Inilah adu jotos yang memecahkan rekor sejarah tinju: dengan bayaran terbesar, dengan ongkos penyelenggaraan terbesar pula. Banyak orang menjagoi Tyson, si manusia besi yang seolah tak mempan pukulan, yang biasa meng-KO lawannya di ronde pertama. Tapi si cerdik Spinks, 10 tahun lebih tua daripada lawannya, berani tampil tentu dengan perhitungan tak sembarangan. Juara kelas berat-ringan yang menantang juara kelas peringkat di atasnya itu, kelas berat, memang punya bekal kelincahan yang luar biasa. Tapi mungkin Donald Trurnp, pengusaha muda yang lagi maju pesat, penyelenggara acara ini, yang paling punya perhitungan, dengan menanamkan Rp 18,5 milyar untuk pertandingan jotos terbesar ini, bisa jadi ia akan mengeruk jutaan dolar. IA berjalan lurus menuju ring. Massa mengelu-elukannya, riuh rendah. Ia tak peduli. Ia seperti tak mendengar hiruk-pikuk itu. Tak ada senyum tersungging di bibirnya, tak ada lambaian tangan simpati darinya. Bahkan sinar matanya tak menunjukkan bahwa ia akan menjadi pokok acara: seorang yang dijagokan bakal menjuarai arena tinju kelas berat dalam sepuluh tahun kini. Semua berjalan begitu biasa seperti berlalunya hari-hari. "Aku tak pernah berharap menjadi superstar. Aku hanya ingin menjadi juara sejati." Mike Tyson, si wajah datar tanpa ekspresi, juara kelas berat yang dijagokan, itulah dia. Dan berani bertaruh, tingkah seperti itu juga yang akan dipertontonkannya kepada ribuan penonton di Trump Plaza, Atlantic City, AS, Senin pekan ini, dalam sebuah pertandingan termahal selama ini. Tyson, petinju yang tak berusaha - atau berniat - menyemarakkan suasana arena pertandingan. Ia biarkan ribuan watt listrik menyala di atas ubun-ubunnya. Ia tak ambil peduli ratusan lensa kamera membidik seluruh gerak-geriknya. Ia tak mencoba mengambil keuntungan dengan, misalnya, meneriakkan namanya sendiri sembari mengacung-acungkan kepalan seperti yang selalu dilakukan si legendaris Muhammad Ali. Ia pun tak menatap mata lawannya guna menjatuhkan mentalnya, seperti yang dulu dilakukan Foreman. Seperlunya saja ia menggerakkan tubuh. Sesekali ia menggoyang kepala, menekuk batang lehernya yang per.dek, tebal, dan hampir macam beton. Matanya yang sipit tidak memandang siapa-siapa. Dengan celana hitam, sepatu tanpa kaus, potongan rambut pendek, rajah di lengan berbunyi "Mike", sosok petinju dunia ini persis anak sekolah yang siap diadu. Lalu apa yang diperhatikan si hitam kelahiran Brooklyn, New York, daerah yang miskin itu? Ia hanya menunggu bel berbunyi. Bagaikan jago samurai Musashi yang terkenal itu, yang menunggu gerakan lawan hanya untuk dia gebuk sampai hancur, pikiran Tyson cuma terpusat untuk menyudahi pertarungan selekas mungkin. Sekali lagi, itulah kira-kira lagak yang akan dipertontonkannya pekan depan, yang menjanjikan bayaran US$ 18,5 juta buatnya, dan US$ 13,5 juta buat lawannya, Michael Spinks. Bayaran yang memecahkan rekor pertandingan yang menggemparkan tahun lalu, ketika "pensiunan" Sugar Ray Leonard menjotos dengan angka si badak Marvin Hagler. Waktu itu Ray dibayar US$ 12,5 juta, Hagler US$ 15 juta. "Saya tidak tertarik untuk berpikir kalah. Tak seorang pun di bumi ini bisa mengalahkan saya." Mike Tyson tentu tak membual. Di balik wajahnya yang datar, sebenarnya dalam kepalanya penuh perhitungan. Ia tentu tahu lawan yang dihadapinya sekarang: Michael Spinks, petinju kelas berat-ringan yang mampu menjotos jatuh Larry Holmes, petinju andalan di abad ini. Peffnju yang dari sejarah pertandingannya boleh dibilang lebih matang daripada dirinya. Memang, bila ia naik ring minggu depan, ia tanpa mahkota: gelar juara dari IBF dicopot karena ia pernah menolak bertanding. Sementara itu, di pinggang Tyson melilit tiga sabuk juara. Satu, sabuk WBC, diperolehnya ketika ia menjungkalkan Trevor Berbick pada ronde kedua. Lalu James Smith, petinju yang dijuluki "si pematah tulang", dibikinnya ketakutan hingga menyerahkan gelar WBA-nya. Dan sabuk IBF diperolehnya ketika bogem Tyson mematahkan tangan Tony Tucker. Bila pertandingan kali ini ditunggu oleh penggemar tinju di seluruh dunia, itulah karena lawan Tyson lebih dari ketiga orang itu. Michael Spinks, Anda pun tahu, tak pernah kalah. Dan dari semua pertarungannya, dua pertiga diantaranya dimenangkan Spinks dengan knock out. Ada satu hal dalam sejarah hidup mereka sebagai petinju yang sama: dua-duanya mengakhiri pertandingan profesional pertamanya hanya dalam satu ronde. Dan bila banyak orang menjagoi Tyson, bisa dimengerti: dari 34 kali bertanding, hanya 4 kali lawan selamat hingga akhir pertandingan. Hampir separuh lawan menyerah di ronde pertama. Spinks, seperti sudah disebutkan, memang lebih makan asam garam. Ia bergelut di tinju profesional sejak 1977, delapan tahun sebelum Tyson menggunakan kepalannya. Cuma, dalam frekuensi bertanding, Tyson menang: tiga kali lebih banyak ketimbang Spinks. Andalan Spinks pukulan yang amat cepat dan gerakan yang lincah. Sementara itu, Tyson, orang yang tak peduli apakah caranya bertinju enak ditonton atau tidak, benar-benar punya tenaga yang dahsyat, teramat dahsyat untuk tidak menjungkalkan lawan dengan sekali pukul. Tentu saja, ia lebih muda daripada Spinks - ia 21 tahun dan lawannya sekarang 31 tahun. Menonton pertandingan Tyson bukanlah menonton pertandingan Muhammad Ali yang peuh entertainment. Pada Ali ada lagak, ada perang urat saraf, ada elakan-elakan yang tak terduga, dan kemudian sodokan yang bagaikan pukulan drum memberi makna pada keseluruh melodi. Tyson petinju yang seolah mengabaikan straei. Ia hanya melangkah maju, memukul dan memukul dengan geledeknya. Sebuah cara bertinju yang paling primitif, tak lebih dan tak kurang. Namun, bagi seorang pengamat tinju profesional, cara bertinju Tyson bukannya tanpa keindahan. Bagaikan karya seni rupa yang tak lagi mementingkan wujud dan komposisi, namun yang ditekannya ide atau gagasan, demikianlah si pukulan geledek ini. Sosok dan caranya tampil ke ring, lalu caranya berkelahi, sepenuhnya mencerminkan makna adu jotos yang sah dan halal ini: sebuah pertunjukan yang memancing naluri sadistis penonton. Singkat kata, Mike Tyson adalah citra sebuah kebrutalan. Keras dan kasar memang Tyson, sekeras jalan hidupnya. Ia terlahir dalam keluarga miskin, dan tak pernah tahu siapa ayahnya. Di kawasan ia muncul ke dunia, di daerah kumuh Brooklyn, orang mengenalnya sebagai anak liar. Ia benar-benar seorang gelandangan: tidur di sudut-sudut bangunan kosong, kadang terpaksa menodong agar tak mati kelaparan. Tapi ia tahu batas, agaknya, ia bukan yang terbrutal di Brooklyn. "Teman-teman saya ada yang membunuh orang." Mungkin itu berkat jasa Tyron School, yang suatu hari menciduknya - suatu hari sebelum ia sempat membunuh. Tyron School, itulah semacam tempat penahanan anak berandal. Dan takdir rupanya memang sudah menggariskan sebuah hidup yang bertumpu pada kekuatan jotos. Suatu kali Bobby Stewart, pekerja sosial di penampungan itu, yang memang bekas petinju, menantang Tyson. Maka, Tyson kecil, yang agaknya malu menolak, pun tersungkur. Itulah kali pertama Tyson mencium tanah karena dipukul orang. Tak jelas, adakah bekas petinju itu melihat bakat dalam diri Tyson, maka ia lalu membawanya ke Cus D'Amato, pelatih bertangan dingin yang pernah mengantarkan Floyd Patterson menjadi juara dunia. Yang jelas, Bobby memang tertarik pada kenekatan si berandal. Bayangkan, waktu itu Tyson masih bertubuh kecil, sementara Bobby tentu sa3b telah segede bison prairi. Yang jelas lagi, sepintas melihat, D'Amato tertarik pada bocah 13 tahun ini. "Dialah juara tinju kelas berat dunia, jika dia menghendakinya," kata D'Amato, seperti memperoleh ilham dari langit. Oleh D'Amato kebrutalan bekas gelandangan Brooklyn itu malah dipertajam. Ia tunjukkan sasaran mematikan: rahang, ulu hati, pinggang. Sesuatu yang mestinya sudah diketahui Tyson ketika masih bergelandangan dan harus siap melawan gelandangan lain yang bertubuh lebih besar darinya. Bedanya, kini ia memukul dengan teknik. Lebih dari hanya seorang pelatih, dalam diri D'Amato, Tyson menemukan seorang ayah. Dan pelatih itu memang tak cuma mengajarinya bertinju, tapi juga bagaimana bergaul. Kekakuan pribadi Tyson sedikit demi sedikit diubahnya. Dimasukkannya ke dalam kepala Tyson etika dan sedikit filsafat - atau semacam itulah. Umpamanya, orang mesff bermasyarakat dan punya arti dalam kehidupan. Hati Tyson pun disiraminya untuk menumbuhkan nurani. Kemudian ia paksa Tyson melahap buku-buku tinju - sejarah tinju, biografi para juara. Dan dipertunjukkannya rekaman film pertandingan tinju besar terdahulu. Tak jelas, seberapa pengaruhnya itu semua terhadap diri Tyson. Yang pasti, si bocah tumbuh menjadi seorang yang tetap polos, yang lebih tahu cara memukul ketimbang soal lainnya. Tyson, yang tinggal di rumah D'Amato, disekolahkan. Sial, hidup mapan seperti itu hanya membuatnya boyak. Tyson lebih sering terganggu oleh hiruk-pikuk riang teman sekolah. Dan acap kali ia tak bisa menahan untuk tidak melayangkan tangannya. Teguran sekolah hanya membuatnya makin tersisih. Kaburlah Tyson meninggalkan pendidikannya di kelas sebelas (setingkat SMA), dan semata menekuni bertinju. D'Amato, untunglah, tetap menaruh kepercayaan padanya. Kalau seseorang suka pada merpati, kata si D'Amato, ia masih punya hati. Dan Tyson si polos ini memang tergila-gila pada burung dara. Aneh memang, sementara ia menyayangi merpati, di ring, bogem Tyson bagaikan martil mencari mangsa. Keganasan, itulah yang ditunjukkan Tyson sejak awal bertinju, sejak ia masih amatir. Hari demi hari dilaluinya, setapak demi setapak jalan menuju kejuaraan dunia ditempuhnya. Satu demi satu lawan dibantainya. Si bekas gelandangan, berkat dorongan D'Amato, melambungkan mimpinya tak tanggung-tanggung: ke Olimpiade merebut emas. Tapi dunia, seperti juga ring tinju, tidak begitu saja murah hati. Sebuah pukulan diberikan kepada Tyson: pada seleksi terakhir, ia kalah. Impian pun buyar, Tyson pun patah. Adalah D'Amato yang kemudian menjaga anak asuhnya untuk tak sampai patah arang. Ia pindahkan Tyson ke arena profesional, yang lebih ingar. Kala itu kalender menunjukkan tahun 1985. Tahun yang melambungkan nama Spinks ke puncak ketenaran setelah mempecundangi Larry Holnes. Dan itulah tahun permulaan bagi Tyson. Di tahun itu dalam 10 bulan ia bertanding 15 kali - hal yang tak pernah dilakukan oleh petinju profesional lain. Dan kesemuanya diakhiri dengan KO, 12 kali di antaranya terjadi pada ronde pertama. Pada tahun berikutnya, lawan makin berat. Tapi Tyson tak mengubah jurusnya. Tetap saja ia memukul dan memukul, seolah tanpa taktik, sampai lawan jatuh. Sampai di sini masyarakat tinju belum memandang kepadanya, dengan sebelah mata sekalipun. Apalagi si "tinju peluru" Joe Frazier. Dalam pikiran bekas juara itu, Tyson mudah dikalahkan anaknya, Marvis Frazier. Kepada anak ini tugas dipikulkan: menghentikan laju si tukang meng-KO. Joe keliru, dan Tyson memberitahukan kekeliruan itu dengan cara memukul jatuh Marvis pada menit pertama, ronde pertama. Ketika itulah orang mulai melek. Bahkan majalah tinju Ring, yang menyebut diri "Bibel Pertinjuan", mengucapkan "Selamat datang era Tyson". Benar. Jose Ribalta, lalu Alfonso Ratliff - nama-nama beken di arena tinju - dibuat keok satu per satu oleh Tyson. Kemudian tibalah saat itu 22 November 1986. Tyson menantang Trevor Berbick, si juara WBC. Sungguh, zaman Tyson memang telah datang. Ia hanya memerlukan waktu 5 menit 35 detik untuk membuat sang juara mencium kanvas. Dunia pun bertepuk untuknya: dialah juara termuda di kelas berat. Bayangkan, hari itu usia Tyson baru 20 tahun 145 hari. Kegembiraan memang sering tak sempurna. Sementara elu-eluan diterima Tyson, dalam hati juara termuda itu ada yang tak lengkap. Seseorang yang diharapkannya memandangnya dengan bangga, ketika sabuk kejuaraan dililitkan ke pinggangnya, tak ikut menyaksikan. D'Amato, pelatihnya yang sudah dianggapnya ayahnya sendiri, telah tiada setahun sebelum kemenangan ini ia raih. "Dia melakukan segalanya untukku. Dia pernah mengatakan aku akan menjadi juara termuda dalam sejarah. Dan apa yang dikatakannya benar-benar terjadi." Kita tak tahu, ketika itu hati Tyson bungah atau justru prihatin. Yang kemudian diketahui dari orang yang kini diariggap layak dicatat sejarah hidupnya ini, ia punya cita-cita yang tak mungkin sampai. Sejak kecil Tyson ingin membahagiakan ibunya, perempuan yang menderita seumur hidup. Tapi apa mau dikata bila ibu itu sudah meninggal, jauh sebelum anaknya jadi tenar dan berlimpah uang. Tampaknya, nasib Tyson merupakan perpaduan antara sukses dan kehilangan. Maret lalu, begitu ia merobohkan Tony Tubbs di Tokyo, ketika itulah Jims Yacobb, manajer yang amat disayanginya, mengembuskan napas terakhir. Mungkin, siapa tahu, itulah yang membuatnya selalu berwajah datar bila naik ring konon, begitu pulalah ekspresi wajahnya keffka ia menerima tantangan Bobby pertama kali di rumah penampungan dulu, ketika umurnya belum genap 13 tahun. Dan tetap saja ia melakukan tinju lebih mirip orang berkelahi: menyeruduk, menyodok belakang kepala lawannya, kadang kala menyikut. Petinju kuat macam Pinklon Thomas, Tyrell Biggs, dan Larry Holmes hanya menjadi bulan-bulanan pukulannya. Tapi di luar ring Tyson memang berubah. Anak gelandangan yang dulu terpaksa menodong sekadar agar tak mati kelaparan itu kini sopan, meski tetap pendiam dan sensitif. Teman-teman dekatnya menilai Tyson punya pribadi yang baik. Ia tidak larut dalam minuman keras. Ia malah ikut berkampanye antinarkotik. Memang, ada kalanya ia pun ketahuan berbuat yang bukan-bukan. Misalnya, ia ketahuan mencium paksa seorang gadis yang ditemuinya di sebuah taman. Dan satpam yang mencoba membela gadis itu dihadiahinya dengan kepalan. Tentu saja roboh. Banyak pengamat mulai melirik Tyson untuk menyebutnya petinju terbesar abad ini. Orang menyepadankannya dengan Joe Louis, si raja kelas berat tahun 1940-an. Mereka sama-sama fighter dan punya pukulan geledek. Mereka sama-sama bertarung dengan gaya sederhana. Memang masih ada juga yang meragukan si leher kekar (bergaris lingkar 50 cm) ini. Alasannya, Tyson belum cukup teruji. Tak ada petinju yang benar-benar tangguh yang muncul di masa Tyson. Tim Witherspoon, Francesco Damiani, Frank Bruno, atau Foreman tua yang menunggu kesempatan menghadapi Tyson, juga bukan petinju luar biasa. Majalah Ring, yang menyebut zaman ini zamannya Tyson, menempatkan peringkat Tyson di bawah Spinks. Aneh juga pandangan majalah tinju satu ini. Adapun alasannya, karena Spinks yang, "tidak akan meladeni pertarungan brutal. Kemampuan akal menjadi andalan saya," memang cerdik dan cepat. Mudah dimengerti bila untuk pertandingan pekan depan itu hampir semua penggemar tinju memegang Tyson. Namun, dari yang sedikit yang memegang Spinks, salah seorang di antaranya adalah Muhammad Ali. "Spinks bereaksi sangat cepat dan punya kaki lincah," kata Ali. Larry Holmes, satu-satunya petinju yang pernah merasakan pukulan keduanya, membantah Ali. Menurut Holmes, modal Spinks hanya kecepatan. Dan itu tak cukup buat mengalahkan orang yang tahan pukul, garang, dan punya pukulan dahsyat. Sesungguhnya, yang dimiliki Tyson tak cuma itu. Melihat sejarah hidupnya, dunia tinjulah satu-satunya arena yang memberinya makna hidup. Di ringlah satu-satunya kesempatan buatnya "membalas" nasib yang tak ramah: hidupnya menjadi cerah tapi ibunya tak ikut merasakan, prestasinya menanjak dan si guru D'Amato pun tak ikut menyaksikannya. Coba, lihatlah bila Tyson naik ring - wajah yang tanpa ekspresi itu, lalu jalannya yang datar. Tampaknya, hanya malaikatul maut yang bakal menghentikan Tyson. "Saya tak mau kalah. Kalau itu terjadi, saya harus mati dulu dan digotong ke luar ring."