Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAGRIB baru saja lewat ketika Muchdi Purwoprandjono berpamitan kepada para penasihat hukumnya, Kamis pekan lalu. Ia memeluk satu per satu pengacara. Musik kecapi-suling mengalun di Restoran Dapur Sunda, di Mal Butik Bellagio, Mega Kuningan, Jakarta, tempat mereka bertemu sekitar tiga jam.
”Bismillah,” kata M. Luthfi Hakim, satu di antara 14 pengacara yang hadir, kepada Muchdi. Wirawan Adnan, juga pengacara, menimpali, ”Tabah dan sabar, ya.” Muchdi, purnawirawan mayor jenderal, menjawab kalem, ”Wis Mas, enggak apa-apa, aku sudah biasa mangkat (berangkat) perang, kok.”
Namun malam itu Muchdi bukan hendak berperang. Ia memutuskan datang ke Markas Besar Kepolisian. Mantan Deputi V/Penggalangan Badan Intelijen Negara itu sebetulnya dipanggil Kamis pagi, pukul 09.00, untuk diperiksa sebagai tersangka baru kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir. Tapi ia merasa belum siap. Ia memilih hadir di kantor Partai Gerakan Indonesia Raya untuk menerima tim verifikasi Komisi Pemilihan Umum. Muchdi adalah wakil ketua umum di partai itu.
Dalam pertemuan dengan para penasihat hukum di Dapur Sunda itu, dua meja disiapkan. Muchdi menghabiskan secangkir kopi, lalu memesan segelas besar teh. Menjelang akhir pertemuan, tiba-tiba ada kontak dari Brigadir Jenderal Mathius Salempang, ketua tim penyidik kasus Munir.
Menurut Wirawan, pada saat itu Muchdi menjawab, ”Ya, sebentar lagi saya ke situ. Saya sedang berbicara dengan penasihat hukum.”
Semua yang hadir segera yakin, ”Gus Much”—begitu para pengacara menyebut dia—akan langsung ditahan. Mereka memutuskan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu hanya ditemani satu pengacara: Muhammad Ali, dari Lembaga Bantuan Hukum Ampera. ”Kami memperkirakan pemeriksaan pertama belum masuk substansi,” kata Luthfi, ”jadi tidak perlu didampingi banyak pengacara.”
Setelah bersalam-salaman, Muchdi dan Muhammad Ali segera pergi semobil. Di tengah jalan, menurut sumber Tempo, seorang penyidik menelepon dan minta Muchdi tak langsung ke Markas Besar Kepolisian di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Ia diminta datang ke Apartemen Istana Sahid, Jalan Sudirman. Alumnus Akademi Militer 1970 itu pun membelokkan mobil ke tujuan baru.
Di Sahid sudah menunggu Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala Badan Reserse Kriminal, yang ditemani Direktur Keamanan Transnasional Brigadir Jenderal Badrodin Haiti dan Mathius Salempang. Belasan penyidik dan anggota pengamanan juga bersiaga. Tak sampai setengah jam, mereka meninggalkan Istana Sahid. Muchdi dan Ali semobil dengan Mathius, sedangkan Bambang bersama Badrodin. Sekitar pukul 19.30, rombongan ini tiba di Markas Besar Kepolisian.
Muhammad Ali menuturkan versi lain. Ia mengaku ke Istana Sahid untuk makan malam di restoran Jepang bersama Muchdi. Mereka memesan salmon teriyaki. Di situ, Ali menelepon penyidik agar dijemput. ”Kami perlu jemputan karena mobil kami tak bisa masuk Markas Besar Kepolisian,” ujarnya. Mathius Salempang dan timnya lalu menunggu di dekat Masjid Al-Azhar, sekitar lima menit dari Markas.
Pertemuan di Istana Sahid tak banyak menarik perhatian. ”Kami tidak tahu-menahu tentang penangkapan,” kata Hidayat Brata Diharja, general manager apartemen 21 lantai itu, kepada Rina Widiastuti dari Tempo. ”Jika ada penangkapan, pasti ada laporan ke sekuriti.” Ia pun memastikan tak ada nama Muchdi dalam daftar penghuni apartemennya.
Hotel Sahid punya kaitan istimewa dengan kasus ini. Dua bulan sebelum Munir dibunuh dalam penerbangan Garuda GA-974 Jakarta-Amsterdam, 7 September 2004, Direktur Utama Garuda Indra Setiawan bertemu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto. Pertemuan Indra dengan pilot senior di maskapai penerbangan milik negara itu berlangsung di sebuah restoran di hotel tersebut. Di persidangan, Pollycarpus membantah keterangan mantan bosnya.
Menurut Indra, anak buahnya itu memberikan surat berklasifikasi rahasia dari Badan Intelijen Negara. Diteken M. As’ad, wakil kepala lembaga itu, surat tersebut berisi permintaan agar Pollycarpus ditempatkan di Unit Keamanan Penerbangan. Merespons surat ini, Indra menerbitkan surat penempatan Pollycarpus ke unit keamanan pada 11 Agustus.
Malangnya, begitu pengakuan Indra, surat dari Badan Intelijen itu hilang ketika mobilnya dibobol pencoleng di pelataran parkir Hotel Sahid, akhir 2004. Tapi Budi Santoso, Direktur Supporting Unit Badan Intelijen Negara pada 2004, membenarkan adanya surat rekomendasi itu. Ia mengatakan pernah diminta Pollycarpus mengoreksi konsep surat yang hendak diteken As’ad. ”Itu surat rekomendasi agar Pollycarpus masuk corporate security Garuda,” katanya kepada polisi.
Dengan posisi baru di Unit Keamanan Penerbangan, Pollycarpus meminta Rohainil Aini, sekretaris pilot yang divonis bebas pada kasus ini, agar mengubah jadwal penerbangannya. Ia, yang semula dijadwalkan ke Beijing pada 6 September 2004, minta terbang ke Singapura. Munir, yang hendak menuju Amsterdam, ada di pesawat ini.
Dalam penerbangan Jakarta-Singapura, Pollycarpus menawarkan kursinya di kelas bisnis kepada Munir. Tawaran ini diterima, sehingga sang aktivis, yang bertiket ekonomi, duduk di kursi 3K di kelas bisnis. Menurut pengadilan, ini cara Pollycarpus agar Munir cepat keluar untuk makan dan minum ketika pesawat transit di Bandara Changi, Singapura.
Di Coffee Bean, Changi, Pollycarpus menemani Munir minum. ”Di situ, Munir duduk menunggu minuman yang dipesan dan dibawakan sendiri oleh Pollycarpus,” seperti tertulis dalam berkas putusan pengadilan. ”Itulah saat paling tepat melaksanakan maksud Pollycarpus untuk memasukkan sesuatu ke dalam minuman.”
Seperempat jam setelah pesawat meninggalkan Changi, Munir mulai mual-mual. Nyawanya tak tertolong ketika pesawat terbang di langit Rumania, sejam lebih sebelum mendarat. Berdasarkan uji laboratorium, Kementerian Kehakiman Belanda menyatakan Munir tewas diracun arsenik. Uji forensik lebih lanjut di laboratorium Seattle, Amerika Serikat, memastikan racun masuk tubuhnya ketika pesawat transit di Changi.
Bukti-bukti baru itu menjerat Pollycarpus, yang dibebaskan Mahkamah Agung dalam proses kasasi. Kemudian ia dihukum 20 tahun penjara dalam sidang peninjauan kembali yang diajukan kejaksaan. Pilot berusia 47 tahun itu kini menghuni Penjara Sukamiskin, Jawa Barat. Segera setelah keluar putusan, polisi memburu kaitan Pollycarpus dengan Muchdi yang tercium sejak awal penyidikan.
Langkah pertama, polisi mencari bukti bahwa Muchdi dan Pollycarpus saling kenal—yang selama ini disangkal keduanya. Budi Santoso, bekas bawahan Muchdi, menceritakan kedekatan Pollycarpus dengan bosnya. Ia mengatakan sering ditelepon bosnya untuk menanyakan keberadaan Pollycarpus, atau sebaliknya.
Agen yang punya nama samaran Wisnu Wardana itu mengatakan pernah diminta Muchdi memberi Pollycarpus Rp 10 juta. Ia masih menyimpan catatan pengeluaran uang ini. Di situ tertulis duit untuk ”Poli/Pilot?” dikeluarkan pada 14 Juni 2004. Untuk memastikan keterangan ini, penyidik kembali memeriksa Budi Santoso di Singapura. Menurut Luthfi Hakim, keterangan-keterangan agen intelijen ini ditanyakan penyidik kepada Muchdi dalam pemeriksaan Jumat pekan lalu.
Polisi pun mengutak-atik komputer di kantor Deputi Urusan Penggalangan Badan Intelijen Negara. Di sini penyidik menemukan daftar nama dan nomor telepon jejaring intelijen yang antara lain mencantumkan nama Pollycarpus. Dengan teknologi forensik komputer, file konsep surat penugasan Pollycarpus yang kemudian diteken As’ad juga bisa dilacak.
Menurut Luthfi, Muchdi membantah semua tuduhan penyidik. ”Dia membantah kenal dekat dengan Polly dan bahwa dia pernah memberi Polly uang Rp 10 juta,” katanya.
Dimintai konfirmasi soal bukti baru, Bambang Hendarso Danuri menolak menjawab. ”Pokoknya, kami punya banyak bukti baru,” katanya, Kamis malam pekan lalu. Adapun Luthfi Hakim mengatakan tak ada komputer di kantor Muchdi. ”Pak Muchdi mengaku gatek (gagap teknologi), jadi tidak pernah punya komputer,” kata Luthfi.
Muchdi dipanggil ”Django” oleh rekan-rekan seangkatannya di Akademi Militer, seperti Jenderal Purnawirawan Subagyo Hadisiswoyo dan Jenderal Purnawirawan Tyasno Sudarto. ”Saya dipanggil Django karena suka menembak,” katanya kepada Tempo dua tahun silam.
Awal karier militer Muchdi, yang lahir di Yogyakarta, 15 April 1949, banyak dijalani di jalur parakomando. Ia diangkat menjadi Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus atau Kopassus pada 1998 menggantikan Prabowo Subianto, yang naik menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Tak sampai setahun ia menduduki jabatan itu.
Munir-lah yang mengakhiri karier Muchdi. Ia dengan gigih membuka kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa pada 1997, sehingga terbongkar peran Komando Pasukan Khusus dalam aksi itu. Sebelas anggota Tim Mawar, tim yang terlibat operasi penculikan, diadili. Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk memutuskan Prabowo dipensiunkan dini, sementara Muchdi dan Kolonel Chairawan, perwira yang dianggap ikut bertanggung jawab, dibebaskan dari semua jabatan militer.
Dua tahun ”diparkir” di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Muchdi direkrut Abdullah Mahmud Hendropriyono, Kepala Badan Intelijen Negara, pada 2001. Ia diangkat menjadi Deputi Bidang Penggalangan. Tiga tahun setelah itu, Munir terbunuh. Muchdi pun disorot karena nomor telepon yang dia pakai tercatat menghubungi Pollycarpus pada hari-hari sekitar pembunuhan. Adapun nomor Pollycarpus beberapa kali menelepon Munir.
Keterangan Budi Santoso, agen yang kini ditugasi sebagai diplomat di Pakistan, menjadi simpul yang menjerat Muchdi. Ia menjelaskan hubungan kedekatan mantan bosnya itu dengan Pollycarpus. Sumber Tempo menyatakan penyidik juga telah meminta keterangan seorang kapten Komando Pasukan Khusus—namanya di tangan polisi. Ia kabarnya mengaku mengetahui rencana pembunuhan Munir beberapa bulan sebelum sang aktivis benar-benar dibunuh. Jika benar: bingo, tersangka tak bisa lari.
Brigadir Jenderal Ricardo Siagian, juru bicara Markas Besar Angkatan Darat, mengatakan belum mengetahui informasi itu. ”Kalau kapten itu masih aktif, mestinya diperiksa Pusat Polisi Militer,” katanya. ”Tapi akan saya cek.”
Bambang Hendarso mengatakan Muchdi dijerat dengan sangkaan pembunuhan berencana. Ia juga diancam dengan pasal tindak pidana penyertaan, yaitu pasal untuk mereka yang menyuruh atau memberikan fasilitas tindak kejahatan. Ancaman hukuman maksimal untuk tuduhan ini 20 tahun.
Beberapa hari menjelang pemanggilan Kamis pekan lalu, menurut sumber Tempo, polisi terus menguntit aktivitas Muchdi. Penjagaan diperketat karena seorang pengacara Muchdi bulan lalu mengatakan, ”Jika ia ditangkap, tiga ratus prajurit Kopassus akan mengepung Markas Besar Kepolisian.” Itu sebabnya rombongan besar polisi hadir ketika sang Django dijemput di Apartemen Istana Sahid.
Budi Setyarso, Gabriel Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo