Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendapatan KAI berpotensi hilang lantaran operasional perdana LRT Jabodebek terus molor.
Nilainya diperkirakan mencapai Rp 587,7 miliar.
Penundaan pengoperasian LRT Jabodebek juga berimbas pada beban bunga pinjaman dan biaya pra-operasi, dari hitungan awal Rp 29,9 triliun menjadi Rp 32,5 triliun.
JAKARTA – Mundurnya pengoperasian light rail transit Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi atau LRT Jabodebek hingga pertengahan tahun depan membuat PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI kehilangan potensi pendapatan dari tiket penumpang. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 587,7 miliar.
“Potensi pendapatan LRT Jabodebek pada Agustus-Desember 2022 sekitar Rp 212,7 miliar,” kata Kepala Divisi LRT Jabodebek dari PT KAI, Mochamad Purnomosidi, kepada Tempo, kemarin. Adapun dari Januari-Juni 2023, peluang penghasilan KAI yang hilang dari penundaan operasi kereta ringan tersebut diperkirakan Rp 375 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LRT Jabodebek ditargetkan beroperasi pada Juni 2023 atau mundur dari target sebelumnya pada Agustus 2022. Bahkan, jadwal pengoperasian komersial (commercial operation date/COD) proyek strategis nasional itu molor dari target awal beroperasi pada Juli 2019. Target beroperasinya LRT Jabodebek mundur ke Juni 2023, di antaranya karena uji coba sistem tanpa masinis grade of automation level 3 (GoA 3) terus dilakukan untuk memastikan keselamatan para penumpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Kereta Api Ringan Terintegrasi di Wilayah Jabodebek, tarif dasar penumpang pada jadwal COD pertama—Juli 2019—ditetapkan sebesar Rp 12 ribu. Rencana COD pun mundur, dan dijadwalkan ulang pada Agustus 2022.
Saat itu perkiraan tarif dasar LRT Jabodebek diubah karena harus disesuaikan dengan proyeksi pengembalian investasi. “Asumsi tarif flat naik dari Rp 12 ribu menjadi Rp 15 ribu,” kata Purnomosidi. Hitungan ini dipakai manajemen KAI untuk memperkirakan potensi pendapatan yang hilang akibat penundaan proyek tersebut.
Tarif dasar Rp 15 ribu itu dipatok untuk perjalanan di dua rute bolak-balik, yaitu Stasiun Harjamukti-Dukuh Atas dan Stasiun Bekasi Timur-Dukuh Atas. Bila diurai, tarif komersial itu dihitung sebesar Rp 3.000-4.000 untuk jarak tempuh per 5 kilometer. Dengan 31 rangkaian kereta, sepur ringan ini ditargetkan mengangkut 115 ribu penumpang per hari selama dua tahun pertama. Setiap rangkaian kereta modern itu bisa menampung total 740 penumpang sekali jalan.
Menurut Purnomosidi, KAI sudah mengajukan tiga opsi tarif LRT Jabodebek kepada Kementerian Perhubungan. Meski tak merincikan angka ketiga opsi tersebut, dia memastikan dasar penghitungannya masih mirip dengan tarif kereta LRT Jakarta ataupun moda raya terpadu (MRT).
“Kami sudah mengajukan tarif dengan skema progresif, tapi belum bisa dikaji karena masih dikaji oleh Kementerian Perhubungan,” tuturnya.
Petugas menunjukkan kartu kereta light rail transit (LRT) di Kelapa Gading, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Adapun Pejabat Pembuat Komitmen Urban Transport LRT Jabodebek dari Kementerian Perhubungan, Ferdian Suryo Adhi Pramono, mengatakan belum bisa menyampaikan informasi ihwal tarif perdana kereta layang itu. “Silakan ditanya kepada KAI,” kata dia.
Pada Juli lalu, Direktur Utama PT KAI, Didiek Hartantyo, mengeluhkan beban baru yang harus ditanggung entitasnya karena penundaan pengoperasian LRT Jabodebek. Beban itu muncul dari beban bunga pinjaman dan biaya pra-operasi. Saat target peluncuran pertamanya molor, biaya investasi proyek ini tercatat melar hingga Rp 2,6 triliun, dari hitungan awal Rp 29,9 triliun menjadi Rp 32,5 triliun.
"Kami berutang itu Rp 20 triliun sendiri. Jadi, bagaimana kami mengembalikan utang kalau tidak ditopang oleh PSO (public service obligation) untuk pengambilan infrastruktur (LRT). Ini desainnya sudah tidak benar dari awal," ucap Didiek dalam rapat di Komisi V DPR pada 6 Juli 2022.
Bila dirincikan, sebanyak Rp 22,3 triliun dari ongkos proyek KAI didapatkan melalui fasilitas sindikasi, sedangkan Rp 10,2 triliun sisanya dari penyertaan modal negara (PMN). Beban KAI membengkak lantaran menjadi penyelenggara pengoperasian, perawatan, sekaligus operator pengusahaan proyek infrastruktur dan sarana.
Pembengkakan Biaya Bakal Membesar
Sumber Tempo yang mengetahui perkembangan LRT Jabodebek membenarkan pembengkakan biaya atau cost overrun proyek bisa membesar karena faktor interest during construction (IDC). Artinya, timbul biaya baru karena perpanjangan masa pekerjaan hingga pertengahan 2023. “Tapi karena sudah tahap final, cost overrun ini tidak sebesar sebelumnya. Tidak akan lebih dari Rp 1 triliun,” katanya, kemarin.
Anggota Komisi VI DPR, Andre Rosiade, memastikan forumnya akan meminta penjelasan dari KAI soal dampak penundaan operasi LRT Jabodebek pada masa sidang Dewan berikutnya. Menurut dia, beban KAI seharusnya hanya sebatas biaya pengoperasian dan perawatan sarana. “Anehnya, biaya saat proses pembangunan juga dibebankan ke KAI,” ujar Andre. “Kita ingin dengar dulu penjelasan mereka soal dampak hal itu, soal PMN nanti bisa dipertimbangkan.”
Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia, Aditya Dwi Laksana, menyebutkan belum ada kepastian soal tingkat keterisian LRT Jabodebek. Menurut dia, peluncuran perdana belum tentu menarik minat banyak penumpang. Dengan kemunduran COD, pengujian pasar proyek tersebut pun tertunda hingga tahun depan. “Padahal masih harus diuji dulu dari sisi ridership (aspek penumpang). Belum tentu tarifnya terjangkau dan menarik bagi penumpang,” kata dia.
MUHAMMAD HENDARTYO | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo