Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Borong atau Lepas Valas?

Dolar Amerika Serikat menjadi komoditas yang molek. Tidak layak untuk investasi.

3 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VALUTA Inti Prima terasa se-sak sepekan terakhir. Pengunjung tempat penukaran uang asing di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, itu meningkat hampir dua kali lipat menjadi 600-an, Selasa pekan lalu. Keesokan harinya, pengunjung tak juga berkurang. Mereka antre menjual dolar. ”Mumpung harga lagi bagus,” kata Agung, karyawan perusahaan swasta di Pondok Gede, Bekasi.

Sebaliknya, Gita membeli dolar. Tangannya menggenggam kertas antrean dengan nomor urut 250. Setelah lebih dari satu jam, sohib Agung tersebut mendapatkan US$ 600. ”Saya memerlukan dolar untuk persiapan dinas ke luar negeri,” kata perempuan 28 tahun itu. Selasa itu, dolar memang sedang terbang tinggi. Nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat menembus 12 ribu.

Sepekan lalu, dolar mendadak menjadi barang dagangan yang laris manis. Dengan nilai tukar yang tinggi, banyak orang yang melepaskan ”uang hijau” itu. Sebagian malah berspekulasi. Kendati harganya naik terus, mereka tetap memburu dolar, sembari berharap nilai tukarnya melejit hingga di atas Rp 12 ribu.

Roland Haas, seorang manajer investasi, menilai keliru jika orang memburu dolar untuk investasi. Keuntungan (gain) yang diperoleh memang bisa selangit, tapi risikonya juga besar. Pekan lalu, misalnya, satu euro dihargai 1,23 dolar. Eh, keesokan harinya, dolar terjun ke 1,32. ”Anda bisa untung dengan cepat, tapi juga bisa buntung,” katanya.

Perencana keuangan, Mike Rini, juga tidak merekomendasikan investasi dalam bentuk dolar. Tingkat risiko dolar lebih tinggi ketimbang emas. Anda, katanya, boleh menyimpan dolar selama tujuannya jelas. Misalnya punya kewajiban dalam dolar, punya anak yang sedang bersekolah di luar negeri, atau kerap melakukan perjalanan ke mancanegara. ”Tapi, kalau tebak-tebakan saja, kayaknya terlalu spekulatif.”

Itulah yang membikin Eni, 33 tahun, ogah lagi bermain valas. Karyawan lembaga keuangan pelat merah itu kini berpaling ke logam mulia, setelah investasinya di pasar saham rontok. Dua tahun lalu, dia menginvestasikan Rp 140 juta di pasar saham. Kini nilai investasinya tinggal 35 persen. Berbeda dengan saham atau valuta asing, harga emas cenderung konstan, atau malah naik.

Kalaupun harganya jatuh, tidak sampai nyungsep. Ibu dua anak ini mengoleksi emas sejak harganya masih Rp 1,5 juta per batang (10 gram). Kini nilainya sudah hampir dua kali lipat. Setiap bulan, Eni menyisihkan gajinya untuk membeli sebatang. Saat ini, delapan batang logam mulia tersimpan di laci almarinya. ”Ini investasi yang cocok untuk ibu rumah tangga yang enggak suka perhiasan,” katanya.

Kendati jatuh, menurut Mike, saham tetap menjadi lahan menarik untuk menanam uang. Justru pada saat seperti sekarang ini, ketika harga sedang berada di dasar, investor membeli saham. ”Yang penting jangan menaruh telur di satu keranjang,” katanya. Harga saham yang jeblok bisa diimbangi dengan imbal hasil obligasi tetap dan deposito.

Mike menambahkan, sebelum melangkah, buatlah perencanaan, termasuk target keuntungan. Setelah itu, barulah memilih produk yang bisa memberikan keuntungan sebesar yang ditargetkan. Melihat volatilitas pasar saat ini, dia menyarankan sebagian besar ditempatkan di deposito, kemudian obligasi retail, dan terakhir barulah saham. Pola ini cocok untuk mereka yang dananya terbatas.

Tapi, untuk mereka yang punya kantong tak terbatas, Mike menyarankan langkah yang lebih ekspansif. Porsi saham dan obligasi bisa dinaikkan, ditambah dengan reksadana. Sebaliknya, porsi deposito atau obligasi berbunga tetap dikurangi. ”Semuanya bergantung pada toleransi sang investor terhadap risiko.”

Dalam keadaan apa pun, kata Mike, orang harus punya investasi. Menabung adalah pilihan konvensional karena imbal hasilnya kecil tapi paling aman. ”Seperti membayar rekening listrik, orang harus berinvestasi setiap bulan,” katanya. Tanpa investasi, kekayaan seseorang bakal tergerus inflasi.

Retno Sulistyowati, Ismi Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus