Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berburu Sepatu hingga Negeri Sakura

Mereka tak segan berburu sampai ke luar negeri atau antre di depan toko sejak subuh.

10 November 2018 | 00.00 WIB

Mereka tak segan berburu sampai ke luar negeri atau antre di depan toko sejak subuh.
Perbesar
Mereka tak segan berburu sampai ke luar negeri atau antre di depan toko sejak subuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pengalaman berburu barang streetwear membutuhkan keahlian dan modal tersendiri. Tidak hanya berburu di dalam negeri melalui toko daring atau reseller, para pencinta kultur streetwear tak jarang harus mengeluarkan biaya khusus untuk berburu sampai ke luar negeri. Hal ini dilakukan Isser James, 31 tahun. Ia pernah berburu sepatu sampai ke Jepang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Namun perburuan yang dilakukannya pada 2014 itu tidak mudah. Ia harus berkeliling ke sejumlah tempat di Negeri Sakura untuk mencari sepatu Nike Air Jordan I Bred keluaran 1985. Barangnya memang sulit dicari. Begitu ketemu, ia langsung merogoh kocek cukup dalam seharga Rp 11 juta, meski ia mengetahui harga pasaran saat itu hanya Rp 7-8 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Selepas membeli barang itu, Isser kembali ke Indonesia. Beberapa saat setelahnya, ia mendapati ada pihak lain menjual sepatu tersebut dengan harga yang jauh lebih murah dari biaya yang dikeluarkannya saat berada di Jepang. "Saya merasa bodoh sekali, itu bagian serunya. Belajar itu mahal ternyata," kataya kepada Tempo, Rabu lalu.

Namun Isser mengaku bukan orang yang sering berburu dengan mendatangi sendiri lokasi-lokasi penjualan barang. Ia lebih gemar membeli melalui toko-toko daring. Toko-toko daring langganannya memiliki jaringan ke berbagai negara, seperti Belanda, Hong Kong, Prancis, dan Amerika Serikat.

Penggemar street wear lain, Novita Chrisyanti, 20 tahun, mewanti-wanti agar berhati-hati berburu di toko daring. Sebab, tidak semua yang dijual adalah barang orisinal. Ia mengaku pernah kena tipu saat membeli suatu barang. Ia menemukan barang itu dibanderol seharga US$ 20. Padahal harga pasarannya US$ 1.200-1.500. "Saya sudah merasa ini palsu, meski dia tulis itu orisinal," tuturnya kepada Tempo, Ahad lalu.

Cara mengeceknya, kata Novita, dengan melihat tag atau label dari baju tersebut. Ia mencontohkan, misalnya, produk dari Supreme. Jika tulisannya tidak rata semua, bisa dipastikan barang tersebut adalah barang palsu.

Pengalaman lain dialami Kent Hadi, 25 tahun. Beberapa bulan lalu ia pernah antre di depan sebuah mal di Kelapa Gading dari pukul 05.00 hanya untuk mendapatkan sepasang sepatu yang sangat diinginkannya: Nike Air Jordan I Shadow. Padahal mal itu baru buka pukul 10.00. Ia tentu tidak sendiri, ada ratusan orang lain antre di sana.

Sialnya, Kent yang antre bersama enam orang kawannya ternyata tidak bisa mendapatkan sepatu itu. "Kami adu lari sampai ke tokonya. Pas lari, saya sadar ini enggak terlalu penting," ucapnya kepada Tempo, Kamis lalu. Kala itu, harga sepatu tersebut sekitar Rp 2,3 juta. "Mungkin sekarang Rp 3-4 juta."

Ia tidak kecewa, walaupun sejumlah temannya berhasil mendapatkannya. Sebab, ia sudah memiliki model lama sepatu jenis itu. Ia ingin membeli baru agar sepatu lama bisa dijual.

Ternyata ada di antara pengantre itu bukan benar-benar ingin memiliki sepatu tersebut. Sejumlah orang yang ikut antre bersamanya justru ingin menjual kembali barang tersebut ketika baru keluar dari toko.

Sedangkan Adhika Saroso Wijayanto, 23 tahun, memiliki pengalaman berburu melalui Instagram dan melihat seorang kolektor mengunggah foto sepatu yang tidak pernah dilihatnya. Setelah mencari informasi melalui Internet tentang sepatu itu, ia pun meminta kepada seorang temannya untuk mencarikannya.

Sepatu itu adalah Nike Dunk Low x Stussy keluaran 2002 berwarna putih. Barang itu akhirnya didapat di Australia. Sang penjual itu membuka harga dengan sedikit mengultimatum: jika ia tidak jadi membeli, si penjual tersebut tidak akan pernah menjual lagi barang itu. Ia pun membeli sepatu bekas sekitar Rp 20 juta itu. "Meski ini bekas, tapi saya tidak pernah memakainya," kata Adhika kepada Tempo, Kamis lalu.

Ini sepatu istimewa. Sepengetahuannya, hanya ada tiga orang pemilik barang itu di dunia, yaitu seorang asal Hong Kong dan New York. "Saya pernah ditawar beberapa kali sampai US$ 5.000, tidak saya jual."  DIKO OKTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus