Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang terjadi jika gas air mata dilontarkan ke arah tribun stadion sepak bola yang penuh penonton? Jawabannya adalah malapetaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita bukan membahas tragedi Kanjuruhan, melainkan bencana di Estadio Nacional, Lima, Peru, pada 26 Mei 1964. Saat itu, sekitar 40 ribu penonton memadati gelanggang untuk menyaksikan tim tuan rumah menjamu tim Argentina menuju Olimpiade Tokyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti ditulis oleh Guardian, menjelang akhir pertandingan, tim tamu unggul 0-1. Sekitar enam menit sebelum peluit panjang dibunyikan, Peru menyamakan skor, tapi dianulir wasit yang menganggap pencetak gol itu melakukan pelanggaran. Keputusan itu menyulut emosi dua penonton yang merangsek ke lapangan. Satu di antaranya digiring polisi ke luar lapangan, lalu dipukul dan ditendang. Penonton di tribun marah melihat tindak kekerasan itu. Mereka melempari polisi dan sebagian lainnya membanjiri lapangan.
Polisi membalasnya dengan tembakan gas air mata. Para penonton pun kocar-kacir. Namun upaya mereka melarikan diri dari perihnya asap putih tersebut tertahan oleh pintu tribun yang masih tertutup. Sebanyak 200-300 orang tewas akibat serangan itu. Mayoritas akibat kekurangan oksigen. Dalam bencana paling mematikan di sejarah sepak bola ini, hanya segelintir orang yang kena hukuman. Di antaranya polisi yang memerintahkan anggotanya menembakkan gas air mata. Hukumannya 30 bulan penjara.
Sekarang kita ke Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu, 1 Oktober 2022. Tuan rumah Arema FC takluk 2-3 oleh rival abadi mereka, Persebaya Surabaya. Tribun diperkirakan dipenuhi hingga 45 ribu Aremania, melebihi kapasitas maksimal 42 ribu orang. Tidak ada pendukung Persebaya di sana.
Penonton menggendong rekan yang tak sadarkan diri setelah terkena gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan di Stadion Kanjuruhan, Malang,1 Oktober 2022. ANTARA /Ari Bowo Sucipto
Seusai pertandingan, seorang penonton terjun dari tribun menuju lapangan. Dia sempat memeluk Adilson Maringa, kiper Arema, sebelum nyerocos berbicara. Penonton lain melakukan hal yang sama kepada bek Sergio Silva. Melihat semakin banyak suporter masuk ke lapangan, pemain dan ofisial Arema bergegas masuk lorong. Pasukan Persebaya tidak ada di lokasi karena langsung meninggalkan arena begitu pertandingan berakhir.
Polisi menghadang penonton lewat upaya persuasif. Namun suporter terus berdatangan. Juga ada lemparan botol minum dan obyek lain dari arah tribun. Penonton menjadi beringas setelah melihat rekan mereka dipukuli petugas di tepi lapangan. Saat polisi berhasil menghalau penonton di satu sisi, datang gelombang massa dari sisi lain.
Dalam sepak bola, kondisi ini disebut invasi ke lapangan atau pitch invasion. Ini merupakan hal yang terlarang, tapi, dalam beberapa kasus, dibiarkan ketika terjadi di luar waktu pertandingan.
Di Kanjuruhan, polisi merespons pitch invasion dengan tembakan gas air mata—senjata yang diharamkan dalam Aturan Keamanan Stadion dari FIFA. Suporter yang awalnya menguasai lapangan pun lari tunggang langgang, kembali ke tribun.
Di titik inilah sumber malapetaka: polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun. Hasilnya, para Aremania yang sejak awal hanya duduk manis ikut merasakan perihnya asap beracun tersebut. Mereka berdesak-desakan demi menyelamatkan diri. Sebagian di antaranya tidak selamat karena terinjak-injak. "Meninggal karena sesak napas," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada Tempo, kemarin, 2 Oktober 2022.
Dengan 129 korban meninggal, termasuk dua polisi, tragedi Kanjuruhan tercatat sebagai bencana sepak bola terburuk kedua sepanjang masa, setelah malapetaka di Estadio Nacional, Lima.
Bencana terburuk ketiga terjadi di Accra, Ghana, pada 9 Mei 2001, dengan 126 korban tewas. Seperti ditulis Reuters, insiden ini diawali kemarahan pendukung klub Asante Kotoko yang kalah oleh tuan rumah Hearts of Oak. Mereka mencabuti bangku Stadion Ohene Djan, lalu melemparkannya ke arah lapangan. Tak lama setelahnya, para suporter itu lari tunggang-langgang, berdesak-desakan di pintu keluar, dan sebagian tewas terinjak-injak. Penyebabnya adalah polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun.
REZA MAULANA | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo