Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bisnis Harus Berbagi

Posisinya sebagai adik Wakil Presiden tak membuat proyek dan tender Halim Kalla selalu mulus.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FATWA itu tertanam sungguh di hati Halim Kalla, 48 tahun. ”Biar saya saja yang turun ke dunia politik. Yang lain ke dunia usaha saja,” demikian kata sang abang, Jusuf Kalla. Maka, pada 2002, Halim secara resmi keluar dari Partai Amanat Nasional (PAN). ”Saya bukan politisi, sehingga tak bisa mendalami politik praktis,” katanya.

Bagi Dewan Pengurus Daerah PAN Sulawesi Selatan, keberadaan Halim sangatlah sentral. Selain menjadi salah satu deklarator PAN di wilayah itu, Halim sempat menjabat ketua. Bersama sejumlah tokoh setempat, seperti guru besar IAIN Alauddin Makassar, Qasim Mathar, dan akademisi Universitas Hasanuddin, Moh. Asikin, ayah dua anak itu bergabung di PAN karena merasa cocok dengan Amien Rais sebagai tokoh reformasi.

Keluar dari PAN ternyata tak membuat Halim absen dari kegiatan politik. Apalagi, setahun kemudian Jusuf Kalla maju dalam pencalonan presiden lewat Konvensi Partai Golkar. Sebagai adik yang baik, Halim total mendukung Jusuf. Begitu pula ketika Jusuf mengundurkan diri dari konvensi, kemudian bergandengan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, calon presiden dari Partai Demokrat.

Dalam kampanye pemilihan presiden secara langsung, tahun lalu, Halim menjadi ketua tim kampanye untuk Koordinator Wilayah 5 Sulawesi bagi pasangan SBY-JK. Di wilayah ini, suara untuk pasangan SBY-JK memang menjulang. ”Saya menikmati waktu jadi koordinator kampanye SBY-Kalla,” kata Halim. ”Saya banyak ketemu orang.”

Meski mengaku senang terlibat langsung mengantarkan Jusuf Kalla ke kursi RI-2, Halim tak dengan serta-merta tertarik untuk kembali menekuni politik praktis. Ayah dua anak, dari pernikahannya dengan Era Alvani, ini memilih kembali menekuni bisnisnya.

Halim terjun ke bisnis sejak 1982, setelah lulus dari Jurusan Rekayasa Otomotif, Fakultas Teknik Mesin, State University of New York, Amerika Serikat. Pada awalnya ia bekerja sebagai Manajer Peralatan PT Bumi Karsa, perusahaan keluarga Kalla. Kini ia direktur utama perusahaan itu.

Dua tahun kemudian, pada 1984, Halim mendirikan perusahaan sendiri, PT Bumi Rama Nusantara namanya. Usahanya di bidang makanan ternak. Saat ini, selain di Bumi Karsa dan Bumi Rama, ia juga menjadi direktur utama di, antara lain, PT Intim Utama Mobil, PT Intim Sentra Utama, PT Inti Migas, dan PT Makassar Raya Motor.

Adakah yang berubah pada langgam usahanya sejak sang abang menjadi wakil presiden? ”Terus terang, apa yang saya lakukan dari dulu sampai sekarang sama saja,” kata Halim. ”Artinya, saya tidak memanfaatkan jabatan Pak Jusuf Kalla.” Secara terbuka, penggemar otomotif ini mengaku tak mungkin menurunkan aktivitas bisnisnya setelah Jusuf Kalla menjadi wakil presiden.

Bagi Halim, berhasil atau gagal adalah hal biasa dalam bisnis. Yang penting, semua proses berjalan secara terbuka. Sebagai pemain lama, ia pernah memenangi berbagai proyek, termasuk jalan tol Ciawi-Sukabumi dan Cikampek-Cirebon, Jawa Barat. Aslinya, proyek itu diraihnya sebelum krisis ekonomi mendera Indonesia, tapi baru akan dibangun dalam waktu dekat.

Meski begitu, ia juga mengaku sering gagal dan kalah dalam tender proyek. Sekadar contoh, ia kalah dalam tender jembatan layang dan pengadaan ambulans yang digelar Pemerintah Daerah DKI Jakarta beberapa bulan lalu. ”Kalau gagal, ya, sudah,” katanya. ”Jadi, sebagai adik Wakil Presiden, bukan berarti usaha saya terus berhasil.”

Dalam urusan bisnis, Halim tak mau serakah sehingga selalu memaksakan diri untuk menang. Ia percaya rezeki masih banyak dan selalu ada. Sikap ini juga dipegangnya sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulawesi Selatan. ”Saya juga ingin anggota lain dapat proyek,” katanya. ”Bisnis haruslah berbagi.”

Laiknya pengusaha yang memegang tampuk bisnis di dua kota yang terpisah ribuan kilometer, Jakarta dan Makassar, Halim harus pintar-pintar mengatur waktu. Untuk itu, setiap pekan, sepanjang Jumat hingga Senin malam, ia berada di Makassar. Selain mengurus bisnis, Halim bisa bertemu dengan istri dan dua anaknya. Selebihnya, ia berkutat dengan urusan bisnisnya di Jakarta.

Selama di Ibu Kota, Halim tinggal di rumah keluarga Kalla di Jalan Lembang 9, Menteng, Jakarta Pusat. Di daerah itu pula Halim menghabiskan waktu kecilnya. Sejak kelas I sekolah dasar, ia ikut kakak perempuannya yang tertua, Ny. Nurani Kalla. Anak kedelapan dari sepuluh bersaudara itu baru pulang ke Makassar setelah pulang dari sekolah di Amerika pada 1982.

Intensitasnya yang tinggi menempuh rute Jakarta-Makassar membuat Halim akrab dengan penerbangan Lion Air, terutama dalam dua tahun terakhir. Kebiasaan itu dicermati manajemen perusahaan burung besi yang dipimpin Rusdi Kirana itu. Pada 2004, Halim resmi menjadi komisaris independen (tanpa kepemilikan saham) di sana. ”Saya hanya membantu,” katanya. ”Lion itu kawan-kawan saya.”

Tetap saja posisi komisaris itu menebar kecurigaan di kalangan pengusaha penerbangan lain, bahkan di kalangan keluarga Kalla sendiri. Apalagi, jabatan itu disandangnya ketika Jusuf Kalla sedang berada di tampuk kekuasaan.

Hasyim Arsal Alhabsi, Manajer Hubungan Masyarakat Lion Air, membantah keras tudingan itu. Menurut dia, pengangkatan Halim sebagai komisaris semata-mata karena dia kenalan lama Rusdi. Kalau benar keberadaan Halim memiliki dampak besar, Rusdi bertanya, ”Kenapa rute ke Papua sudah dua tahun diajukan tapi belum juga keluar? Rute ke Aceh saja baru dapat izin setelah sembilan bulan. Jadi, logika keberadaan Pak Halim untuk beking tidak benar.”

Bukan sekali ini saja kedekatan Halim dengan pengusaha lain dipersoalkan. Menurut sumber Tempo di keluarga Kalla, Halim pernah disetrap Jusuf Kalla selama dua bulan tak boleh datang ke Istana Wakil Presiden. Dalam masa hukuman itu, Halim juga tak ditelepon Jusuf Kalla.

Awal ceritanya: suatu ketika, pascatsunami di Aceh, Halim menemui Jusuf Kalla bersama pengusaha telekomunikasi Alcatel. Urusannya, ya, untuk pembangunan kembali Aceh. Ternyata tindakan itu memunculkan kesalahpahaman di luar, seolah-olah Halim menjadi calo di situ. Rupanya, Daeng Ucu—panggilan karib Jusuf Kalla oleh adik-adiknya—juga kurang sreg dengan tindakan adiknya itu. Walhasil, jatuhlah setrap berjangka waktu dua bulan pada Halim.

Ketika dimintai tanggapan, Halim mengakui adanya pertemuan itu. Cuma, ia membantah adanya hukuman dari Jusuf Kalla, kakak sekaligus pengganti figur ayahnya itu. ”No, no. Itu cuma isu!” katanya. Jusuf Kalla, ketika dimintai konfirmasi, tak secara tegas membantah. ”Bukan skorsing. Pokoknya tidak boleh memanfaatkan fasilitas. Soal saya marah, itu biasa,” katanya.

Isu atau bukan, posisi Halim terhadap Jusuf Kalla memang rentan disorot. Meski begitu, ia sudah siap. Prinsipnya, sejak awal Halim dan saudara-saudaranya yang lain tak akan membebani Jusuf Kalla. Maklum, kalau urusan bisnis, keluarga ini sudah lama eksis. ”Kami tak banyak bergantung pada posisi Pak Jusuf,” katanya. ”Sebaliknya, kami akan menjaga agar dia bisa bekerja baik untuk masyarakat.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus