Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Antara Penagih Utang, Donatur Gereja, dan Preman

John Kei kecil termasuk anak penurut dan pendiam. Mulai suka berkelahi saat SMA.

23 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • John Kei mendirikan organisasi masyarakat Angkatan Muda Kei, pernah jadi Ketua Komisi Tinju Indonesia dan donatur sejumlah sekolah serta gereja di Maluku.

  • Mulai menjadi debt collector pada awal 1990-an setelah gagal bersinar di ring tinju amatir.

  • Nama John Kei tercatat di lebih dari 12 dokumen kriminal di Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK mudah menempatkan atribusi bagi John Kei. Pria berusia 51 tahun itu mendirikan organisasi kemasyarakatan Angkatan Muda Kei—pulau di Maluku Tenggara, pernah menjadi Ketua Komisi Tinju Indonesia, dan donatur sejumlah sekolah serta gereja di Maluku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun catatan kepolisian menyebutkan sebaliknya. John Refra—nama lahirnya—muncul dalam setumpuk dokumen kriminal. Dari pembunuhan Basri Sangaji pada 2004; keributan di klub malam Blowfish yang berbuntut kericuhan berdarah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2010; serta pembunuhan Tan Harry Tantono, pengusaha baja, pada 2012.

Kasus terbaru yang melibatkan John adalah percobaan pembunuhan pamannya, Nus Kei. Dia dijerat secara berlapis, dari Pasal 88 KUHP tentang pemufakatan jahat, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 170 tentang perusakan, dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 51 tentang kepemilikan senjata api. "Ancaman hukuman maksimal, ya, hukuman mati," kata Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat, kemarin.

Majalah Tempo menulis perjalanan hidup John setelah dia ditangkap polisi karena kasus pembunuhan Tan Harry. John lahir di Desa Tutrean, Pulai Kei Besar—satu setengah jam penerbangan plus empat jam perahu motor dari Ambon. Warga Tutrean tidak ada yang percaya dia dekat dengan dunia kekerasan. Rumatia, guru Sekolah Dasar Inpres Bombay di Desa Enlarang, mengingat John sebagai anak penurut dan pendiam. "Dia tak pernah berulah," katanya kepada Tempo pada 2012.

Meski tergolong miskin, pasangan Paulinus dan Maria Refra ngotot menyekolahkan John, satu kakak, dan tiga adiknya hingga sekolah menengah atas. John menempuh SMEA di Tual. Di sana, dia mulai bandel dan dikeluarkan saat kelas X akibat berkelahi. Alih-alih pulang ke Tutrean, dia kabur ke Surabaya bersama sepupunya pada 1988. Mereka hidup menggelandang. "Saya jual celana untuk makan, dan tidur di jalan," kata John kepada Tempo pada 2004.

John lalu merantau ke Jakarta. Luntang-lantung sebentar, dia bergabung dengan sasana tinju yang menampung anak-anak muda Maluku. Penghasilan tak menentu dari tinju amatir membuatnya membuka jasa penagihan utang. Kliennya adalah para pengusaha hiburan malam di Kota, Jakarta. "Ini pekerjaan pertama saya di Jakarta," kata dia dalam wawancara yang sama. Dia mengaku tidak memakai kekerasan dalam penagihan. "Kalau belum bisa bayar, ya, negosiasi."

Pada 1995, nama John melambung sebagai debt collector andalan. Dia menikahi Yulianti pada 1997 dan melahirkan lima anak. John, yang bercita-cita menjadi intel, berharap ada anaknya yang menjadi polisi.

John tinggal di Bekasi, tepatnya di Kompleks Tytyan Indah, Medan satria—tempat dia ditangkap Ahad lalu. Mantan Ketua Komisi Tinju Indonesia itu menampung anak-anak muda Maluku dan mengajak mereka berlatih adu jotos.

Uang yang melimpah tak membuat John lupa akarnya. Di Tutrean, dia tidak hanya membangun rumah untuk ayahnya, tapi juga menjadi donatur kakap di dua gereja di sana. Saban pulang kampung, dia membagikan Rp 50 ribu kepada siapa saja yang berpapasan. "Orangnya baik sekali," kata Herman, warga Tutrean, yang menampik pandangan John sebagai preman yang identik dengan kekerasan.

Citra itu langsung luntur dengan penggerebekan di rumah John, Ahad malam lalu. Sekitar pukul 20.00, warga menyaksikan puluhan polisi tak berseragam menenteng senjata laras panjang di luar Kompleks Tytyan Indah. Dua jam kemudian, polisi berkonsentrasi di rumah John dan meminta tetangga sekitarnya masuk rumah dan mematikan semua lampu. Selain kediaman John, empat rumah lain digerebek polisi, termasuk Sekretariat Angkatan Muda Kei. Suasana gelap dan beberapa tembakan membuat warga ketakutan. "Kami baru dibolehkan ke luar rumah seusai penggerebekan," kata AB, warga setempat.

Memang tak mudah menyebut John Kei dengan satu sebutan. John sendiri menampik disebut preman. "Saya crossboy, orang yang suka berkelahi," ujarnya pada 2004.

JULNIS FIRMANSYAH | REZA MAULANA | ADI WARSONO (BEKASI)

 


Antara Penagih Utang dan Donatur Gereja

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus