TEMPO/Friski Riana
Bisnis penjualan wayang di pasar barang antik di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta, juga terkena dampak pandemi. Selama ini pedagang di sana menjajakan wayang lebih banyak kepada turis asing yang juga menjadi pedagang di negaranya. “Dengan kondisi pandemi ini, mereka juga tidak akan belanja karena terimbas,” ucap salah satu pedagang, Reza Purbaya.
Di awal masa pandemi, Reza menuturkan, penjualan wayang masih berjalan seperti biasa. Pembelinya pun masih didominasi para turis dan ekspatriat. Begitu varian Delta muncul pada tahun lalu, Reza merasakan penjualan wayangnya menurun drastis. Omzet sebelum masa pandemi bisa mencapai Rp 10-12 juta per bulan. “Saat masa pandemi, cari Rp 1 juta seminggu saja susah,” katanya.
Reza Purbaya di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta, 3 Maret 2022. TEMPO/Friski Riana
Meski begitu, Reza masih bisa mempertahankan bisnisnya karena menerima pesanan pembuatan wayang karakter wajah tertentu. Usaha itu ia teruskan dari almarhum ayahnya, Tizar Purbaya. Satu wayang golek karakter dihargai Rp 3-3,5 juta. Namun pesanan tidak setiap saat ada. Selama kondisi wabah, pesanan wayang karakter hanya satu dalam tiga bulan.
Berbeda dengan Reza, bisnis penjualan wayang Putranda Ekky Pradana justru cenderung stabil. Ketika ditemui Tempo di rumahnya di Semarang, ia sedang menggoreskan kuas di lembaran kulit kerbau yang telah dipahat menjadi wayang dengan karakter Baladewa. Sesekali Ekky mencelupkan kuas ke cairan pewarna di hadapannya.
Ekky mampu memproduksi rata-rata tiga wayang dengan ukuran bervariasi dalam sebulan. Satu wayang ukuran gunungan berwarna emas dia hargai Rp 5 juta. Menurut dia, sebagian besar pembeli wayang buatannya adalah para dalang.
Putranda Ekky Pradana, 24 tahun, menunjukkan wayang buatannya di rumahnya di Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, 4 Maret 2022. TEMPO/Jamal A. Nashr
Pemuda berusia 24 tahun itu menekuni profesi pembuat wayang karena menggemarinya sejak kecil. Tak hanya menonton, dia juga selalu membeli mainan wayang ketika diajak menghadiri pertunjukan wayang. Mainan itu biasa dijual pedagang di sekitar lokasi tontonan wayang.
Karena pergelaran wayang tak setiap saat ada, Ekky pun mulai membuat mainan wayang untuk koleksi berbahan kertas karton dan kardus. Pengetahuan tentang wayang juga bertambah setelah bergabung dengan grup penggemar wayang di Facebook. Berkat media sosial itu, pertama kali wayang karyanya dibeli orang. "Waktu itu wayang gunungan saya jual Rp 50 ribu.”
Memasuki sekolah menengah atas, Ekky mulai mencoba membuat wayang berbahan kulit. Ia juga bertemu perajin di Kabupaten Klaten yang tinggal di daerah rumah kakeknya. Dari sanalah, Ekky mendapatkan pelanggan dari kalangan dalang. Wayang berbahan kulit hasil karyanya sebagian dikoleksi dan sisanya dijual.
Putranda Ekky Pradana sedang mewarnai wayang di rumahnya di Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, 4 Maret 2022. TEMPO/Jamal A. Nashr
Hasil penjualannya kemudian digunakan membeli bahan membuat wayang. "Waktu harga bahan kulitnya Rp 150 ribu, hasilnya saya jual Rp 450 ribu,” ujar dia. Rutinitas itu terus berlanjut hingga dia lulus sekolah dan melanjutkan kuliah.
Pandemi Covid-19 juga tidak berdampak pada bisnis pembuatan wayang milik Samidjan. Perajin asal Yogyakarta ini hanya merasakan bahwa interaksinya di luar rumah berkurang sejak pagebluk melanda. Untuk pemesan wayang pun masih berdatangan meski tak selalu saban hari atau pekan.
Di usia 71 tahun, Samidjan terus melakukan inovasi untuk membuat kreasi wayang. Ia tak hanya membuat tokoh-tokoh wayang untuk kisah klasik wayang purwa, tapi juga kisah-kisah wayang pinggiran. “Dan semuanya bukan dari kulit, melainkan dari limbah plastik.”
Wayang buatan Ki Samidjan dari bahan limbah plastik yang mirip dengan wayang dari bahan kulit. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Beragam plastik dari kresek hingga fiber bisa ia gunakan. Selain untuk melestarikan wayang, Samidjan ingin terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan dengan memanfaatkan limbah tersebut.
Namun, dari sekian bahan, Ki Samidjan terkesan dengan bahan fiber karena lebih tebal. Apabila fibernya berwarna putih, setelah diamplas menjadi mirip seperti lulang atau kulit hingga sulit dibedakan dengan wayang kulit. “Yang jelas, wayang dari limbah plastik ini lebih awet, kuat, dan tidak gampang sobek kalau berbenturan,” ujar dia.
Ki Samidjan tak melulu terpaku membuat wayang purwa klasik. Meskipun perajin wayang purwa dengan gagrak atau gaya Yogyakarta, Ki Samidjan, yang kini dibantu anaknya, Kus Antoro, 42 tahun, membuat wayang pinggiran. Karakter wayangnya adalah kisah tentang transpuan, Betari Jaluwati; dan transman atau trans-laki-laki, Warya Bissunanda.
Samidjan dengan wayang Arjuna dari bahan limbah di Yogyakarta, 2 Maret 2022. TEMPO/Agustin Pito Rudiana
Betari Jaluwati digambarkan sebagai sosok perempuan yang berjakun. Sedangkan Warya Bissunanda adalah sosok laki-laki yang berpayudara. Adegan-adegannya mengisahkan kehidupan sosial para sosoknya berikut upaya mereka meraih hak-haknya, seperti hak mempunyai KTP, hak tempat tinggal, dan hak dimakamkan secara layak.
Selain membuat wayang untuk koleksi, Ki Samidjan menerima pesanan dari dalang, kolektor, maupun masyarakat umum. Harga satu wayang Punakawan dipatok Rp 250 ribu. Untuk wayang Arjuna seharga Rp 350 ribu, sedangkan wayang Bima Rp 400-450 ribu. Selebihnya, acap kali pemesan memberinya uang Rp 1-3 juta sebagai ucapan terima kasih.
Adapun Tedi Rustiadi tidak bisa mengandalkan bisnis wayang golek sebagai mata pencarian utama selama masa pandemi Covid-19. Sebelum wabah muncul, perajin asal Tasikmalaya ini bisa mendapat pesanan pembuatan wayang lebih dari 10 buah setiap bulan. Sekarang, pria berusia 33 tahun itu hanya mendapat orderan kurang dari lima buah per bulan.
Tedi Rustiadi, 37 tahun, meraut kayu bahan wayang golek di rumahnya, Kampung Kalapa Dua, Desa Margaluyu, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, 3 Maret 2022. TEMPO/Rommy Roosyana
Para pemesan wayang buatan Tedi hanya berasal dari Jawa Barat, terutama dari Priangan Timur. Ia tak berusaha mempromosikan diri dengan memanfaatkan media sosial. "Yang datang (memesan wayang) hanya orang yang sudah kenal. Ya, saya hanya mengandalkan kenalan alumni," ujarnya.
Meski begitu, ayah dua anak ini mengisi waktu senggangnya dengan membuat wayang aneka karakter untuk persediaan dan agar tidak kaku mengukir serta meraut lekukan-lekukan bentuk wayang. Wayang karakter buatan Tedi harganya relatif lebih murah. Hanya sekitar Rp 500 ribu, dengan lama pengerjaan per satu wayang lima sampai tujuh hari.
Di Pulau Bali, wayang disajikan dalam wujud bentangan lembaran kertas atau kain bergambar. Kesenian ini dikenal dengan nama wayang kamasan atau seni lukis wayang kamasan.
Di masa pandemi, eksistensi lukisan yang menjadi ciri khas Kabupaten Klungkung, Bali, ini ikut tergerus. Salah satu pelukisnya, I Wayan Pande Sumantra, menuturkan penjualan lukisan wayang kamasan turun hingga 60 persen. “Namanya seni tradisi, peminatnya khusus. Ditambah pandemi, penjualan lukisan makin berkurang,” kata I Wayan Pande Sumantra.
Sumantra pun tak tinggal diam. Pria berumur 56 tahun ini berinovasi dengan menyajikan wayang kamasan di luar media kanvas. Misalnya, pada kipas, cangkang, batok kelapa, hingga keben atau anyaman bambu untuk menyimpan buah ketika dibawa ke pura.
Lukisan wayang kamasan juga bisa diaplikasikan pada hiasan bangunan pura, rumah bergaya arsitektur Bali, hingga vila dan hotel. “Harga sesuai dengan kesepakatan. Makin banyak tokoh wayang dilukis, harga semakin mahal.”
FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI (BANDUNG) | PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA) | JAMAL A. NASHR (SEMARANG) | MADE ARGAWA (BALI) | ROMMY ROOSYANA (TASIKMALAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo