Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIANG itu, 12 orang merubung belasan gelas kopi Arabika yang tersaji di atas dua meja kayu setinggi sekitar satu meter. Mereka tidak sedang menyeruput kopi, tapi menilai cita rasanya (cupping).
Cupping merupakan bagian dari pelatihan quality grader (Q Grader) yang digelar oleh 5758 Coffee Lab, lembaga pendidikan kopi yang bermarkas di Bandung. Tempo mendatangi kelas Q Grader pada awal Oktober lalu.
Selain cupping, peserta harus menyelesaikan 22 materi agar bisa menyandang status Q Grader. "Peserta yang ingin mendapat sertifikat Q Grader juga harus lulus tes," kata Adi Taroepratjeka, instruktur Q Grader sekaligus Direktur PT Belajar Kopi Bersama, perusahaan yang menaungi Coffee Lab.
Sejak dibuka pada Juli 2016, Coffee Lab sudah menggelar empat kali pelatihan Q Grader. Sebanyak 28 orang lulus menjadi penakar kualitas kopi, 10 di antaranya berasal dari Hong Kong.
Awalnya Coffee Lab hanya menargetkan dua kali pelatihan. Namun kelas terpaksa ditambah karena animo pendaftar tinggi. "Animo masyarakat untuk mengetahui kopi specialty sudah tinggi," ujar Adi. Setiap tahun, ia memprediksi bisa tumbuh 30 orang Q Grader baru di Indonesia.
Tingginya kebutuhan Q Grader dipicu semakin banyak pebisnis kopi specialty. Status specialty disematkan pada kopi yang memiliki nilai cupping di atas 80 dari 100.
Tak mengherankan bila anggota Asosiasi Kopi Specialty Indonesia (AKSI) meningkat. Saat berdiri pada 2008, anggota AKSI tidak sampai 20 orang. Saat ini anggota asosiasi bertambah hingga 320 orang. Sampai sekarang permohonan menjadi anggota bahkan berdatangan setiap pekan. "Sebagian besar berasal dari pebisnis hilir kopi yang terdiri atas trader, penyangrai, ataupun pemilik kafe," ujar Ketua AKSI Ahmad Syafrudin di Bandung pada awal Oktober lalu.
Menurut Ahmad, semua kopi Arabika lokal berpotensi menjadi specialty. Kualitasnya ditentukan oleh banyak faktor, antara lain pembibitan, kondisi geografis, pemeliharaan, pemupukan, pascapanen, proses sangrai, penyeduhan, dan pengujian cita rasa.
Kopi specialty produksi Tanah Air bahkan sedang digandrungi di pasar global. Dalam lelang yang diselenggarakan Specialty Coffee Association of America di Georgia, Amerika Serikat, 17 kopi asal Indonesia terjual dengan harga tertinggi.
Pencetak rekornya adalah kopi dari Gunung Puntang, Jawa Barat, yang dihargai US$ 55 atau sekitar Rp 750 ribu per kilogram. Pada perdagangan reguler, Ahmad melanjutkan, kopi Indonesia selalu dihargai di atas harga pasar yang tercatat di Bursa Kopi New York.
Kopi specialty juga mulai dilirik pasar domestik dengan pertumbuhan rata-rata 20 persen per tahun. Berdasarkan pengamatan Ahmad, kenaikan itu didukung menjamurnya jumlah kafe yang menjajakan kopi specialty. Kafe tersebar di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, serta Palembang.
PADA awal berdiri sekitar 2007, Anomali Coffee, pionir kafe penjaja kopi specialty, hanya mampu menjual 15 kilogram kopi per bulan. Berkat bantuan Q Grader, kini penjualannya meningkat menjadi 7 ton per bulan.
Salah satu pendiri Anomali, Irvan Helmi, bercerita bahwa pemilihan kopi oleh Q Grader digelar setiap pekan oleh Dewan Penguji Cita Rasa (Board of Cuppers). Kopi dibawa dari beragam daerah, dari Aceh hingga Papua. "Mereka ini kerjaannya hanya cupping," katanya. "Supaya konsumen mendapat kopi yang tepat."
Pesanan kopi tersangrai atau roasted bean milik Kasmito Tina, pendiri Maharaja Kopi, juga melimpah. Ketika Maharaja baru berdiri, Kasmito hanya memanggang 5 kilogram kopi per bulan. Namun sekarang Maharaja mampu melego 3,5 ton per bulan.
Segmen konsumennya juga bergeser. Awalnya kopi Maharaja dipasok ke supermarket. Namun kini pesanan didominasi kafe. Sampai sekitar 80 persen dari penjualan disorongkan ke kafe. "Suplai kami ke supermarket banyak yang kosong," kata Kasmito.
Slamet Prayoga, pengusaha kopi specialty Gunung Malabar, merasakan pertumbuhan konsumsi. Permintaan kopi berjenis Java Preanger ini mencapai 8 ton per bulan. Sedangkan produksi kopi per bulan hanya 3 ton. Pria yang biasa dipanggil Yoga ini memasarkan sebagian besar produksinya ke kafe Jakarta hingga Kalimantan Utara.
Walhasil, Slamet Prayoga sudah menghentikan ekspor kopi Malabar sejak tahun lalu. "Kami sampai menolak permintaan kafe yang ingin menambah pesanan. Permintaan eksportir juga semuanya kami tolak," ujar Yoga ketika ditemui di Jakarta pada pertengahan Oktober.
Yoga berencana menambah produksi kopinya hingga 72 ton tahun depan. Itu pun hampir pasti tidak memenuhi permintaan yang diprediksi melimpah.
Gencarnya permintaan domestik, menurut Yoga, terjadi karena masyarakat lokal sudah doyan kopi berkualitas. Dia bercerita tentang meningkatnya omzet MM Cafe miliknya di Bogor, Jawa Barat, yang kini menembus Rp 2 juta sehari. Padahal, sewaktu pertama dibuka pada 2013, pendapatannya hanya Rp 500 ribu sehari.
Masalah pasokan juga dialami Koperasi Kopi Solok Radjo di Sumatera Barat. Ketua Koperasi Solok Alfadriyan Syah mengatakan produksi kopi yang ditanam di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut itu hanya 1,4 ton per bulan. Sedangkan permintaan sudah melebihi 4 ton per bulan. "Pertumbuhan permintaannya hampir 30 persen per tahun," ucap Alfadriyan.
Koperasi lalu melakukan gebrakan untuk meningkatkan produksi, yakni melakukan peremajaan pohon kopi. Sebab, menambah luas lahan kebun sulit dilakukan karena mayoritas lahan di dataran tinggi Solok sudah ditanami kopi.
DIREKTUR Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang menjelaskan, permintaan yang begitu tinggi terjadi karena produktivitas kopi Arabika masih rendah. Tahun lalu produksi kopi Arabika hanya 24 persen dari total produksi kopi nasional sebesar 664.460 ton. Sisanya dikuasai kopi Robusta. Total luas lahan kopi sampai 2015 mencapai 1,23 juta hektare.
Bambang memperkirakan konsumsi kopi Arabika berkualitas tahun depan bisa naik hingga 15 persen. Dia juga optimistis kopi Arabika bisa menambah pangsa produksi hingga 40 persen pada 2045. Itu sebabnya, pemerintah berencana meremajakan pohon di 8.850 hektare lahan kopi Arabika supaya produksinya meningkat. "Agak sulit kalau menambah lahan baru. Karena dataran tinggi saat ini hampir seluruhnya sudah ditanami."
Adapun Ahmad Syafrudin percaya bahwa luas lahan kopi masih bisa bertambah. Berdasarkan pengamatannya, Pulau Lombok dan Sumbawa berpotensi menjadi produsen kopi Arabika berkualitas. Selama ini Arabika dihasilkan di Jawa, Sumatera, Bali, Flores, Sulawesi, juga Papua.
Di samping itu masih ada persoalan lain. Selain produksi yang rendah, produksi kopi specialty berhadapan dengan kualitas yang tidak konsisten. Bambang sering menemukan hasil panen yang cacat atau defect. Padahal hasil panen periode sebelumnya memuaskan. "Kualitas semestinya harus terkontrol," ujar Bambang.
Kualitas rasa bisa dijaga dengan menerapkan standar baku dalam produksi kopi. Jika ada hal yang di luar kendali, Slamet Prayoga mengandalkan inovasi. Saat anomali cuaca melanda pada awal 2016, Yoga mendirikan bangunan sederhana untuk menjaga kopi tetap kering. Dia menyebut bangunan itu "rumah para-para".
Untuk mengatasi masalah kualitas, dia gencar memberikan penyuluhan kepada petani kopi. Di situ, petani diajari beragam teknik pengolahan kopi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo