Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bidikan Samar tanpa Tenggat

Pengusutan kasus mobile crane di Badan Reserse Kriminal Polri seperti jalan di tempat. Polisi tak memasang target waktu.

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Urusan Richard Joost Lino tidak hanya menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi. Bekas Direktur Utama Pelindo II itu juga masih bolak-balik dipanggil polisi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sepuluh mobile crane.

Lino terakhir kali diperiksa polisi, yakni pada awal dan akhir November 2015. Dia tak datang ketika dipanggil untuk pemeriksaan ketiga kalinya pada Senin pekan lalu. Lino memilih menghadiri acara serah-terima jabatan Direktur Utama Pelindo II dengan penggantinya, Dede R. Martin.

Sejak Agustus tahun lalu, penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI sudah memeriksa 75 saksi, termasuk Lino. Meski sudah memeriksa begitu banyak saksi, Bareskrim baru menetapkan satu tersangka. Dia adalah Direktur Teknik Pelindo II Ferialdy Noerlan. "Kami hati-hati menangani kasus ini," kata Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Anang Iskandar, Selasa pekan lalu.

Kasus pengadaan sepuluh mobile crane itu bermula dari usul manajemen pusat Pelindo II pada 2010. Kala itu, kantor pusat Pelindo II mengusulkan pembelian alat angkat berat yang terdiri atas tujuh derek berkapasitas 65 ton dan tiga derek berkapasitas 25 ton.

Proses lelang berlangsung dua kali. Lelang pertama, pada Agustus 2011, diikuti lima perusahaan yang mendaftar secara elektronik. Namun hanya Guangxi Narishi Century Equipment Co Ltd yang menyampaikan harga penawaran, yakni sebesar Rp 45,94 miliar. Harga yang ditawarkan perusahaan asal Cina itu masih di bawah harga perkiraan sendiri (HPS) yang dibuat Pelindo II, yaitu Rp 46,2 miliar. Toh, lelang gagal karena tawar-menawar harga untuk setiap unit derek tidak mencapai titik temu.

Lelang dilanjutkan pada akhir November 2011 dengan HPS sebesar Rp 46,2 miliar. Kali ini, dari enam perusahaan yang mendaftar, hanya dua yang mengajukan penawaran. Perusahaan tersebut adalah Guangxi Narishi dan PT Ifani Dewi. PT Ifani tidak lolos karena spesifikasi yang ditawarkannya tak sesuai dengan permintaan Pelindo II.

Awalnya, Guangxi menawarkan harga yang sama seperti pada lelang pertama. Lewat negosiasi, Guangxi akhirnya mematok harga Rp 45,6 miliar. Jangka waktu pelaksanaan kontrak 180 hari, mulai 8 Juni hingga 8 Desember 2012. Dalam kontrak juga disebutkan pengadaan sepuluh derek itu untuk memenuhi kebutuhan pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur, Cirebon, Bengkulu, Banten, dan Jambi.

Dalam proses pengadaan, Guangxi dan Pelindo II dua kali melakukan pengubahan (adendum) kontrak kerja. Adendum pertama, pada 3 Desember 2012, mengubah termin pembayaran, yang semula empat kali menjadi tiga kali. Adendum kedua, pada 8 Agustus 2013, mengubah penempatan semua mobile crane ke Pelabuhan Tanjung Priok. Pengubahan ini disertai pengurangan biaya Rp 190 juta.

Pengalihan sepuluh mobile crane ke Tanjung Priok selanjutnya dibahas dalam rapat direksi Pelindo II pada Juli 2013. Lino hadir dalam rapat tersebut. "Pengalihan karena memang ada kebutuhan dari Pelabuhan Tanjung Priok," ujar Lino.

Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Komisaris Besar Agung Setya mengatakan polisi melihat perencanaan yang berubah-ubah sebagai indikasi tindak pidana korupsi. "Perencanaan tidak benar dan tidak didasari analisis kebutuhan pengadaan barang," kata Agung. "Ada indikasi pencucian uang juga."

Ketika diperiksa, menurut Agung, delapan kepala cabang pelabuhan mengaku tidak pernah mengusulkan pengadaan mobile crane. "Seharusnya alur perencanaan bisnis di Pelindo II dimulai dari usul di cabang," ujarnya.

Polisi juga menyebutkan ada upaya menguntungkan diri sendiri atau korporasi. Modusnya dengan mengubah sistem pembayaran sekaligus (lumsum) menjadi pembayaran bertahap. Sebanyak 20 persen dibayarkan sebagai uang muka. Sedangkan sisanya dicicil.

Dari sisi pemenang lelang, polisi menilai PT Guangxi tidak memiliki pengalaman dan kemampuan dalam pengadaan alat angkat berat. Bagaimana ceritanya Guangxi bisa terpilih sebagai pemenang lelang, Lino pun tak bersedia menjelaskan. Alasannya, dia sama sekali tak mengurusi pengadaan sepuluh mobile crane itu. "Di banyak perusahaan mungkin direktur utama itu mengurusi siapa pemenang tender. Di tempat kami tidak pernah sama sekali," kata Lino.

Sejauh ini, polisi masih menunggu penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan atas jumlah kerugian negara dalam pengadaan sepuluh mobile crane itu. "Kami bisa cepat menyelesaikan perkara ini bila BPK menyelesaikan penghitungannya," ujar Agung.

Pada awal 2015, BPK merilis hasil audit atas keuangan dan aset Pelindo II selama kurun 2010-2014. Yang diaudit antara lain pengadaan sepuluh mobile crane.

Berdasarkan dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan, ditemukan kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 456,5 juta. Kekurangan penerimaan itu terjadi lantaran ada penalti atas keterlambatan pengiriman barang. Saran BPK waktu itu, operator harus dikenai denda maksimum lima persen. Selain itu, BPK meminta Direktur Teknik Pelindo II lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan yang menjadi tanggung jawabnya.

Menurut Lino, rekomendasi pengenaan denda telah dilaksanakan Pelindo II pada 6 April 2015. Sebelum ada rekomendasi BPK, Pelindo II telah mengenakan denda empat persen. "Kemudian kami kenakan denda tambahan satu persen untuk memenuhi rekomendasi BPK," ujar Lino.

Di samping memeriksa saksi dan membedah dokumen, menurut Agung, penyidik Bareskrim telah menguji coba sepuluh mobile crane di Pelabuhan Tanjung Priok. Pada uji coba kedua, 10 Desember tahun lalu, polisi membawa beberapa ahli. Mereka antara lain berasal dari Pusat Laboratorium Forensik, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada.

Menurut Agung, beberapa mobile crane yang diuji tidak bisa mengangkat beban yang disiapkan. Selain itu, terdapat kerusakan pada komponen tertentu alat berat tersebut. "Kami masih menunggu hasil analisis dari tim ahli," kata Agung.

Sebaliknya, Lino membantah pernyataan bahwa sepuluh mobile crane itu bermasalah. Ketika diuji coba, menurut dia, mobile crane bisa bergerak dengan baik hingga putaran 360 derajat. Sebelum disita polisi, sepuluh mobile crane itu juga telah beroperasi. Berdasarkan nota jasa layanan yang dimiliki Pelindo II, peralatan itu telah menyumbangkan pendapatan Rp 3,7 miliar selama periode April 2014 hingga Juli 2015.

Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Anang Iskandar tak bersedia menjelaskan detail kemajuan penyidikan kasus mobile crane. Ia hanya menyebutkan pengusutan kasus ini melibatkan berbagai institusi, seperti BPK, KPK, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. "Kami tak memakai target waktu," ujar Anang, Selasa pekan lalu.

Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus