Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kompleks Keraton Yogyakarta, Sabtu pagi, 8 Oktober 1988, Herjuno Darpito mengenakan pakaian yang berbeda dibanding saudara-saudaranya. Di atas kain bercorak ombak besar, corak tirta teja, yang dikenakannya, terpasang keris pusaka yang hanya diberikan kepada pangeran sulung, keris Taya Tinaban.
Putra tertua Hamengku Buwono IX ini mewakili keluarga, menerima jenazah ayahnya, Dorodjatun atau Sultan Hamengku Buwono IX, dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Soepardjo Rustam, yang mewakili pemerintah. Tak ada pidato. Dia pula, bersama Presiden Soeharto dan Tien Soeharto, melepas jenazah ayahnya untuk dibawa ke tempat peristirahatan terakhir di Astana Saptarengga, makam kerajaan di Imogiri.
Sekitar lima bulan kemudian, tepatnya 7 Maret 1989, Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai penerus sang ayah, menjadi Sultan Yogyakarta. Gelarnya: Sultan Hamengku Buwono X. Memang tak ada wasiat soal penunjukannya. Tapi petunjuk ke arah itu telah diberikan ketika Herjuno ditetapkan menjadi Gusti Bendara Pangeran Haryo Mangkubumi saat usianya 36 tahun. Gelar ini biasa disematkan kepada calon putra mahkota.
Ia pun cukup dekat dengan ayahnya. Dia sempat menemani ayahnya di Tokyo, sebelum sang ayah berangkat ke Amerika Serikat untuk memeriksakan kesehatan. Di sela acara peringatan Hari Anak Nasional di Istana Negara Bogor, pekan lalu, Hamengku Buwono X sedikit membuka kisah tentang sang ayah saat ditanya wartawan Tempo Ananda Wardhati Teresia. Ia juga sempat menjawab pertanyaan Pito Agustin Rudiana di Hotel Garuda Yogyakarta, 6 Agustus lalu.
Apa yang Anda ingat dari sosok Hamengku Buwono IX?
Beliau orang yang mau mendengar pendapat orang. Dalam komunikasi, kami memiliki komunikasi yang intens. Tidak menggunakan bahasa Jawa, tapi bahasa Indonesia.
Mengapa?
Supaya tidak ada kesenjangan psikologis. Jadi beliau demokratis, mau mendengar. Biarpun pendapat kami berbeda, beliau bisa menerima. Yang penting argumentasinya.
Apa yang bisa Anda pelajari dari ayah Anda?
Ya, itu tadi, sangat demokratis, tapi juga bersedia berkomunikasi dengan baik.
Ada wasiat dari almarhum?
Pada waktu mau ke Amerika (untuk memeriksakan kesehatan), beliau minta saya berjanji: harus bisa berkomunikasi atau membangun pemahaman dengan orang lain, harus bisa mengayomi orang lain, walaupun orang lain itu tidak suka kepada diri kamu. Kedua, tidak boleh melanggar peraturan negara. Yang ketiga, mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Keempat, tidak boleh punya ambisi kecuali untuk menyejahterakan rakyat.
Bagaimana Anda melihat ayah Anda bekerja membangun Republik Indonesia.
Kami (keluarga) kan banyak berada di Yogyakarta. Sedangkan orang tua (Hamengku Buwono IX) lebih banyak tinggal di Jakarta. Kami baru bergabung dan tinggal bersama di Jakarta, meski bolak-balik (Jakarta-Yogyakarta), itu dari 1967 sampai 1978. (Kemudian) saya harus kembali ke Yogyakarta karena menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I.
Hamengku Buwono IX suka bercerita tentang perjuangan membangun Republik Indonesia?
Ya, bercerita, tapi tidak usahlah diceritakan.
Ayah Anda banyak menyumbang sewaktu Republik baru berdiri. Apakah kekayaan tersebut terus menurun?
Saya tidak tahu persis. Saya tidak bicara duit, saya tidak bicara soal kekayaan.
Soal sumbangan kepada Republik senilai 6 juta gulden?
Enggak usahlah. Kan, itu sudah diberikan kepada Republik. Itu dilakukan berdasarkan keikhlasan. Tidak usah dihitung.
Bagaimana dengan harta Keraton yang dikabarkan disimpan di Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia)?
Enggak usahlah. Enggak usah dihitung. Enggak usah ditanyakan.
Ayah Anda menyukai seni tari, bahkan mengembangkan tari Jawa. Itu menurun ke Anda?
Saya sudah mulai menari sejak kelas IV. Masak, kalau ditanya masyarakat, tidak bisa menari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo