Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Berlindung di Balik Tembok Raksasa

Cina menentang upaya menggelar mahkamah internasional untuk kasus Timor Timur. Tapi tim penyidik Perserikatan Bangsa Bangsa jalan terus.

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALI ini puluhan demonstran itu tak berteriak garang. Di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina di Jakarta, mereka malah menyerahkan seekor merpati putih elok, Kamis pekan lalu. Itu bukan sebagai hadiah Imlek 2551, tapi semacam ucapan terima kasih atas "hoki baik" yang dibawakan Cina pada awal Tahun Naga Emas. Hanya sehari setelah laporan Commission of Inquiry on East Timor (CIET) pada 31 Januari lalu merekomendasikan pengadilan internasional, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhu Bangzao langsung angkat suara. Bunyinya, Tiongkok bersama hampir semua negara di kawasan Asia menentang upaya pembentukan mahkamah internasional untuk kasus Timor Timur.

Kelompok demonstran yang bersikap "manis" tadi tahu benar bahwa Tiongkok memiliki kartu truf yang bisa menyelamatkan para jenderal TNI dari aib dan pengadilan internasional. Peran anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini amat menentukan. Hak veto yang dimilikinya bisa menihilkan resolusi untuk menggelar pengadilan internasional. Mahkamah ini hanya dapat digelar atas resolusi Dewan Keamanan.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Jiang Zemin bernyanyi keroncong bersama di Beijing awal Desember lalu, hubungan kedua negara memang sedang berada di titik paling intim. Selain itu, Cina punya kepentingan untuk mencegah menularnya "wabah kemerdekaan Timor Timur" dalam kasus Taiwan.

Untuk sementara, arah angin di PBB pun masih condong ke Jakarta. Sekjen PBB Kofi Annan tampaknya akan memberi kesempatan Presiden Wahid untuk melakukan proses penyidikan. Menurut Wakil Juru Bicara PBB John Mills, laporan CIET yang telah dikirim ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Dewan Keamanan, dan Majelis Umum dilampiri surat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab yang menolak digelarnya pengadilan internasional.

Nada suara Amerika Serikat, sebagaimana terdengar dari pernyataan Duta Besar Amerika untuk PBB Richard Holbrooke, tak terdengar galak. Negeri adikuasa itu lebih suka memberi kesempatan pemerintah Indonesia untuk menggelar pengadilan lokal terlebih dahulu sebelum pembentukan mahkamah internasional.

Proses mahkamah internasional:
  1. Penyerahan laporan penyelidikan pelanggaran hak asasi dari Sekjen PBB ke Dewan Keamanan, Majelis Umum, dan Komisi Hak Asasi Manusia PBB
  2. Sidang Dewan Keamanan
    Resolusi Dewan Keamanan untuk menggelar mahkamah internasional (kecuali ditolak melalui voting atau ada veto dari anggota tetap Dewan Keamanan)
  3. Sekjen PBB membentuk tim ad hoc yang bertugas menetapkan: hakim, kejahatan yang akan diadili, anggaran, waktu, dan lokasi pengadilan.
  4. Mahkamah internasional
Menurut hitung-hitungan Direktur Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri, Sudjadnan Parnohadiningrat, peta suara di Dewan Keamanan lumayan melegakan. Di antara lima anggota tetapnya, selain Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, sikap Cina itu bakal didukung Rusia. Sebagian besar dari kesepuluh anggota tak tetap—Malaysia, Jamaika, Mali, Belanda, Bangladesh, Argentina, Kanada, Tunisia, Ukraina, dan Namibia—diyakini berdiri di belakang Jakarta.

Karena itulah, Duta Besar Tetap Republik Indonesia untuk PBB, Makarim Wibisono, misalnya, berbesar hati. Ia hakul yakin, niat pembentukan mahkamah internasional itu tak bakal kesampaian. Tapi, katanya buru-buru menambahkan, itu bergantung pada kredibilitas proses peradilan di Tanah Air. "Sekarang bola di tangan kita," tambahnya.

Dan "bola" itu mesti segera dimainkan dengan benar, juga cepat. Soalnya, menurut Sudjadnan lagi, proses dua mahkamah yang sudah digelar—kasus Rwanda dan Serbia—tergolong kilat. Persetujuan Dewan Keamanan, terhitung sejak dimasukkan laporan penyelidikan oleh Sekjen PBB, cuma memerlukan waktu enam bulan.

Apalagi, kata Helmy Fauzi, asisten penyelidik Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur, investigasi dan penyidikan lanjutan sebagaimana yang direkomendasikan CIET ternyata sudah diterjunkan. Hal itu dibenarkan John Mills. Sebuah tim investigator, katanya memastikan, saat ini telah mulai bekerja di lapangan.

Seorang diplomat senior ASEAN di PBB pun mewanti-wanti. Ada beberapa negara anggota Dewan Keamanan, antara lain Kanada dan Belanda, yang bersikeras memburu Jenderal Wiranto dan para "tersangka" lainnya ke pengadilan internasional. Belanda, misalnya, memang berkepentingan betul. Gelombang kekerasan di Tim-Tim telah merenggut nyawa sejumlah warganya: wartawan Sander Thoenes dan beberapa biarawan.

Jadi, kalau proses peradilan di Republik masih juga penuh adegan sulap, "The Great Wall" Cina pun naga-naganya bakal sulit membentengi tekanan internasional.

Karaniya Dharmasaputra, Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), Supriyono (New York)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus